Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAWARAN Armijn Pane serta-merta disambut Amir Hamzah. Kala itu September 1932. Lewat sebuah surat, kawannya semasa bersekolah di Algemene Middelbare School (AMS) di Solo itu mengajak Amir ikut mendirikan kelompok sastra baru.
Armijn tentu tak bergerak sendiri. Adalah Sutan Takdir Alisjahbana yang menugasi penulis kelahiran Sumatera Utara itu untuk melibatkan Amir Hamzah. Amir, yang keturunan Kesultanan Langkat, salah satu kerajaan Melayu tertua di pesisir timur laut Sumatera, diajak lantaran semangatnya mendorong penggunaan bahasa Indonesia sejak menjadi Ketua Indonesia Muda Cabang Solo.
Amir juga kerap menulis sajak berbahasa Indonesia. Menurut dia, kesadaran berbahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan perlu dituangkan tak sekadar lewat Sumpah Pemuda, tapi juga dalam bentuk tulisan. Sejalan dengan ikhtiar Amir, Sutan-yang kala itu memimpin koran Pandji Pustaka-ingin melahirkan gerakan kebudayaan modern dan nasionalisme, terutama lewat sastra dan bahasa Indonesia. Apalagi pada masa itu penggunaan bahasa Indonesia masih dilarang pemerintah Belanda.
Pertemuan mereka bertiga kemudian terjadi pada Oktober 1932. Ketiganya membahas rencana menerbitkan majalah kesusastraan yang terlepas dari pengaruh Balai Pustaka-penerbit milik pemerintah Belanda. Pilihan nama jatuh pada Poedjangga Baroe. "Majalah tersebut semata-mata untuk bahasa Indonesia, sastra, dan kebudayaan umum," demikian Sutan menulis dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah.
Nama Poedjangga Baroe sendiri merujuk pada pengarang kesusastraan yang menginginkan pembaruan. Angkatan ini ingin meninggalkan sastra lama dan menciptakan sastra baru. Dalam sastra lama, penggunaan bahasa kental akan pengaruh Melayu kuno, juga bahasa kedaerahan, seperti Jawa, Sunda, dan Bali.
Sarwadi dalam buku berjudul Sejarah Sastra Indonesia Modern menulis, awalnya usaha untuk menerbitkan majalah Poedjangga Baroe ada sejak 1921, 1925, dan 1929, tapi gagal. Gara-garanya, selain kebiasaan membaca masyarakat yang masih minim, penggunaan bahasa Indonesia belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat, bahkan oleh kaum intelektual sekalipun. Sebab, penggunaan bahasa daerah dan pengaruh bahasa Belanda masih sangat kental pada masa itu.
Dalam masa persiapan penerbitan Poedjangga Baroe, Amir berperan mengirimkan surat kepada penulis-penulis yang berkontribusi di rubrik Memadjoekan Sastra dalam Pandji Pustaka. Ada 40 surat yang isinya meminta mereka menyumbang karya. Tak hanya itu, Amir juga mengirimkan surat ke 10 sultan di Tanah Air untuk meminta dukungan menjadi pelanggan. "Ini memanfaatkan Kesultanan Langkat sebagai keluarga dia (Amir)," kata Zen Hae, penyair dan penelaah sastra, saat ditemui Tempo pada akhir Juli lalu.
Masalahnya, surat-surat yang dikirim ke kerajaan rupanya tak menuai respons positif. Menurut Zen Hae, saat itu upaya melahirkan bentuk sastra baru justru bertentangan dengan budaya sastra Melayu kuno yang dilanggengkan banyak kesultanan. "Pada masa itu, sajak-sajak anak-anak Pujangga Baru justru dianggap merusak tatanan bahasa Melayu lama yang sudah formal dan tertib," ujar Zen Hae. Hans Bague Jassin dalam Pujangga Baru Prosa dan Puisi menulis satu-satunya yang setuju hanya Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan Pontianak.
Meski tak mendapat kepastian pelanggan, tiga serangkai ini tetap berencana menerbitkan Poedjangga Baroe. Paling cepat pada Mei 1933. Namun masalah kembali muncul. Pertama, Armijn Pane-yang tinggal di Surabaya-perlu tambahan waktu untuk mengurus kepindahan ke Jakarta. Kedua, ada perselisihan terkait dengan biaya cetak antara redaksi Poedjangga Baroe dan pihak Kolff&Co, perusahaan percetakan yang semula digandeng sebagai rekanan.
Baru dua bulan berselang, tepatnya Juli 1933, majalah yang berkantor di Gang Kesehatan VII Nomor 3, Batavia-kini menjadi kompleks perumahan sipil-itu terbit. Pada masa itu, harga langganan majalah ini dibanderol 1,25 gulden per tiga bulan dan 2,5 gulden untuk masa langganan setengah tahun. Terbit setiap tanggal 25, majalah ini 65 halaman tebalnya. Selama masa terbitnya sepanjang 1933-1941, sampul majalah ini tak berubah: gambar dua patung menyerupai orang dengan posisi yang satu duduk dan yang lain seperti berlari.
Dari salinan yang dimiliki Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, susunan redaksi bisa terlihat di bagian sampul muka Poedjangga Baroe. Tapi pada lembar terdepan itu hanya tertulis nama Armijn Pane dan S. Takdir Alisjahbana sebagai pemimpin redaksi. Nama Amir Hamzah baru bisa ditemukan di halaman selanjutnya bersama nama penulis lain, seperti Sanusi Pane, Imam Soepardi, dan Soeman Hs., di kolom Pembantoe Tetap.
Penempatan itu bukan tanpa sengaja. Nh. Dini dalam bukunya, Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang, menulis, sejak Amir mengetahui bahwa Direktur AMS Willem Frederik Stutterheim menerima kunjungan polisi, ia menyadari bahwa tingkah kaum muda akan selalu diawasi. Kantor Voor Inlandsche Zaken-badan penasihat pemerintah soal pribumi-terutama mengawasi anak-anak bangsawan yang berasal dari tanah seberang.
Karena itulah, ketika Amir diminta bergabung dengan Poedjangga Baroe oleh Sutan Takdir Alisjahbana, lelaki berdarah biru dengan panggilan Tengku Busu ini menyanggupi dengan syarat: tidak mencantumkan nama ke daftar penanggung jawab. "Padahal kontribusi Amir tergolong sebagai dewan redaksi," ujar Dini.
Amir banyak menyumbang sajak yang ia tulis selama di Solo dan di kediamannya di Laan Hole, kini Jalan Agus Salim di kawasan Sabang, Jakarta Pusat. Ia juga menulis prosa dan membuat esai berjudul "Kesusasteraan" di Poedjangga Baroe nomor ke-12, Juni 1934. Semuanya berbahasa Indonesia.
Damiri Mahmud, kritikus sastra penulis Menafsir Kembali Amir Hamzah, mengatakan karya-karya Amir yang dipublikasikan memberi gaya baru pada bahasa Indonesia, yang masih sangat mirip dengan bahasa Melayu. Kepiawaian Amir memasukkan kosakata atau perbendaharaan Melayu kuno, kata Damiri, merupakan jasa besar dia terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Tak mengherankan bila H.B. Jassin menyebut Amir sebagai "Raja Penyair Pujangga Baru".
Tulisan Amir terus muncul sampai tahun terbitan ketiga pada 1935. Lelaki kelahiran 28 Februari 1911 ini pun tak pernah absen menerjemahkan Bhagawad Gita, bagian kisah dalam Mahabharata. Baru pada edisi-edisi tahun terbitan 1936 hingga selanjutnya, Amir tak lagi banyak mengirimkan sajak, yang biasa diberi inisial AH.
Penyebabnya, pujangga yang berkiblat ke sastra Timur ini sempat mendapat peringatan dari Sultan Mahmud saat diminta pulang ke Langkat pada 1935. Raja Kesultanan Langkat sekaligus pamannya itu memintanya tak lagi ikut aktivitas pergerakan, termasuk menulis untuk Poedjangga Baroe. Sultan berdalih, Amir yang ketika itu berusia 24 tahun hendak dipersiapkan menjadi pejabat keraton di daerah tersebut. Adik ayahnya itu juga meminta Amir menikah dengan anak sulung yang tak lain masih sepupu kandungnya, Tengku Kamaliah. Pada 21 Maret 1938, pernikahan itu digelar.
Setelah itu, kiprah Amir di Poedjangga Baroe mulai meredup. Meski demikian, menurut Zen Hae, Amir tetap menjadi anggota redaksi majalah yang tutup pada Februari 1942 itu. Buktinya, dalam salinan edisi Mei 1941, misalnya, nama Amir Hamzah masih tercatat di kolom pembantu tetap. Hanya penulisannya yang berubah menjadi Tengku Amir Hamzah, Pangeran Indera Putra Tanjung Pura.
Sejumlah karyanya pun tetap diterbitkan. Koleksi puisi pertamanya, Nyanyi Sunyi, diterbitkan dalam edisi November 1937. Berselang dua tahun kemudian, Poedjangga Baroe menerbitkan kumpulan puisi berjudul Setanggi Timur (Dupa dari Timur), yang telah diterjemahkan Amir pada bulan Juni. Koleksi sajaknya dalam Buah Rindu menjadi tulisan terakhir yang dipublikasikan Poedjangga Baroe pada Juni 1941.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo