Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLITIK. Muangthai Panas lagi. Militer, yang rupanya sudah mengundurkan diri, kini tampil lagi ke permukaan. Bagaimana kita bisa memahami politik di negeri Muangthai? Ahli politik Barat sudah lama menggumuli berbagai teori. Yang paling sering digunakan adalah teori "pemerintahan birokratis" atau bureaucratic polity. Ini dicetuskan oleh sarjana ilmu politik Amerika, Profesor Fred Riggs. Sebetulnya, teori Riggs yang dilempar pertama kali pada tahun 1966 itu cukup sederhana. Riggs berpendapat bahwa politik di Muangthai ditentukan oleh birokrasi (termasuk militer). Birokrasilah yang mengambil keputusan dalam semua bidang. Sementara itu, kekuatan di luar birokrasi, termasuk partai, grup penekan, mahasiswa, dan serikat buruh, tak berperan. Pemerintah, tanpa dukungan birokrat dan militer, tak akan berusia lama. Bahkan ahli ilmu politik Muangthai sendiri umumnya setuju. Prof. Chaianan, misalnya, mempunyai alasan bahwa peran militer begitu penting. Kudeta sering terjadi karena militer mencoba mempertahankan kepentingannya. Tapi kini muncul teori baru yang mengatakan bahwa teori Riggs ini sudah tak laku. Buku ini berjudul Perkumpulan Bisnis dan Ekonomi Politik Baru di Muangthai: dari Pemerintahan Birokrasi ke Korporatisme Liberal, karya doktor ilmu politik lulusan AS, Anek Laothamatas. Dr. Anek berpendapat bahwa argumentasi Riggs ini hanya berlaku di Muangthai pada tahun 1932 (ketika militer mengadakan kudeta dan merebut kekuasaan) sampai 1973 setelah pemerintah militer tumbang. Setelah itu, monopoli kekuasaan birokrasi retak dan kekuatan di luar birokrasi bangkit. Peran ini semakin penting terutama sejak 1979, ketika semidemokrasi diberlakukan di Negeri Gajah Putih itu. Sampai tahun 1980-an, sistem politik Muangthai tak bisa disebut sebagai pemerintahan birokratis. Ia menyebutnya "korporatisme liberal" (liberal corporatism). Kelompok bisnis mulai memainkan peranan dalam penentuan kebijaksanaan pemerintah di pusat dan daerah. Anek, dalam buku yang didasarkan pada disertasinya ini, mencoba membuktikan teorinya tersebut. Ia menggunakan enam bab untuk memaparkan timbulnya persatuan bisnis di Bangkok dan di provinsi-provinsi (1932-1986). Di antara persatuan bisnis yang mustahak, ada pelbagai perkumpulan perdagangan/kamar dagang dan majikan. Di antaranya yang paling penting ialah kamar dagang, perserikatan industri, dan persatuan bankir Muangthai. Ketiga "pilar" itu mewakili kepentingan bisnis di Muangthai. Jumlah mereka semakin besar. Ketika Perdana Menteri Prem memerintah pada akhir tahun 1970-an, pelbagai komite konsultasi yang menggabungkan sektor umum dan sektor swasta (JPPCC) dibentuk. Persatuan bisnis Muangthai telah diberi kekuasaan yang luar biasa oleh pemerintah untuk ikut serta dalam urusan ekonomi, terutama dalam menyusun kebijaksanaan pembangunan ekonomi. Anek berpendapat, masalah ekonomi yang penting-penting diselesaikan dalam komite konsultasi ini. Dan peranan persatuan bisnis dalam komite konsultasi menjadi lebih mustahak ketika Chatichai menjadi perdana menteri pada tahun 1988. Pemerintah terpaksa memberi banyak konsesi kepada persatuan bisnis karena kelompok itu tambah kukuh sejak tahun 1970-an. Anek berpendapat, dalam tiga dekade yang lalu, etnik Tionghoa telah berjaya dan berintegrasi dengan kelompok Thai. Kelas menengah pun mulai menguat. Atas desakan mereka, pemerintah mengizinkan persatuan bisnis berpartisipasi langsung dalam penentuan kebijaksanaan ekonomi. Sistem politik Muangthai juga semakin demokratis. Menurut Anek, pengaruh persatuan bisnis sungguh besar. Ini terbukti dalam aktivitas kelompok itu, yang giat mempromosikan ekspor, menentang peraturan pemerintah yang merugikan kepentingan bisnis, penurunan cukai, dan rasionalisasi ekonomi. Namun, Anek mengakui bahwa dalam sektor finansial, moneter, dan penukaran sekuritas (security exchange), otonomi pemerintah masih dipertahankan. Kentara sekali, pengaruh bisnis dalam penentuan keputusan pemerintah masih sangat terbatas. Namun, Anek berpendapat bahwa Muangthai bukan lagi "pemerintahan birokrasi", tetapi liberal corporatism. Kelompok bisnis dan birokrasi bersama-sama mengambil keputusan. Anek seakan-akan mengatakan bahwa kelompok bisnis itu seimbang dengan elite militerbirokrasi. Padahal, elite birokrasimiliter masih dominan. Sistem semacam ini sering disebut authoritarian corporatism, yaitu korporatisme otoriter, mirip dengan pemerintah yang didominasi oleh militer. Sebelum buku ini dicetak, pada Februari 1991, di Muangthai terjadi kudeta lagi. Pemerintah Chatichai yang disebutnya demokratis itu digulingkan dan kaum militer kembali berkuasa. Anek buru-buru menulis sebuah bab tambahan. Ia masih mempertahankan pendiriannya bahwa ia tak mengatakan kudeta tak bakal terjadi. Yang ditandaskan dalam bab pascakudeta tadi ialah pemerintahan birokrasi sudah berlalu. Elite militer dan birokrasi tak bisa lagi memonopoli politik. Sebetulnya teori Anek itu cukup menarik, karena ia telah menonjolkan satu aspek penting, yaitu persatuan bisnis, yang dulunya diabaikan dalam analisa Riggs. Akan tetapi, rupanya Anek terlalu getol untuk merumuskan sebuah teori baru dan meremehkan pentingnya kelompok birokrasi dan militer, yang sampai saat ini masih sangat berpengaruh. Leo Suryadinata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo