Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA membawa tuah, kata orang tua-tua. Itu mungkin sebabnya warga Desa Pageralang, 5 km dari Kota Banyumas, Jawa Tengah, menghindari nama yang berat-berat untuk anak mereka. Sebab, menurut kepercayaan penduduk yang umumnya buruh tani dan penyadap karet itu, anak yang namanya keduwuran terlalu tinggi, terlalu bagus, atau terlalu berat ia dikhawatirkan akan sakit-sakitan. Maka anak lalu diberi nama sederhana saja. Cukup dua suku kata, misalnya, Rasem, Kasno, dan Darsan. Bahkan sering kali nama-nama itu tidak memiliki arti. Tapi pada tahun 70-an pernah ada seorang anak diberi nama Kasut, yang dalam bahasa setempat berarti "kartu judi". Banyaknya anak-anak yang menyandang nama ndesani (berbau udik) ini membuat Supriyatno dan Kasim jatuh kasihan. Dua guru SD negeri di desa kawasan kebun karet itu menghadapi Ebtanas saat ini, lalu ekstra-lembur mempermak nama murid-muridnya. Di sekolah itu ada murid yang menduduki peringkat tiga. Sinem, namanya. "Sekarang berprestasi, tapi kalau nanti di SMP dia diolok-olok bagaimana?" tanya Kasim. Itu sebabnya ia bersama rekannya mau saja dimintai tolong anak-anak didiknya -- dengan persetujuan wali murid -- menggubahkan nama baru untuk mereka di ijazah. "Saya usahakan agar nama asli mereka tidak hilang. Jadi nama baru saya rangkai dari nama lamanya," kata Kasim. Misalnya, Saimah dipanjangkan menjadi Santi Ida Maharani. Nama Saiwen dipoles menjadi Sari Indah Weningsih. Untuk anak lakilaki, Kasim biasanya menambahkan nama belakang mereka dengan nama ayahnya. Contohnya: Kasun anak Mardi, digubah jadi Kasun Mardiono, atau Mijan anak Darto jadi Mijan Sudartoyo. Permintaan nama baru ini timbul juga karena mereka suka menonton TV di kantor kelurahan. Tapi bukan karena ada lagu bocah yang mengejek nama Toni di desa ditukar jadi Tony di kota. "Juga tidak pernah ada yang minta diubah menjadi nama penyanyi atau yang kebarat-baratan. Kalau yang ingin tiru nama saya malah banyak, umumnya ditambahi Priyatno Atau Priyono," tutur Supriyatno, 31 tahun. Guru di Desa Pageralang ini tampaknya masih perlu ekstra-lembur menggali nama baru. Sebab tahun depan akan banyak lagi murid yang perlu diganti namanya. "Tahun ini ada sekitar 1/3 dari 38 murid kelas VI minta ganti nama," kata Kasim kepada Heddy Lugito dari TEMPO. Menurut guru kelas VI itu, proses perubahan nama tidak terlalu rumit karena umumnya para murid belum memiliki akta kelahiran melainkan hanya surat kenal lahir biasa. "Kalau yang punya akta, kami nggak berani ganti. Seperti saya, sebenarnya ingin ganti nama yang lebih panjang tapi kan sudah ada nomor induk pegawai," kata Kasim, 38 tahun. Untung, nama ayahnya Kasam -- bukan Kasiman. Hingga nama lengkapnya bukan Kasim-Kasiman tapi memang tulen Kasim bin Kasam. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo