Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Seks dan Mistik, Sang Primadona

Tayangan seks dan mistik di televisi punya banyak penonton. Apakah ini mencerdaskan bangsa?

5 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tayangan televisi di Indonesia adalah tayangan yang latah. Jika suatu produk laku, yang diukur dengan rating tinggi, semua stasiun televisi membuat acara serupa. Ini karena ada tuntutan dari biro-biro iklan. Sudah tak ada lagi rasa malu disebut sebagai pengekor. Yang muncul belakangan hanya memodifikasi sedikit saja dari acara yang terdahulu.

Yang menarik, dari sekian tayangan yang ada unsur latahnya itu, dialog tentang seks dan kisah-kisah mistik menjadi primadona saat ini. Tayangan seks menarik minat penonton karena rasa ingin tahu orang begitu besar tentang "rahasia kehidupan" yang selama ini tabu dibicarakan di depan umum. Hubungan suami-istri dengan segala pernik-perniknya di masa lalu bagaikan sebuah tabir yang tak bisa diumbar keluar. Membocorkan rahasia yang satu ini seolah-olah mengumbar keaiban. Di beberapa daerah, ketabuan seperti ini masih dipelihara dengan rapi.

Adakah masyarakat kita sudah berubah? Tampaknya begitu, dan perubahan ini secara perlahan telah menggusur daerah tabu menjadi suatu hal yang biasa saja. Maraknya iklan kondom dan ramainya konsultasi seks di media massa mempercepat laju perubahan untuk mengubur kisah tabu soal seks. Apalagi ditunjang dengan penampilan artis-artis di televisi yang mengumbar anggota tubuh yang dulu dianggap sensitif bagi kaum wanita, seperti memperlihatkan pusar dan goyangan yang bisa diasosiasikan dengan adegan sanggama.

Apakah ini kebablasan? Ini sebuah diskusi yang panjang, yang tak pernah bisa dirumuskan. Dulu, ketika film-film Indonesia diprotes sebagai pengumbar "sekwilda" (sekitar wilayah dada) dan "bupati" (buka paha tinggi-tinggi), masalah ini diperdebatkan tanpa ada hasil, apakah itu tergolong porno atau tidak. Sekarang, pengumbaran jauh lebih berani dan tidak lagi lewat gedung bioskop, tetapi langsung masuk ke rumah-rumah lewat televisi.

Begitu pula masalah mistik dan klenik. Setelah film-film mistik sukses di layar kaca, muncul tayangan yang seolah-olah mengungkap rahasia gaib secara nyata. Padahal, semua tayangan gaib ini menipu penonton. Tak ada yang seratus persen kenyataan. Semua ada unsur tipuannya, baik tipuan kamera maupun editing, apalagi dengan garapan ilustrasi musik yang dibuat khusus. Paranormal menjadi bintang di acara gaib ini. Dia bisa menjelaskan, "Di pohon itu ada makhluk halus yang gentayangan," tetapi penonton tak bisa melihat apa-apa. Lalu, ada penjelasan: "Kamera tak bisa menangkap makhluk halus karena cara penampakannya bukan melalui media itu." Pokoknya bermacam dalih bisa diuraikan. Penonton bisa takjub karena sejak awal sudah digiring ke dalam suasana "dunia lain".

Sejauh mana "industri gaib" ini mendidik penonton? Ini pun perdebatan yang tak akan pernah selesai. Karena yang diperdebatkan antara hal-hal yang normal dan hal-hal yang paranormal, jadi tak nyambung. Lihat saja nama acara itu di televisi: Dunia Lain, Gentayangan, Misteri, Percaya Nggak Percaya, dan entah apa lagi. Bagaimana mendebatnya dengan memakai ukuran dunia realitas?

Kini, setelah sempat tersandung acara Mbikin Orang Panik—yang nyaris membuat seorang perwira polisi dipecat—RCTI memutuskan untuk menyetop tayangan mistik dan yang bau pornografinya rada keterlaluan. Sebagai gantinya telah diprogram acara yang lebih berkelas dari segi mutu. Keputusan yang patut didukung dan mudah-mudahan segera diikuti stasiun TV lain, tanpa perlu harus menunggu "tersandung" dulu. Latah memang tak selalu berarti buruk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus