Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAIN api hangus, main surat kaleng terjerumus. Ini yang dialami Piso Marpaung. Sebagai kepala bagian hubungan masyarakat Pemda Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, pegawai negeri berusia 51 tahun itu rupanya punya kerja lembur membuat surat. Bukan sembarang surat tapi bisa berupa surat ke Kotak Pos 5000, misalnya, mengadukan Kapolres Dairi dan Kepala Kejaksaan Negeri Sidikalang, dengan tembusan ke Pangab. Dalam suratnya 22 Oktober 1991 itu ia minta kedua pejabat ini diganti. Sebab, katanya, di dua instansi itu terjadi pemerasan para tahanan supaya bisa bebas. Surat dua halaman itu ditandatangani enam tokoh masyarakat atau pengetua adat Dairi. Di antaranya, B.T. Pakpahan, Suman Saragih, Japenta Togatorop, Halomoan Marpaung, dan dua tokoh adat lainnya. Dan Kapolres Dairi Letkol. Baroeto Badroes yang mendapat tembusan surat itu segera melapor ke atasannya, Kapolda Sumatera Utara. Karena alamat pengirim tak jelas, Baroeto memerintahkan anak buahnya mengusut. "Jangan-jangan nama tokoh masyarakat itu cuma dibawa-bawa saja," kata sumber TEMPO di kepolisian. Eh, nama Piso jadi fokus karena ada surat senada ditujukan kepada Dandim dan Bupati Dairi. Pengirimnya, resmi: Piso. Dalam surat tertanggal 25 Januari 1992 itu ia minta supaya izin Aguan sebagai agen SDSB di Sidikalang, Dairi, dicabut. Menurut Piso, pada putaran ke-52 akhir Desember 1991, kuponnya kena empat angka namun agen itu tak mau membayar dan menuduh tebakannya palsu. Di sini Piso terjebak. Huruf suratnya itu dicocokkan polisi dengan huruf surat kaleng tadi. Dari penelitian lab kriminologi Polda Sumatera Utara, tampak kesamaan huruf ketik dua surat itu. Dan setelah mendengar 23 saksi enam tokoh adat tadi menyanggah ikut membuat surat kaleng itu Piso diciduk dari kantornya 10 Februari lalu. "Kalau mesin ketik itu yang jadi barang bukti, di manamana juga ada mesin ketik yang sama," Piso menyangkal. Lalu ia mengajukan tuntutan praperadilan terhadap Polres Dairi. Sebab, katanya, polisi telah melakukan penangkapan dan penyitaan mesin tik itu tanpa surat tugas. Ia minta Pengadilan Negeri Sidikalang menyatakan tindakan polisi itu tidak sah menurut hukum. Sekaligus dia menuntut ganti rugi Rp 151 juta lebih karena namanya tercemar selaku pegawai negeri yang telah dijalaninya selama 27 tahun. Namun, gugatan Piso dipatahkan. Pengadilan menyatakan tindakan polisi terhadap Piso adalah sah. "Ceroboh kalilah kalau polisi bertindak sewenang-wenang," kata Kadispen Polda Sumatera Utara Letkol. Leo Sukardi. Ditambahkannya, tiga tahun ini Piso lebih dari sepuluh kali membuat surat kaleng. "Kali ini dia kena batunya. Haknya membantah. Tapi dari bukti yang ada kini dia tak akan berkutik," kata Leo. Berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sidikalang awal April lalu dengan dakwaan memfitnah dan menghina polisi dan jaksa. Menunggu sidang, Piso meringkuk di Rumah Tahanan Sidikalang. Oleh ulah Piso itu, menurut Leo, banyak pejabat dan tokoh masyarakat jadi saling mencurigai. Sebenarnya banyak lagi tokoh masyarakat atau pejabat pemerintah yang kena surat kaleng Piso ini. Tapi mereka tak mau mengadu. "Ini yang membuat ia besar kepala, dikira polisi tak mampu membuktikan perbuatannya," kata Leo. "Namanya saja Piso, kan dibuat untuk memotong-motong," kata Leo. Dalam bahasa Batak, Piso memang berarti pisau. "Semua itu fitnah," kata Piso kepada Affan Bey Hutasuhut dari TEMPO. Namun, menurut M. Sinaga yang Wakil Ketua Golkar Kabupaten Dairi dan beberapa tokoh lainnya, sejak Piso ditangkap, tak ada lagi surat kaleng beredar di kabupaten penghasil kopi terbesar di Sumatera Utara ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo