Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lima Tahun untuk Pranowo

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANTAN Kepala Polisi Militer Kodam V Jakarta Raya, Mayjen (Purn.) Pranowo, dituntut lima tahun penjara dalam peradilan ad hoc hak asasi manusia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. Jaksa menilai terdakwa bersalah telah melakukan pelanggaran hak asasi berat dalam peristiwa Tanjung Priok, pertengahan 1980-an.

"Kami minta majelis hakim menghukum terdakwa dengan hukuman penjara lima tahun," kata jaksa penuntut umum Roesman Hadi. Jaksa menilai Pranowo tidak terbukti tidak bersalah dalam kasus yang telah lama menggantung itu. Selama persidangan 10 bulan ini, jaksa menilai Kolonel (waktu itu) Pranowo selaku Kepala Pomdam Jaya tidak berusaha mencegah anak buahnya yang melakukan penyiksaan di rumah tahanan militer Guntur, yang berada di bawah wewenangnya. Sebagai komandan RTM, yang ketika itu dititipi 125 tahanan dari Kodim 502 Jakarta Utara, dia juga tidak melaporkan peristiwa tersebut kepada pejabat atasan yang berwenang.

Pranowo sendiri menyatakan dakwaan jaksa tidak benar. "Nanti kita buktikan dalam pembelaan saya," katanya. Ia sendiri yakin bisa bebas, karena tidak ada saksi dalam persidangan yang menyatakan dirinya terlibat.

Tersangka Bom Marriott diciduk

SEHARI menjelang Hari Bhayangkari ke-58, Polri mendapat kado cukup istimewa. Tim 88 Antiteror Mabes Polri pimpinan Komisaris Polisi Martinus Hukom berhasil meringkus enam tersangka peledakan bom di Hotel JW Marriott, Jakarta, Rabu pekan lalu.

Mereka ditangkap di rumah Sudadi, penjual minyak wangi dan guru Taman Pendidikan Al-Qur' di Masjid Al Hidayah di Sukoharjo, Jawa Tengah. Polisi menyita sepucuk pistol, 12 butir peluru, sebilah samurai, dan dua kardus buku. "Dari penelusuran kami, di antara yang ditangkap itu terkait dengan pelaku persiapan peledakan di Bali dan Marriott," kata Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar. Soal kemungkinan keterkaitan mereka dengan perakit bom Bali, Dr. Azahari, yang masih buron, Da'i belum bisa memastikan.

Huzrin Hood Dibui Jaksa

HUZRIN Hood, bekas Bupati Kepulauan Riau, terpidana kasus korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Rp 3,7 miliar, ditangkap aparat kejaksaan di Tanjung Pinang, Jumat pekan lalu. Penangkapan itu terkait dengan putusan pengadilan negeri setempat yang menghukumnya dua tahun penjara.

Terungkapnya kasus Huzrin berkat temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang mencurigai adanya skandal dalam dana APBD 1999/2000. Awalnya, dugaan korupsi mencapai Rp 40 miliar, tetapi kemudian yang terbukti hanya Rp 3,7 miliar. Inilah yang terbukti di pengadilan.

Namun, dengan alasan berobat, Huzrin bolak-balik ke Jakarta. Atas protes dan desakan warga, kejaksaan tiga kali melayangkan surat agar Huzrin kembali ke penjara. Namun bekas "orang kuat" di Kepulauan Riau itu bergeming. Sesudah kejaksaan mengancam akan menangkap Huzrin, realisasinya terjadi Jumat lalu itu di Pelabuhan Sri Bintan Pura, setibanya ia dari Jakarta. "Kami sudah menangkapnya dan sekarang dia ada di tahanan kejaksaan," kata Suhaimi, Kepala Kejaksaan Tanjung Pinang.

Koruptor di KPU Divonis

PADA usia senja, Bambang Mintoko dan Ny. Clara Sitompul seharusnya hidup tenang bersama anak-cucunya. Kedua mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1999 itu divonis 6 dan 3 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Sunarjo, Kamis pekan lalu. Mereka juga didenda Rp 25 juta dan membayar uang pengganti masing-masing Rp 1,8 miliar dan Rp 1,25 miliar. Mereka dianggap terbukti bersalah mengkorupsi uang KPU.

Bambang dan Clara, sebagai anggota KPU dari PDI Perjuangan dan Partai Kristen Nasional Indonesia (Krisna), memberikan pekerjaan kepada PT SASS Kencana Engineering. PT SASS diminta mengadakan 960 ribu bendera—atau masing-masing 20 ribu lembar dengan biaya @ Rp 8.000—untuk 48 partai peserta pemilu. Untuk itu, KPU menganggarkan dana Rp 7,6 miliar. Namun, pada kenyataannya, PT SASS hanya mengerjakan 240 ribu lembar bendera atau 5.000 bendera tiap partai. Sisa dana Rp 5,7 miliar kemudian dibagikan kepada semua partai.

Terhadap vonis itu, Bambang langsung menyatakan banding. "Saya kan tidak menerima uang," katanya usai persidangan. Sikap Clara belum diketahui, karena ia tak menghadiri sidang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus