Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
November 1919 menjadi saat istimewa dalam perjuangan politik Haji Agus Salim. Waktu itu, dia secara resmi ditunjuk menjadi Komisaris Central Sarekat Islam (CSI). Setelah empat tahun bergabung, disebut-sebut sebagai bayang-bayang dan penasihat Ketua CSI Haji Oemar Said Tjokroaminoto, baru hari itu Salim tampil ke depan.
Bukan tanpa maksud bila Tjokroaminoto akhirnya memunculkan Salim. Seperti ditulis Takashi Shiraishi dalam bukunya, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Salim menjadi amat penting karena Tjokroaminoto sedang berhadapan dengan Semaoen, Darsono, dan teman-temannya. Para tokoh Sarekat Islam (SI) Semarang berhaluan komunis itu terus-menerus merongrong kepemimpinan Tjokroaminoto.
Rongrongan "SI Merah" juga membuat hubungan SI dengan Belanda mulai tak mesra. Aksi-aksi yang dilakukan cabang SI di daerah-daerah—tanpa bisa dikontrol CSI—membuat Belanda marah. Belanda mengira sikap Tjokroaminoto terhadap pemerintah adalah kooperatif, tapi cabang-cabang SI (SI afdeeling) malah bersikap sebaliknya. Nah, Salim, yang diketahui oleh Tjokroaminoto dekat dengan beberapa pejabat Hindia Belanda diharapkan bisa "menjinakkan" sikap tuan-tuan penjajah itu.
Setidaknya ada 12 komisaris di CSI yang terpilih dalam kongres. Selain Salim, antara lain ada Abikoesno Tjokrosoejoso, adik Tjokroaminoto; Alimin Prawirodirdjo; dan Semaoen. Salim diberi tugas mengatur serikat buruh. Ketika itu, banyak serikat buruh yang berafiliasi ke SI, tapi kebanyakan berada di bawah kendali atau dekat dengan SI Semarang, yang dipimpin Semaoen dan Darsono. Sebut saja Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP), serikat buruh kereta api dan trem; Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV), serikat sosial demokrat Hindia; serikat sekerja kehutanan; serikat sekerja pelabuhan; serta serikat sekerja sopir dan kusir. Serikat-serikat buruh inilah yang membuat resah pemerintah Hindia karena sering melakukan aksi mogok.
Salim punya kedekatan tersendiri dengan serikat buruh. Pada 1930, lama setelah konflik dengan Semaoen selesai, Salim diminta Nederlands Verbond van Vakverenigingen menjadi penasihat dalam sidang Biro Internasional Perburuhan untuk membicarakan soal penghapusan sanksi kontrak buruh. Dalam pertemuan itu, Salim membuat sendiri naskah pidatonya dalam bahasa Prancis.
Kepercayaan Tjokroaminoto kepada Salim untuk menghadapi Semaoen terbayar. Keandalan Salim terbukti manakala dia merumuskan gerakan disiplin partai. Anggota SI dilarang merangkap menjadi anggota organisasi lain. Kebijakan itu akhirnya menyingkirkan kelompok komunis dari SI. Semaoen selain menjadi Ketua SI Semarang juga menjadi Ketua ISDV. Sejak itu, posisi Salim di antara elite pimpinan CSI makin kuat. Pada 1921, manakala masa tugas Tjokroaminoto di Volksraad berakhir, Salimlah yang ditunjuk menggantikan Tjokroaminoto.
Tapi persoalan SI belum selesai. Posisi SI afdeeling yang cenderung otonom tetap menjadi masalah. Akhirnya, dalam Kongres CSI di Madiun pada 17-23 Februari 1923, SI memutuskan berganti bentuk menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Migrasi ini bukan keputusan tiba-tiba. Beberapa tahun sebelumnya, Salim sudah melontarkan gagasan ini. Alasan dia, dengan berubah menjadi partai, mereka bisa melakukan reorganisasi dan mengetatkan pengawasan terhadap cabang-cabang.
Dalam Kongres CSI di Madiun itu, delegasi SI Madiun dan Nganjuk sempat mengajukan usul membuat pengecualian disiplin partai bagi anggota yang juga bergabung dengan PKI. Tapi usul itu dipotong oleh suara marah para peserta.
Pemimpin PSI yang terpilih dalam kongres itu adalah Tjokroaminoto sebagai ketua, Sjahboedin Latif dan Soerjosasmojo sebagai sekretaris, serta Fachrodin sebagai bendahara. Bersamaan dengan itu, PSI mengubah haluan politiknya menjadi nonkooperasi. Salim keluar dari Volksraad. Dia semakin dekat dengan Tjokroaminoto. Salimlah yang merumuskan gagasan-gagasan Tjokroaminoto sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah dimengerti publik. Salah satunya persoalan Keterangan Asas (Beginsel Verklaring).
Salim menganggap politik nonkooperasi sama dengan hijrah. Namun, dalam tulisannya di Bandera Islam, 14 Februari 1927, dia menyebut nonkooperatif PSI itu mulanya bersifat protes. "Tapi dalam masa empat tahun yang lalu berganti dengan yang lain. Nonkooperasi dalam PSI telah di... hijrah. Artinya telah diganti dengan tujuan bekerja bersama menyusun diri." Dalam Kongres PSI pada 1927, tujuan partai diperjelas, yaitu mencapai kemerdekaan nasional atas dasar agama Islam.
PSI bersalin nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada Januari 1929. Penambahan kata "Indonesia" ini tak terlepas dari semangat Sumpah Pemuda. Sukiman, yang memberi ide ini, mengharapkan kesegaran dan kehidupan baru sejak perpecahan pada 1921. Pimpinan Pusat dibagi menjadi Dewan Partai yang dibentuk oleh kongres partai (Majelis Tahkim) dan Lajnah Tanfidziyah, pemimpin harian yang bertanggung jawab dalam masa di antara dua kongres. Hal ini dilakukan karena berkurangnya kesehatan Tjokroaminoto dan Salim, pemimpin yang saat itu tidak dapat digantikan oleh siapa pun di dalam partai.
Tjokroaminoto diangkat sebagai Ketua Partai, dengan Salim sebagai wakilnya, dalam kongres di Yogyakarta. A.M. Sangadji menjadi Ketua Lajnah Tanfidziyah dan Sukiman sebagai Wakil Ketua Lajnah Tanfidziyah. Namun, tak lama kemudian, Sukiman dipecat dari PSII bersama Soerjopranoto. Keduanya dianggap telah mencemarkan nama baik Tjokroaminoto dalam masalah ketidakberesan keuangan organisasi Persatuan Pegawai Pegadaian Hindia—Tjokroaminoto menjadi salah seorang pengurus serikat pekerja itu.
Banyak cabang yang tidak menyetujui keputusan pemecatan tersebut. Cabang Yogyakarta kemudian terpecah dua. Kelompok yang tak setuju membentuk PSII Merdeka. Ada juga cabang yang membentuk Persatuan Islam Indonesia. Perpecahan itu semakin memperlemah kedudukan PSII. Konflik ini berlanjut setelah Tjokroaminoto wafat pada 1934.
Setelah 20 tahun, Salim akhirnya mencapai puncak pimpinan PSII. Dalam kongres pada 1935, dia ditunjuk menjadi ketua. Bagi Salim, berpulangnya Tjokroaminoto setahun sebelumnya bukan sekadar kehilangan teman seperjuangan. Kepergian sahabatnya itu merupakan awal dari merosotnya pengaruh Salim dalam PSII.
Salim melihat sikap politik nonkooperasi PSII merugikan partai karena ruang geraknya kian dibatasi oleh pemerintah Belanda. Pada Maret tahun berikutnya, Salim mengeluarkan pernyataan politik yang dikenal sebagai pedoman politik: "…adalah akan merugikan besar kepada pergerakan PSII, jika hendak dikeraskan juga sikap non-kooperasi. Oleh karena itu supaya PSII mengambil sikap buat melepaskan 'non' yang sekali-kali tidak bertentangan dengan sikap 'hijrah' PSII…." Tapi sejumlah anggota partai menentang haluan politik baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo