Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lipu-lipu Bahasa Lama

Amir Hamzah melakukan aneka percobaan dalam berbahasa. Ia memberi gaya baru pada bahasa Indonesia dengan kata-kata yang kemas, ganas, tajam, dan lagi pendek

14 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 11 Maret 1944, sastrawan angkatan ’45, Chairil Anwar, menulis pada secarik kartu pos dalam perjalanannya ke Jawa Timur. Dalam surat yang ditujukan kepada sahabat karibnya, Hans Bague Jassin, itu, Chairil melontarkan kritik kepada para sastrawan nasional dari angkatan Pujangga Baru. "…orang ’pujangga baru’ kebanyakan epigones… epigones yang tak tentu tuju pula lagi," tulisnya.

Chairil memang dikenal kritis terhadap sastrawan angkatan di atasnya. Penyair Hasan Aspahani, yang mendalami karya-karya Chairil, menyebutkan tulisan di kartu pos itu semacam ejekan karena menganggap para sastrawan di angkatan Pujangga Baru hanyalah membebek sastrawan di Belanda angkatan 1880. "Pada waktu itu memang ada semacam kepercayaan di antara para sastrawan Indonesia, jika ingin lebih cepat terkenal, harus menulis dalam bahasa Belanda," kata Hasan saat ditemui Tempo, 31 Juli lalu.

Meski kritis terhadap Pujangga Baru, Chairil menaruh kekaguman kepada "Sang Raja Penyair" dari angkatan tersebut, Amir Hamzah. Dia menilai karya-karya Amir, terutama yang dikumpulkan dalam buku sajak Nyanyi Sunyi, telah memberi gaya baru pada bahasa Indonesia dengan kata-kata yang kemas, ganas, tajam, dan lagi pendek. "Susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!" tulis Chairil dalam karangannya yang berjudul Hoppla!.

Hasan mengatakan penilaian Chairil itu didasari atas kesuksesan Amir Hamzah melakukan aneka percobaan dalam berbahasa. "Inilah yang menjadi ciri khas sekaligus keunggulan Amir." Meski pada dasarnya Amir masih memakai bentuk lama, yakni syair, secara isi, untai dan bunyinya tertib serta ada kesegaran di sana.

Eksperimen Amir tak hanya pada penggunaan aneka kata dalam bahasa Melayu. Dia kerap mengambil kata-kata dari bahasa Jawa Kuno, Sanskerta, hingga bahasa India. Salah satu contohnya adalah penggunaan kata "swarga" dan "firdausi", yang digunakan beberapa kali dalam puisi berjudul "Taman Dunia", "Turun Kembali", dan "Doa Poyangku".

Damiri Mahmud, kritikus sastra yang juga menulis buku Menafsir Kembali Amir Hamzah, mengatakan Amir adalah satu-satunya penyair yang betul-betul dihargai oleh Chairil Anwar. Kendati sangat berlawanan dalam hal gaya dan visi karya, mereka berperan sebagai penghancur kebekuan bahasa lama sekaligus pemberi gaya baru. "Chairil sendiri dengan demikian adalah penerus Amir Hamzah."

Menurut Damiri, kepiawaian Amir dalam berbahasa itu terasah berkat latar belakang dia sebagai bangsawan. "Di istana (Kesultanan Langkat) kan sering ada acara gurindam dan pantun. Selain itu, Amir memang memiliki insting yang halus," ujar Damiri saat diwawancarai Tempo di Medan. Hal inilah, kata Damiri dalam bukunya, yang tecermin dalam karya-karya Amir yang disebut "berbahasa tinggi dan berjiwa halus".

Pilihan kata, rangkaian, dan gaya bahasa serta susunan rima dan irama dalam karya Amir, menurut Damiri, membuat orang yang membaca dan mendengar sajak-sajaknya tergetar rasa keindahannya. Kepiawaian Amir memasukkan kosakata atau perbendaharaan Melayu kuno merupakan jasa besar dia terhadap perkembangan bahasa Indonesia.

Pada masa Amir sangat produktif berkarya, yakni 1930-an, bahasa Indonesia masih sangat dekat dengan bahasa Melayu. "Bahkan bisa dibilang masih sama." Amir Hamzah yang putra Melayu itu, kata Damiri, keluar dengan sajak-sajaknya yang secara langsung merombak struktur sintaksis dan semantik bahasa. Gaya bahasanya itu mengubah dan mempengaruhi para pemakai bahasa Indonesia pada generasi sesudahnya.

Untuk memperkuat argumen itu, Damiri memperbandingkan sajak Amir berjudul "Padamu Jua" dengan sajak Chairil Anwar yang berjudul "Aku". Dari segi bentuk, menurut dia, kedua sajak itu didominasi gaya ironi. Gaya ini menjadi ciri khas pada sajak-sajak penyair modern. Kedua sajak itu pun, Damiri menyebutkan, sama-sama menggunakan simbolisme, sarkasme, dan hiperbola serta menerakan personifikasi dan metafora. "Keduanya ingin meninggalkan pola persajakan lama tapi masih menyisakan begitu banyak ciri pengucapan pantun dan syair."

Hasan Aspahani sependapat dengan Damiri soal jasa Amir terhadap bahasa Indonesia. "Amir konsisten menggunakan bahasa Indonesia dalam karya-karyanya dan turut mempengaruhi para penyair generasi setelahnya." Saat melanjutkan studi hukum di Batavia pada 1932, Amir rutin menulis untuk majalah Timboel. Dua puisi pertamanya, "Soenji" dan "Maboek", muncul di majalah terbitan organisasi Indonesia Muda tersebut. Kebetulan Amir terpilih menjadi Ketua Indonesia Muda.

Hasan menilai konsistensi Amir dalam penggunaan bahasa Indonesia pada karya-karyanya di Timboel adalah bentuk patriotisme dia untuk meyakinkan para pemuda agar berbahasa Indonesia dalam tataran formal ataupun sebagai media berkesenian. Sajak-sajak Amir yang ditulis dalam bahasa Indonesia menjadi hal yang tidak lazim dan menciptakan kekaguman bagi sebagian kalangan penyair pada masa itu. "Dia yakin kepada Sumpah Pemuda dan secara tidak langsung puisi-puisinya telah membuka jalan ke masa depan bahasa Indonesia."

Sahabat Amir di Algemene Middelbare School (AMS), Achdiat Karta Mihardja, pernah menuliskan kesaksiannya perihal kegigihan Amir dalam mempopulerkan bahasa Indonesia. Dalam buku Amir Hamzah dalam Kenangan, Achdiat menuliskan, pada masa-masa Sumpah Pemuda, baru Amir dan Armijn Pane yang bisa membikin sajak memakai bahasa Indonesia. "Yang lain-lain belum bisa melepaskan dari belenggu bahasa Belanda." Ataupun jika bisa, tulis Achdiat, para penulis lari ke bahasa daerah masing-masing.

Achdiat mempertanyakan kegigihan Amir dalam memakai bahasa Indonesia setiap dia menulis karya-karyanya. Dengan bercanda, Amir menjawab, "Wahai Achdiat, hanya itulah kemampuanku. Dengan apa lagi aku akan berlagu kalau bukan dengan bahasa Indonesia?"

Pada 1932, Amir menulis surat kepada Armijn Pane. Dalam suratnya itu, dia mengingatkan Armijn untuk menjaga bahasa Melayu. Sebab, waktu itu Amir mendengar Armijn telah menjadi guru. "Engkau kudengar telah menjadi guru sekarang, apakah yang kau ajarkan? Bahasa Melayu tentu, baik-baik Pane, jangan kau lipu-lipukan (bermain-main) bahasa yang semolek itu," tulis Amir kepada karibnya itu.

Sastrawan Sapardi Djoko Damono menilai jasa Amir dalam berbahasa Indonesia tak hanya dalam hal konsistensi penggunaan. Di angkatan Amir, kata Sapardi, beberapa pujangga lain juga sudah mulai memakai bahasa Indonesia. "Tapi mereka masih mengacu pada bahasa sehari-hari, seperti yang dilakukan Armijn Pane." Amir justru mencoba kembali pada bahasa yang termaktub dalam kitab-kitab lama. "Amir menyadarkan kita bahwa pengembangan bahasa bisa dilakukan secara mundur." l

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus