Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Puisi 'Gelap' Amir Hamzah

14 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMIR Hamzah adalah penyair yang sajak-sajaknya tidak mudah dibaca bahkan oleh pembaca seangkatannya. Itu sebabnya, bisa saja kita memberinya label "puisi gelap" meskipun harus didudukkan dulu pengertiannya. Dalam puisi, sebaiknya dibedakan dua jenis puisi gelap, itu kalau kita memang sudah memilih istilah tersebut untuk menjelaskan puisi Amir Hamzah dalam kaitannya dengan perkembangan bahasa Indonesia. "Tidak mudah dibaca" tentu saja menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kata "mudah". Untuk menguraikan pengertian itu, dikutip dua bait dari sajaknya yang berjudul "Hanya Satu".

Timbul niat dalam kalbumu:
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak

*

Bersemayam sempana di jemala gembala
Juriat jelita bapaku iberahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putra berlainan bunda

Dalam sajaknya yang utuh, kita membaca kata-kata "rimpuk", "rampak", "terbelam", "jemala", "juriat", dan "pangkai"-misalnya-yang memang memerlukan penjelasan, atau lebih tepatnya penerjemahan, agar bisa dipahami. Penyair, atau orang yang berminat pada seni kata, ternyata tidak harus menciptakan kata baru atau mengambil dari bahasa lisan yang sedang berkembang di sekitarnya. Bahasa pada dasarnya lisan, perkembangannya terutama ditentukan oleh apa yang dituturkan masyarakat penggunanya. Penyair sezamannya, seperti Sanusi Pane, Armijn Pane, J.E. Tatengkeng, dan Takdir Alisjahbana, berusaha melaksanakan prinsip itu.

Namun Amir tidak berjalan seiring dengan penyair-penyair sezamannya dalam mengembangkan bahasa, tapi mengacu pada bahasa yang terdengar asing karena bersumber pada bahasa yang sudah lampau, yang ada dalam kitab-kitab, tidak dalam komunikasi lisan. Ia dibesarkan di lingkungan istana dan bahasa Melayu "klasik", tentu saja, karena ia seorang pangeran. Ketika berangkat ke Jawa untuk belajar, Amir masuk ke kebudayaan dan bahasa yang berbeda. Dua hal itu ditambah dengan kenyataan bahwa ia hidup di zaman masyarakat baru yang berorientasi pada nilai-nilai Barat yang dianggap modern.

Dalam pengantarnya untuk antologi Puisi Baru yang disusunnya, Takdir Alisjahbana memberi gambaran ringkas tentang perkembangan pemikiran zaman di Eropa Barat dengan tegas menyatakan bahwa pertemuan kita dengan perubahan besar yang terjadi di Barat itulah sumber munculnya puisi yang diberinya label "baru" di Indonesia. Alasan Takdir adalah bahwa angkatan muda yang pada masa itu duduk di sekolah berkenalan dengan anggapan masyarakat Barat tentang bahasa dan puisi, dan hal itu sesuai pula dengan jiwa masyarakat kita yang tengah berubah.

Namun Amir Hamzah tampaknya melakukan hal yang tidak sejalan dengan pernyataan Takdir. Di sekolah menengah di Solo, Amir jelas diperkenalkan pada masyarakat yang disebut Takdir itu. Namun, dalam praktik keseniannya, ia malah menengok ke kebudayaan dan bahasa yang membesarkannya. Takdir Alisjahbana merasa perlu memberikan 10 catatan kaki untuk sajak yang saya kutip itu, dua di antaranya berkenaan dengan tafsir atas maknanya, yang lain terutama berkaitan dengan arti sejumlah kata yang oleh Takdir dianggap sulit oleh pembaca karena arkaik.

Cukup aman untuk menyatakan bahwa bagi kebanyakan pembaca sekarang, sajak tersebut memang "gelap", bukan karena larik-lariknya ruwet sehingga tidak bisa dipahami, melainkan disebabkan oleh pilihan kata, yang bahkan oleh pengamat sastra seangkatannya pun perlu diberi penjelasan. Masuk ke lingkungan bahasa dan kebudayaan Indonesia yang sedang berproses, antara lain karena "diganggu" oleh bahasa dan kebudayaan lain, si Melayu Istana ini rupanya memilih cara yang berbeda dari rekan-rekannya dalam upayanya menciptakan bahasa baru.

Lingkungan kesusastraan yang tumbuh di masanya dengan sederhana bisa dipilah: pertama, yang berorentasi hampir sepenuhnya pada bahasa lisan yang berkembang sangat cepat di kalangan kaum yang menggunakan bahasa Melayu Pasar atau Melayu Tionghoa. Kedua, yang mempelajari perkembangan bahasa dan sastra di Eropa beberapa dekade sebelumnya. Murid-murid sekolah menengah diperkenalkan pada sastra Eropa saja melewati zaman yang mengembangkan mazhab Romantisisme, yang memberikan perhatian besar terhadap penggunaan bahasa sehari-hari dan simpati yang besar terhadap nasib masyarakat kecil. Beberapa contoh bisa disebut untuk menjelaskan hal itu, yang berikut ini ditulis oleh M.R. Dajoh tentang perempuan menumbuk padi. Blek-blok!/Tiap hari menumbuk padi/alu berat melompat-lompat.

Dalam sajak itu, sama sekali tidak ada yang "gelap" sehingga dengan mudah bisa dipahami. Bahasa Dajoh rapat ke bahasa lisan, seperti juga yang digunakan penyair Mas Marco Kartodikromo dalam sajaknya, "Syair Rempah-rempah", berikut ini.

Jangan berperang seperti buto,
Cuma bisa membuka suworo,
Suka uang tidak berani loro,
Itu bukan adatnya satriyo.

*

Macan kamu betul tidak adil!
Kamu membikin bangsamu voordeel!
Bangsa kerbo kamu nadeel!
Itu aturan yang kamu ambil!

Sajak seperti yang ditulis Mas Marco ini bisa saja dianggap "gelap" karena menggunakan bahasa campuran yang mungkin tidak bisa dipahami pembaca. Ini jelas menunjukkan kecenderungan di kalangan intelektual muda seperti yang disampaikan oleh Takdir. Di samping itu, ada kecenderungan lain yang mirip dengan yang ditempuh Mas Marco seperti yang tampak dalam contoh berikut ini, yang ditulis pada 1927 oleh Lou Tjui Tjeng, judulnya "Meneer Perlente".

Kepada sekalian pembaca Dames, Heeren, oudste en jongste,
Di sini kita suguhken sairan getiteld "Meneer Perlente".

Mungkin saja penyair-penyair yang sajak-sajaknya baru saja dikutip itu mengenal Romantisisme Barat, yakni menggunakan "bahasa yang dipakai oleh orang kebanyakan". Sajak "Hanya Satu" menunjukkan kecenderungan berbeda. Amir Hamzah tidak melakukan hal itu meskipun dalam beberapa sajak Amir memungut kata dan konsep dari kebudayaan dan bahasa Jawa yang bisa saja dianggap bahasa "sehari-hari". Yang dengan gigih dilakukannya sepanjang kariernya sebagai penyair adalah justru "mengembalikan" bahasa di masanya ke masa lampau, yakni bahasa yang berkembang di masyarakat Melayu lama dan dalam kitab-kitab Melayu klasik.

Di samping minatnya terhadap bahasa klasik, perhatiannya pada kesusastraan Timur tampak dalam usahanya menerjemahkan puisi dan menerbitkannya dalam antologi Setanggi Timur. Namun yang lebih penting dalam kariernya adalah pembacaan dan studinya atas puisi Rabindranath Tagore, penyair Asia pertama yang mendapat Hadiah Nobel untuk kesusastraan pada 1913. Sajak-sajak Tagore diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Melayu dan Jawa. Dalam puisi, bahasa tidak hanya yang berkaitan dengan diksi, tapi juga dengan cara mengaturnya di halaman, hal yang menyangkut ruang. Puisi Tagore umumnya disusun dalam pengaturan ruang yang dikenal sebagai prosa lirik. Di samping itu, ada ciri lain yang khas, yakni penggunaan kata you yang tidak diawali huruf kapital.

Dua ciri inilah yang rupanya menarik perhatian Amir. Di samping penggunaan diksi arkaik, ia juga mengembangkan prosa lirik, yang nilainya dalam perkembangan puisi kita sejajar dengan sajak-sajak lain yang ditulisnya dalam sajak empat seuntai. Sajak berikut ini, berjudul "Doa", saya kutip seutuhnya sebagai contoh.

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasiku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!

Sajak ini, yang pada dasarnya juga disusun dalam larik, biasanya disebut prosa. Dan, karena cara pengucapannya menyerupai lirik, disebut prosa lirik. Antara lain dalam sajak inilah akal-akalan Tagore untuk tidak menulis you dengan huruf kapital diambil manfaatnya oleh Amir Hamzah. Kalau dalam sajak "Doa" kata "kekasihku" dan "-mu" ditafsirkan sebagai manusia, keseluruhan sajak ini menjadi ambigu. Dikaitkan dengan manusia, frasa "membawa angan ke bawah kursimu" tentu menimbulkan makna taksa, Jangan-jangan yang disebutnya sebagai "-mu" dan "kekasihku" itu Tuhan. Bisa saja kita kaitkan sajak dengan riwayat hidup penyair yang mengatakan bahwa sajak itu ditujukan kepada gadis Jawa yang dikenalnya di Solo. Namun, dalam pembicaraan tentang perkembangan bahasa, sebaiknya hal itu ditepikan saja.

Membicarakan Amir Hamzah dalam kaitan dengan perkembangan bahasa sebaiknya memberi tekanan pada strategi yang diambil penyair ini dalam menggunakan bahasa. Ia hidup di tengah-tengah situasi perpuisian yang cenderung memanfaatkan tuturan lisan. Hal ini tampak jelas tidak hanya dalam media cetak yang menggunakan bahasa Melayu Tionghoa, tapi juga yang dengan sadar berniat mengembangkan kebudayaan dan bahasa baru, yang oleh Takdir Alisjahbana dianggap berkaitan dengan "jiwa masyarakat kita yang sedang berubah".

H.B. Jassin menyebut Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru, tentu karena perannya dalam perkembangan bahasa. Peran dan jasanya dalam hal itu tampak justru dengan memanfaatkan bahasa klasik, di samping upayanya mengembangkan wujud visual puisi sejalan dengan yang dilakukan Rabindranath Tagore. Jadi perkembangan dan pengembangan bahasa tidak hanya memiliki ciri dan kecenderungan memandang ke apa yang sedang terjadi di masa kini, tapi juga apa yang pernah ada di masa lampau. Itulah terutama jasa dan peran Amir Hamzah dalam perkembangan bahasa kita.

Sapardi Djoko Damono
Guru, Sastrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus