Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENERABAS jalanan becek penuh lubang dengan kereta angin akhirnya menjadi kebiasaan yang mengasyikkan bagi Mohamad Roem, Kasman Singodimedjo, Soeparno, serta banyak aktivis pemuda di awal berdirinya Jong Islamieten Bond (JIB)—organisasi gerakan pemuda berideologi Islam pertama di Indonesia—pada 1925. Dari asrama STOVIA di Gang Kwini, dengan sepeda yang lebih banyak dituntun daripada ditunggangi lantaran jalanan yang super-rusak, mereka menuju sebuah rumah sempit di dalam gang di bilangan Tanah Tinggi, Jakarta.
Rumah yang disambangi para aktivis belia itu tak lain adalah rumah Haji Agus Salim, penasihat JIB sekaligus guru agama Islam bagi Roem dan kawan-kawan yang masih belajar di kelas II STOVIA (sekolah kedokteran Hindia). "Saya diajak Kasman dan Soeparno untuk pertama kalinya bertemu dengan Haji Agus Salim, orang yang dikenal sebagai pemimpin rakyat, pemimpin Sarekat Islam terkenal, pandai agama Islam, yang juga mahir berbagai bahasa," kata Mohamad Roem dalam bukunya, Bunga Rampai dari Sejarah, yang diterbitkan Bulan Bintang (1983).
Hari itu, Roem mengenang, di serambi rumah yang sangat sederhana, lelaki yang kala itu sudah berusia 41 tahun tersebut menerima mereka apa adanya. Ramah, hangat, dan memperlakukan para aktivis belia seperti teman yang setara, hampir tak ada strata. Ia menyapa dengan bahasa Belanda—bahasa yang selalu menjadi media diskusi mereka kala mendapat wejangan agama dari orang yang mereka juluki "Lelaki Tua" itu.
"Kali ini, karena hujan tak turun, kalian datang seperti biasa saja, menunggangi sepeda, bukan sebaliknya," ujar Roem dalam bukunya, mengenang canda sang bapak spiritualis, yang menyindir bahwa jalan menuju rumahnya membuat seolah-olah sepeda menunggangi si empunya, saking rusaknya.
Di rumah orang tua yang kelak diberi julukan "Grand Old Man" lantaran jasa dan kepiawaiannya berdiplomasi itu, Roem dan para cendekiawan muslim lainnya memang kerap mendapat pencerahan. Bagi para aktivis JIB, Salim bahkan merupakan guru organisasi yang kelak melahirkan tokoh-tokoh pejuang muslim Indonesia itu. "Apabila pengurus JIB penat mencari keputusan, menjumpai Haji Agus Salim adalah sebuah jalan," kata Mohammad Natsir dalam buku Zamrud Khatulistiwa, yang ditulis Ridwan Saidi (1993).
Persentuhan Salim dengan JIB, yang sebenarnya ia bidani kelahirannya, bermula pada sebuah kongres tahunan Jong Java di Yogyakarta, Desember 1924. HAS—salah satu panggilan akrab Agus Salim—saat itu diundang menghadiri pembukaan kongres pemuda Jawa yang ketujuh. Kongres berlangsung lancar, sampai pada suatu ketika perdebatan tak terelakkan. Raden Syamsuridjal, Ketua Umum Jong Java, mengangkat gagasan diadakannya kursus agama Islam bagi para anggota Jong Java yang beragama Islam. Ide itu ditolak oleh kongres dengan dalih Jong Java merupakan organisasi nasionalis yang tak mau dicampuri urusan agama. Saking alotnya perdebatan, keputusan akhirnya diambil dengan jalan pemungutan suara.
Kecewa terhadap penolakan dari para anggotanya, Syamsuridjal pergi menemui Salim. Kepada lelaki yang sudah dianggapnya sebagai orang tua itu, Syamsuridjal mengadu. Saat itu, Salim tak menolak diajak bersama-sama mendirikan organisasi yang bertujuan mengajarkan pengetahuan agama bagi pemuda dari kalangan terdidik, yang bernama Jong Islamieten Bond.
"Deklarasi dilakukan pada malam hari di sebuah kelas sekolah Muhammadiyah dengan restu Ahmad Dahlan dan H.O.S. Tjokroaminoto, bermodal lampu tempel. Sejak itu, Haji Agus Salim menjadi pembina bagi organisasi kami," tutur Roem dalam bukunya, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI.
Dalam menjalankan tugas pembinaan terhadap cendekiawan muslim belia semacam Natsir, Roem, dan Kasman, Salim tak pernah membeda-bedakan muridnya. Bahkan, saking egaliternya, ia sendiri tak pernah mau dianggap sebagai guru dalam organisasi. Menurut sejarawan Ridwan Saidi, ciri khas yang dia temukan dalam metode pengajaran Salim adalah caranya mendidik bukan mengajari. Salim menjadi tempat bagi orang muda untuk mengembalikan persoalan yang rumit menjadi lebih mudah dipahami. Itu dilakukan bukan dengan cara mendikte, melainkan dengan memberi ilham.
Salim merupakan pemberi dorongan, bukan macam orang yang hanya memberi petunjuk pelaksanaan. Ia berupaya memperluas ufuk pandangan lewat transformasi pengetahuan agama dan umum secara luas. Salim tak pernah memandang generasi muda sebagai tanah liat yang bisa sekehendak hatinya ia bentuk. "Ia membimbing dalam proses penalaran, tapi tidak menyediakan kesimpulan atau jawaban atas suatu pertanyaan. Sering kali ia berkata bahwa jawabannya ada pada tangan anak muda Indonesia itu sendiri," kata Ridwan.
Hasrat Salim untuk menularkan pemikiran-pemikirannya tentang agama Islam tersalurkan dengan berdirinya JIB. Ia dan para aktivis muda saling mengisi dalam upaya menguak segala macam teka-teki pengetahuan dari sudut pandang Islam. Semua masalah, baik politik maupun sosial kemasyarakatan, sesuai dengan testimoni Mohamad Roem, dibahas tuntas menggunakan kacamata Islam sebagai solusi.
"Satu hal saja yang tak mau ia bahas dalam setiap diskusinya, yaitu masalah khilafiyah, hukum atau hal yang masih dipertentangkan para ulama," ujar Ridwan.
JIB terus berkembang hingga melahirkan kelompok studi mahasiswa Islam lain yang bernama Studenten Islam Studie Club (SIS). Dua organisasi itu lantas menelurkan dua media cetak, yakni Het Licht, yang mereka kelola sendiri, dan Moslimse Reveil, bekerja sama dengan SIS. Pada kedua media itu, Salim mencurahkan semua pemikirannya sebagai langkah transformasi gagasan. "Para aktivis rajin mengikuti pemikiran dari tulisan-tulisan yang diterbitkan. Selepas itu, mereka akan menanyakan hal yang tak mereka pahami dalam diskusi-diskusi di rumah Agus Salim," tutur Ridwan.
Bagi Mohamad Roem, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, dan banyak cendekiawan muslim lainnya, sosok Salim hadir bak bidan yang membantu kelahiran mereka dalam kancah politik Islam modern di Indonesia. Dari diskusi dan tulisannya, ia membebaskan pikiran para aktivis belia itu. Banyak gebrakan doktrin keagamaan yang kaku ia luluh-lantakkan. Buktinya, dalam Kongres JIB kedua di Yogyakarta pada 1927, dengan persetujuan para aktivis organisasi, ia menyatukan tempat duduk perempuan dan lelaki, yang pada kongres sebelumnya terpisah.
"Semua wejangan, jawaban, dan tindakan Agus Salim pada masa itu dinilai sebagai hasil dari pemikiran yang brilian, terutama bagi perkembangan pandangan Islam terhadap kehidupan," kata Roem, seperti dikutip Ridwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo