Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lembaga Hukum Jangan Jadi Monster

2 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI biasa, Wakil Presiden Jusuf Kalla selalu optimistis. Ia menilai kinerja awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan angka-angka baik: 8 untuk bidang ekonomi, 7 untuk kinerja menteri-menterinya, dan 7 untuk penegakan hukum.

Kalla pun tidak risau terhadap popularitas Jokowi yang turun setelah Komisaris Jenderal Budi Gunawan, calon tunggal Kepala Kepolisian RI yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat, menjadi tersangka kasus suap dan gratifikasi. "Di mana-mana, presiden terpilih akan mengambil keputusan tidak populer pada tahun pertama," katanya dalam wawancara khusus dengan Tempo di rumah dinas wakil presiden di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis malam pekan lalu.

Mengenakan kemeja kotak-kotak putih dan bersepatu kasual tanpa kaus kaki, Kalla terlihat santai. Ketika wawancara, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh datang ke rumah itu. "Kami terus berkomunikasi dengan partai-partai, baik anggota koalisi maupun bukan," ujarnya.

****

Bagaimana Anda menilai kinerja kabinet sekarang?

Begini. Dari segi profesi, dari 34 menteri, cuma 4 yang pernah jadi menteri dan mengerti struktur pemerintahan. Ada 10 mantan anggota DPR, 8 birokrat, 4 akademikus, dan 3 pengusaha. Mereka bergerak sesuai dengan latar belakangnya. Lihat saja, Susi (Pudjiastuti) dan Amran (Sulaiman) cepat, tapi kadang-kadang lupa prosedur. Kalau anggota DPR selalu berdasarkan undang-undang. Yang dari akademikus tentu menganalisis dulu.

Bagaimana menilai kinerja mereka?

Selalu dari progress kerjanya. Pak Jokowi selalu memantau. Saya juga selalu pantau. Ada target. Selalu ada patokannya. Misalnya swasembada gula ditetapkan dalam waktu tiga tahun. Itu artinya Menteri Pertanian harus menaikkan produksi 100 ton per hektare. Kemudian kita juga harus bikin pabrik gula baru.

Mereka bergerak secara tim karena menteri tidak bisa bergerak sendiri. Ya, memang tidak semua dipublikasi.

Menteri berlatar belakang apa yang paling bisa mencapai target?

Belum bisa dinilailah. Tapi, dari langkah-langkahnya, untuk masalah listrik dan pertanian termasuk oke.

Apa masalah utama sekarang?

Selama beberapa tahun ini menteri atau dirjen sulit sekali mengambil keputusan karena khawatir salah. Mereka takut KPK dan Kejaksaan. Yang mengambil keputusan lalu siapa? Eselon III. Menteri kasih instruksi ke dirjen, dirjen disposisi dengan catatan "agar ditelaah sesuai dengan ketentuan" kepada direkturnya, direktur kasih catatan lagi "agar dikaji dengan aturan yang ada", lempar ke atas lagi dengan memo. Birokrat muda cenderung mengatakan tidak. Apalagi kalau ada keputusan menteri atau keputusan presiden yang bertentangan. Muter saja begitu.

Sampai sejauh mana penegakan hukum bisa menoleransi kesalahan agar "tidak terjadi kemacetan dalam pembangunan" seperti Anda katakan?

Pengalaman di Hong Kong: lupakan zaman "jahiliah"-nya. Jangan melihat ke masa lalu. Dulu orang bawa kado atau hadiah tidak ada apa-apa, biasa. Sekarang itu baru melanggar. Bagaimana kalau ada orang dulu kasih hadiah kemudian diterapkan hukuman yang baru? Tidak boleh, kan? Kami harus setuju terhadap penegakan hukum, tapi janganlah lembaga penegak hukum menjadi monster yang menakutkan.

Bagaimana teknisnya?

Contohnya kasus Bupati Indramayu Yance. Saya belain dia dan berbicara dengan Jaksa Agung, "Ini orang jangan ditahan karena dulu saya yang perintahkan untuk segera membebaskan lahan. Bebaskanlah." Jaksa Agung bilang ia dianggap merugikan Rp 4 miliar. Padahal, akibat kecepatannya membebaskan lahan, dia sudah berhasil menyelamatkan subsidi triliunan rupiah untuk proyek pembangkit listrik 600 megawatt. Kalau tidak selesai, itu berapa kerugian?

Jaksa Agung oke?

Ya-tidak, sudah telanjur masuk perkaranya.

Dalam kasus Budi Gunawan yang menjadi tersangka, pendapat Anda juga sama?

Kejadian yang disangkakan kepada BG itu sepuluh tahun lalu. Masak, tiba-tiba muncul pada saat dia mau diangkat? Yang diperiksa kan awalnya hanya uang Rp 150 juta.

Bukankah ada transaksi lain yang tak wajar?

Itu belakangan.

Bukankah KPK memberi tanda merah ketika penyusunan kabinet?

Wallahualam. Tidak ada yang tahu. Saya tidak tahu.

Benarkah BG harga mati karena keinginan Mega?

Tidak. Bahwa konsultasi dengan banyak orang, pastilah. Termasuk dengan Komisi Kepolisian Nasional. Seperti juga jawaban Pak Jokowi, "Saya pasti pilih orang yang saya kenal."

Mengenal bagaimana?

Ya, kan bagaimanapun semua ajudan itu sudah kayak keluarga. Ajudan saya lima tahun lalu kalau ada apa-apa datang ke sini. Kami undang makan datang ke sini. Sama dengan ajudan SBY, semua datang juga kalau ada apa-apa. Bagaimana mereka setiap malam di sini, menginap di rumah, selama lima tahun.

Benarkah BG berperan dalam memasangkan Anda dengan Jokowi?

Ah, tidak. Saya kenal BG karena, sewaktu dia ajudan, saya menteri Bu Mega. Tentu bisa saja terjadi bahwa Ibu Mega mencari informasi background untuk jadi calon wapres. Saya tahu karena Pak Jokowi dari Jawa, butuh orang non-Jawa. Karena dia nasionalis, butuh yang dekat dengan Islam, kan? Jadi saya otomatis klop saja, bukan karena peran Budi Gunawan.

Anda diajak bicara ketika Presiden menunjuk BG?

Iya, kami bicara pada waktu sudah mau diusulkan.

Setelah BG jadi tersangka, KPK menghadap Jokowi. Anda ikut?

Ketemu. Iya, saya ada.

Saat itu dijelaskan kasusnya?

Tidak.

Apa yang dibicarakan?

Saya bertanya: "Itu orang salahnya apa?" Dijawab, "Aliran uang, Pak." Saya bilang apakah semua orang yang ada aliran uang langsung dianggap melakukan korupsi? "Iya Pak, tapi tidak wajar." Tidak wajar dari segi apa? "Tidak wajar dari segi pendapatan." Wah, kalau dari segi pendapatan, semua orang di Jakarta tidak wajar. Mana ada yang bisa hidup dengan gaji Rp 7 juta? Bisa saja ada bisnis keluarga dan istrinya atau dia jual tanah. Ya, jangan dulu bilang salah dong kalau begitu. "Kan, ada anaknya umur 19 terima miliaran." Jangan begitu, saya tersinggung. Umur 19 itu sudah dewasa dari segi hukum. Saya umur 17 sudah pegang uang lebih banyak dari itu. Jangan anggap umur itu langsung salah, yang benar saja itu. Jangan pakai ngomong umur lagi. Saya bilang tersinggung semua anak muda kalau begitu.

Apa jawaban KPK?

Ya, Pak, tapi ini-ini-ini, begini masalahnya. Bukan saya membelanya. Tapi kalau begini, semua orang yang terima duit dianggap korup, bahaya negeri ini.

Tapi ini calon Kepala Polri?

Iya, boleh saja dipertanyakan. Tapi jangan tiba-tiba orang itu tersangka.

Reaksi Jokowi gimana?

Sama juga, bertanya kenapa begini, kenapa tiba-tiba begini.

Bukankah KPK sudah memberi tanda merah?

Ya, tentu disampaikan, tapi saya kan juga berpegang pada praduga tak bersalah, dong. Apalagi disampaikannya tanpa suatu bukti. Kalau semua begitu, semua orang bisa menjadi sandera. Maka dewalah itu teman-teman KPK. Kuning-merah-kuning-merah-kuning-merah. Dan, saat diminta bukti, tidak ada bukti.

Lalu jalan keluarnya bagaimana?

Ya, kita ikuti proses hukum saja. Proses hukum yang terdekat praperadilan. Biar pengadilan yang memutuskan.

Betulkah persoalannya sederhana: cuma urusan Mega yang secara personal punya hubungan dengan BG?

Apa itu salah?

Benar begitu?

Tidak, saya tidak katakan begitu. Tapi, kalau orang mengusulkan siapa, tidak berarti salah, kan? Sebagai ketua partai yang menang pemilu, dia berhak saja mengusulkan.

Ada anekdot, Jokowi sekarang dikuasai koalisi KMP: Kalla, Mega, Paloh. Ada komentar?

Oh, ha-ha-ha…. Saya pernah dengar dan baca anekdot itu. Tapi, begini, lihat kondisi kita, ya. Bagaimanapun, saya respek terhadap Ibu Mega. Tidak mungkinlah kami berdua-Jokowi dan JK-yang tidak punya peran di partai tidak berkonsultasi dengan ketua partai. Sebab, kalau ada apa-apa, kami minta dukungan juga, kan? Apalagi ini kan pemilihannya harus di DPR.

Ketika menjadi wapres Yudhoyono, Anda berperan aktif melobi politikus lain. Sekarang bagaimana?

Di DPR kan teman-teman semua. Selama kita mempunyai hubungan, tahu, saling mendengarkan, ya, kalau saya telepon DPR itu selalu mudah.

Dalam tiga bulan ini, berapa nilai pemerintahan ini menurut Anda?

Kalau langkah ekonomi, saya katakan 8. Tapi untuk kecepatannya dan kemampuan menteri baru 7. Perlu diperbaiki.

Penegakan hukum berapa?

Dulu orang mengira Jaksa Agung ingin seenaknya karena berasal dari NasDem. Anda tahu siapa orang kedua yang ditangkap setelah Yance? Ketua Dewan Pertimbangan NasDem di Palu. Jaksa Agung itu matanya kayak pakai kacamata kuda.

Jadi nilai penegakan hukum 9?

Saya tidak mengatakan 9. Ya, katakanlah medium, 7. Kan, masih ada masalah lain.

Akan ada reshuffle dalam waktu kurang dari setahun?

Ya, tentu dievaluasi juga, enam bulan evaluasi. Saya tidak mengatakan reshuffle pasti, tapi semua harus dievaluasi: apa sudah kompak, apa sudah begini, naik atau tidak targetnya.

Dan, pada saat reshuffle, kemungkinan untuk memasukkan partai baru terbuka?

Tergantung kondisi yang ada. Tapi biasanya kalau reshuffle itu, ya, kalau dari satu partai diganti dari partai yang sama.

Kalau menterinya bikin kontroversi, Pak Tedjo nilainya berapa?

Ha-ha-ha…. Tentu baru tiga bulan belum bisa dinilai. Kalau hanya salah-salah ngomong, kita kan nasihati.

Sudah dinasihati?

Sudah sejak awal. Itu memang biasa orang ada sifat yang kadang-kadang slip the tongue. Dia tidak bermaksud itu.

Slip kok berkali-kali?

Ya, berkali-kali slipnya juga, ha-ha-ha….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus