Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIDAKNYA ada dua hal yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia dalam konteks "krisis Qatar". Pertama, terdapat 43 ribu warga Indonesia di negeri itu, dengan sekitar 38 ribu pekerja migran. Kedua, Qatar adalah eksportir gas terbesar ke Indonesia. Pertikaian di Timur Tengah juga berpotensi menghilangkan 50-an ribu wisatawan asing ke Indonesia karena putusnya penerbangan dari Qatar.
Krisis ini mendidih setelah tujuh negara anggota Koalisi Arab memutus kongsi dengan Qatar pekan lalu. Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Bahrain, Libya, Mesir, Yaman, diikuti Maladewa, menuding Qatar mengganggu keamanan kawasan Teluk karena mendukung kelompok militan seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) serta Al-Qaidah. Sanjungan Emir Qatar, Syekh Tamim bin Hamad bin al-Thani, kepada Iran sebagai kekuatan Islam, serta dukungan kepada Hamas dan Al-Ikhwan al-Muslimun, melorotkan hubungan Qatar dengan ketujuh tetangganya ke titik nadir.
Blokade ekonomi membikin negeri ini megap-megap. Lintas darat dan udaranya diputus total, padahal 80 persen kebutuhan makanan Qatar dipasok oleh para tetangga Teluk dari darat dan udara. Yang tersisa cuma jalur laut, yang notabene perairan internasional. Pemerintah Qatar membantah dengan keras semua tudingan serta mengutuk isolasi negeri mereka. Tapi blokade jalan terus. Upaya rekonsiliasi, sejauh ini, masih kandas oleh amarah dan penolakan.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menegaskan konflik di Timur Tengah tak akan berdampak signifikan pada ekonomi Indonesia. Alasan Darmin, mitra dagang utama kita bukan Timur Tengah, melainkan kawasan Asia, seperti Jepang, Cina, dan Korea, serta Amerika Serikat dan Eropa. Jalur ekspor migas Qatar ke Indonesia juga melalui laut-wilayah yang luput dari blokade–sehingga bisa jalan terus. Tapi krisis ini, tak pelak, telah melonjakkan harga migas, yang memberatkan belanja impor energi kita.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2016, impor migas Indonesia dari Qatar mencapai US$ 738 juta lebih atau di atas Rp 9,75 triliun. Jika krisis berkepanjangan, ekspor komoditas Indonesia ke Qatar niscaya melorot dan menaikkan defisit dagang Indonesia, yang pada kuartal pertama 2017 sudah di angka hampir US$ 150 juta.
Hubungan Indonesia dengan Qatar, seperti halnya dengan negara Teluk lain, dibuhul pula oleh tenaga kerja Indonesia. Badan Nasional Penempatan Tenaga Kerja Indonesia mencatat, hingga April 2017, ada 37.961 pekerja migran dari Tanah Air tersebar di seantero Qatar. Migrant Care Indonesia, organisasi yang melindungi hak-hak pekerja migran, memberi angka jauh lebih tinggi: di atas 70 ribu tenaga kerja.
Walhasil, sebaiknya kita tak mengentengkan krisis tetangga jauh yang terbuhul cukup rapat dalam hubungan tenaga kerja ataupun perniagaan ini. Kesiapan Indonesia menjadi penengah dialog, seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, perlu segera "diterjemahkan" lebih konkret.
Indonesia sejatinya punya posisi "primordial" yang bisa menguntungkan dalam diplomasi meredakan titik didih di Teluk ini. Pendekatan rekonsiliasi melalui dialog tentulah jauh lebih menguntungkan ketimbang putus kongsi, blokade, apalagi jalan seburuk-buruknya: perang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo