Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK pernah sekali pun terlintas dalam benak Agus Salim, niatnya meluruskan haluan politik Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) berujung pada perpecahan. Gagasannya meninjau ulang garis politik hijrah, nonkooperasi, dan kembali ke politik kooperasi ditentang Ketua Lajnah Tanfidziyah PSII Abikoesno Tjokrosoejoso, adik kandung Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Perselisihan dengan Abikoesno bermula saat Salim menjadi Ketua Dewan Partai PSII menggantikan Tjokroaminoto, yang wafat pada 17 Desember 1934. Sebagai pemimpin tertinggi, Salim ingin PSII "berbaikan'dengan pemerintah kolonial. Ia menilai sikap ini sangat berisiko. Soalnya, Belanda kian ketat menekan partai-partai politik yang tidak kooperatif.
"Sikap nonkooperasi hanya akan melumpuhkan partai," kata menantu Salim yang pernah menjadi Sekretaris II Centraal Comite Partai Penyadar, H.M. Soedjono Hardjosoediro, dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984). Salim menyampaikan sikap ini secara terbuka dalam rapat partai pada April 1935.
Sarekat Islam mulai menerapkan politik hijrah pada 1923. Salim mengatakan perumusan politik itu semata-mata karena Allah, bukan atas dasar membenci satu pihak. "Tak seorang pun yang dapat menghalangi sebagaimana tak seorang pun yang memaksa," ujarnya seperti dikutip dari draf buku Haji Agus Salim dan Persoalan Kooperasi-Nonkooperasi dalam Sarekat Islam 1915-1940 (1996), karya Suradi. Karena itu, menurut dia, politik hijrah tak haram dikoreksi.
Salim berharap usulnya dibahas dalam Kongres PSII ke-22 pada 1936. Sayangnya, ajakan kembali ke sikap kooperasi itu sama sekali tidak digubris. Malah Abikoesno menuduh Salim mengusulkan itu karena berambisi kembali duduk di Volksraad.
Dalam kongres ke-22 itu, situasi memburuk saat Abikoesno didapuk menjadi ketua dan formatur tunggal pemilihan pengurus PSII. Dia menegaskan PSII akan tetap menjalankan politik nonkooperasi. Dia mencoret Salim dari kepengurusan.
Lima hari setelah kongres, Salim menarik diri dari kegiatan partai. Tapi, sementara itu, dia dan para pendukungnya mempersiapkan kubu oposisi. Mereka membentuk Comite Penyadar Barisan PSII, yang kemudian dikenal sebagai Barisan Penyadar PSII.
Diketuai Mohamad Roem, tokoh muda PSII binaan Salim, Barisan Penyadar bergerak di lingkungan internal partai. Mereka mengajak setiap anggota mempertanyakan hak-hak organisasi mereka yang dilanggar Lajnah Tanfidziyah dan Dewan Partai setelah kongres. Propaganda ini dengan cepat meraih simpati anggota PSII di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat.
Merasa terancam oleh manuver Salim, pada Januari 1937, Abikoesno menjatuhkan skorsing terhadap pemimpin pusat dan daerah Barisan Penyadar. Sebulan kemudian, ia memecat Salim, Roem, A.M. Sangadji, Sabirin, dan 24 tokoh Barisan Penyadar lainnya dari keanggotaan PSII. Pemecatan ini membulatkan tekad Salim dan para pendukungnya untuk mendeklarasikan Barisan Penyadar sebagai Partai Pergerakan Penyadar .
Dalam kongres perdana partai itu pada 23-26 Februari 1937, Salim ditetapkan sebagai pemimpin umum dan A.M. Sangadji sebagai wakilnya. Adapun Roem didapuk menjadi presiden partai.
Sebagai "sempalan" PSII, kiprah Pergerakan Penyadar tidak dapat diremehkan. Hanya dalam waktu satu tahun, partai berhaluan kooperasi ini telah memiliki 52 cabang di seluruh Indonesia. Tapi pengaruhnya memudar setelah Jepang masuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo