MENGAPA ACEH BERGOLAK Penulis: Hasan Saleh Penerbit: PT Pustaka Utama Grafiti, 1992, 428 hlm. BAGI para pengamat sejarah sosial-politik Aceh kurun pascakemerdekaan, buku ini sangat bermakna. Bukan saja karena penulisnya adalah pelaku utama pergolakan Aceh, tapi juga karena ia menyajikan "fakta bagian dalam" (inside facts) pemberontakan yang meletus 1953, yang selama ini masih kelam. Pelaku utama -- yang kemudian menjadi pengarang -- ini memang menceritakan sepak terjangnya. Ada tiga hal penting disajikan dalam buku ini. Yang pertama adalah bagian yang menyiratkan menghadirkan "keindonesiaan" dalam struktur kesadaran masyarakat Aceh. Kendati kesadaran itu telah mekar sejak Belanda takluk pada Jepang (1942), tapi kehadirannya secara nyata justru terasa ketika terjadi konflik ulama dan ulebalang yang memuncak pada Perang Cumbok (1945-46). Simbol kesadaran itu adalah Soekarno-Hatta dan bendera merah putih. Di sini, kaum ulebalang menjadi penentang proklamasi Soekarno-Hatta. Mereka menuduh kaum ulama sebagai "anjing-anjing" Soekarno-Hatta yang bermimpi mampu mengalahkan Belanda. Fakta ini sangat menarik, karena ulebalang memihak Belanda. Dengan peristiwa Cumbok itu, proses keindonesiaan, sebagai konsep supraAceh, justru semakin mengkristal. Yang kedua adalah biografi si pengarang, baik sebagai tokoh militer Indonesia maupun tokoh militer utama pemberontak. Mungkin hanya dalam buku inilah diketahui, betapa besar peran Hasan Saleh ketika ia bertugas di Sulawesi (1951-1952). Ia mendamaikan Kahar Muzakkar (pemberontak Sulawesi) dengan Indonesia dan membawanya turun gunung. Di sini dapat dilihat betapa "calon pemberontak" itu menjadi republiken tulen, justru di luar daerahnya. Lewat biografi Saleh, kita dapat berkenalan dengan tokoh-tokoh utama dalam peristiwa Aceh, seperti Tengku Daud Beureueh, Tengku Hasan Aly, Amir Husen AlMudjahid, Sjamaun Gaharu, Hasan Tiro, dan lainlain. Di sini sangatlah penting untuk diikuti soal Sjamaun Gaharu, baik sebagi seteru maupun teman seide. Gaharu dan Hasan Saleh sama-sama digodok oleh perwira Jepang, Nimoto. Setelah Gaharu diangkat sebagai "Panglima Indonesia" di Aceh otomatis menjadi lawan Saleh. Yang disebut terakhir ketika itu menjadi "Panglima DI/TII" Aceh. Dari permusuhan Gaharu dan Saleh ini justru lahir "Ikrar Lam Teh", yang sangat monumental bagi sejarah Aceh masa kini. Salah satu bukti adalah status "daerah istimewa" bagi provinsi itu. Yang ketiga adalah cerita "jeroan" (bagian dalam) dari pemberontakan rakyat Aceh yang dimulai 1953. Hal penting yang diungkapkan di sini adalah fakta betapa lemahnya, baik struktur kekuatan kaum pemberontak maupun konsepsinya. Tujuannya memang tak jelas. Ia semula berniat bergabung dengan gerakan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Namun, karena kecewa ditolak Kartosuwiryo menjadi negara bagian Darul Islam Indonesia (DII), ia mendekati PRRI. Yang juga lemah adalah kekuatan militer. Hasan Aly, Perdana Menteri DI, komandan utama kaum ulama ketika melawan ulebalang dalam Perang Cumbok, memperkirakan kekuatan TNI hanya lebih sedikit dari tentara ulebalang yang pernah mereka tundukkan. Apalagi, pendukung Tentara Islam Indonesia (TII) Aceh hanya kaum milisi, bukan tentara profesional. Bisa jadi ini pula yang membuat kemenangan kaum pemberontak pada harihari pertama. Namun, hal itu surut dan menjadi rangkaian kekalahan pada kemudian hari. Hal lain yang membuat mereka lemah adalah perbedaan konsepsi tentang strategi militer. Hasan Saleh, yang terdidik secara militer dan berpengalaman menumpas RMS di Ambon, tak mampu meyakinkan para politisi (Daud Beureueh dan Hasan Aly) akan kecanggihan strateginya. Sementera itu, Daud Beureueh yang lebih mempercayai strategi militer lewat nalurinya. Hal inilah yang menghilangkan banyak peluang TII untuk meraih kemenangan. Salah satu bukti adalah pembatalan serangan yang dirancang Hasan Saleh ke Kutaraja (Banda Aceh, kini) oleh Daud Beureueh. Padahal, menurut kalkulasi militer, TII yang telah mendapatkan tambahan senjata dari PRRI mampu melumpuhkan TNI. Cerita jeroan lainnya adalah pengaruh Hasan Tiro terhadap gerakan ini. Daud Beureueh, menurut Hasan Saleh, sangat percaya pada informasi dari Hasan Tiro, duta besar DI di Amerika. Hasan Tiro, dalam surat-suratnya, mengusulkan agar serangan ditunda karena Amerika Serikat akan mengirim bantuan militer dan dana. Usulusul itu banyak menghambat inisiatif penyerangan sehingga peluang untuk menang hilang. Apalagi ternyata bala bantuan dari AS tak kunjung datang. Mungkin, hal terpenting dari cerita jeroan ini adalah tentang memudarnya pengaruh Daud Beureueh di kalangan pendukung strategisnya (para perwira, beberapa menteri, dan sebagian kesatuan-kesatuan TII) pada harihari senja pemberontakan. Setelah Konperensi Panca (1958), yang dihadiri oleh seluruh kekuatan pemberontak, Daud Beureueh dikup sebagai Wali Negara DI Aceh. Ia digantikan Amir Husein Al-Mudjahid. Lewat "Dewan Revolusi" yang dibentuknya bersama Hasan Saleh, perdamaian dengan RI dirintis. Yang belum terungkap adalah mengapa pemberontakan ini dapat bertahan lebih lama daripada PRRI, yang bergerak lebih konsepsional dan persenjataan lebih modern dan komplet. Fachry Ali
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini