Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inspirasi Kekasih dalam Sunyi
Amir Hamzah mendapat gelar pahlawan nasional karena jasanya di bidang sastra. Ia mengolah sastra Melayu klasik. Terpengaruh Rabindranath Tagore.
TENGKU Tahura Alautiah menangis di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 10 November 1975. Saat itu, Presiden Soeharto menyerahkan sebuah piagam kepadanya. Isinya: keputusan pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada ayah Tahura yang juga penyair legendaris Indonesia, Tengku Amir Hamzah.
Anak tunggal Amir Hamzah itu menganggap pemberian gelar pahlawan tersebut begitu bermakna. Sebab, hal itu telah membuktikan peran dan jasa ayahnya buat bangsa. "Saya jadi tahu siapa sebenarnya ayah saya," ucap Tahura seperti diliput media saat itu. "Ayah bukan seorang pengkhianat."
Gelar pahlawan untuk Amir Hamzah secara resmi diberikan pemerintah melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 106 tertanggal 3 November 1975. Ini berselang 29 tahun setelah Amir dieksekusi mati dalam sebuah revolusi sosial di Sumatera Timur pada Maret 1946. Penyair kelahiran Langkat, Sumatera Timur, pada 28 Februari 1911 itu disasar orang-orang kiri yang antifeodal karena dia termasuk keluarga bangsawan Kesultanan Langkat.
Amir bukanlah pejuang yang dengan gagah berani mengangkat senjata untuk bertempur melawan penjajah. Pemberian gelar pahlawan kepadanya pun tak didasari alasan itu. Dia memang pernah ikut pergerakan ketika terlibat dalam Kongres Indonesia Muda pada 28 Desember 1930-2 Januari 1931 di Solo, Jawa Tengah. Ini sebuah perkumpulan pemuda yang berupaya melenyapkan semangat kedaerahan demi persatuan. Tapi sesungguhnya Amir berjuang di jalan lain: lewat bahasa dan sastra.
Sagimun Mulus Dumadi, dalam buku Pahlawan Nasional Amir Hamzah, menyebut Amir sebagai golongan man of thought and inspiration. "Orang-orang yang dengan daya pikir dan daya ciptanya mampu menggerakkan atau menggetarkan hati ribuan, ratusan ribu, bahkan jutaan orang," tulis Sagimun. Sejarawan Nugroho Notosusanto juga memasukkan Amir ke golongan a drop of ink makes millions think. Artinya, setitik tinta membuat berjuta-juta orang berpikir.
Ketika bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Batavia dan Algemene Middelbare School (AMS) Solo--sekolah menengah pertama dan atas pada masa penjajahan Belanda-mulai akhir 1920-an hingga awal 1930-an, Amir sudah berupaya meninggalkan bahasa Belanda, bahasa wajib di sekolah itu. Caranya dengan membuat puisi, prosa, dan prosa liris dalam bahasa Melayu-cikal-bakal bahasa Indonesia. "Dia memajukan bahasa Indonesia lewat puisi," kata penyair Zen Hae pada akhir Juli lalu.
Nurhayati Sri Hardini alias Nh. Dini, penulis buku Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang, bahkan mengatakan Amir-bersama kekasihnya di Solo, Ilik Sundari-kerap mempropagandakan bahasa Melayu dalam setiap pertemuan dengan teman-teman mereka. "Amir dan Ilik yang menggembar-gemborkan supaya setiap pertemuan menggunakan bahasa Melayu, bukan Belanda," ujar Dini pada akhir Juli lalu.
Selepas AMS, perjuangan memajukan bahasa Melayu tak surut dilakukan Amir. Saat menempuh pendidikan di Rechts Hoge School-sekolah hukum di Batavia-dia ikut terlibat dalam penerbitan majalah bulanan Poedjangga Baroe. Di situlah sebagian besar karya berbahasa Melayu bikinan Amir diterbitkan. Sejak 1932 hingga 1946, ia tercatat menulis 160 karya-terdiri atas 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris asli, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa asli, dan 1 prosa terjemahan.
Karya-karya Amir yang terkenal dan diterbitkan antara lain kumpulan sajak Nyanyi Sunyi (Pustaka Rakyat, pada 1938); kumpulan sajak Setanggi Timur (Pustaka Rakyat, 1939); kumpulan sajak Buah Rindu (Pustaka Rakyat, 1941); terjemahan karangan Rabindranath Tagore, Bhagawat Gita; dan prosa Mudaku (Poedjangga Baroe, 1933). Juga Pantun, studi mengenai pantun bagi modernisasi sastra Indonesia (Poedjangga Baroe, 1934); prosa Radja Ketjil (Poedjangga Baroe, 1934); dan prosa Njoman (Poedjangga Baroe, 1934).
Dengan segala karyanya itu, pakar sastra Hans Bague Jassin menjuluki Amir sebagai "Raja Penyair Pujangga Baru". Kepada Sagimun Mulus Dumadi, pada 11 Desember 1991, Jassin mengatakan sebutan itu diberikan atas pertimbangan keindahan karya-karya Amir. Menurut Jassin, sajak-sajak Amir adalah yang paling bagus di antara yang pernah dia baca pada masa itu. "Sajak-sajaknya sangat indah. Gaya bahasanya adalah ’Gaya Raja’," ucap Jassin seperti dikutip Sagimun.
Damiri Mahmud, penulis buku Menafsir Kembali Amir Hamzah, mengatakan bakat sastra Amir muncul lantaran dia hidup di lingkungan Kesultanan Langkat. "Di istana kan sering ada gurindam, pantun, atau yang semacam itu," katanya pada akhir Juli lalu. Gurindam dan pantun merupakan bentuk puisi lama yang sering ditulis menggunakan bahasa daerah, terutama Melayu. Bakat itu, menurut Damiri, kemudian melebur bersama sikap, insting, dan perangai halus Amir.
Semua karya Amir berpedoman pada sastra Melayu klasik. Dalam bukunya, Damiri mencontohkan ungkapan Melayu pada sajak "Padamu Jua", yang menjadi bagian kumpulan Nyanyi Sunyi. Misalnya bait pertama sajak itu: Habis kikis/Segala cintaku hilang terbang. Pulang kembali aku padamu/Seperti dahulu. Menurut Damiri, Amir menggunakan gaya ironi khas Melayu, yakni makna yang tersirat berbeda dengan yang tertulis. "Cinta Amir tidak benar-benar habis kikis, malah tambah membubung tinggi," ujarnya.
Karya-karya Amir juga mendapat pengaruh dari kesusastraan India, Persia, dan Arab. Penyair Sapardi Djoko Damono mengatakan karya Amir paling banyak dipengaruhi pujangga India, Rabindranath Tagore. Pengaruh itu, kata dia, terlihat dari bentuk sajak Amir yang menyerupai prosa liris-sajak dengan bahasa berima-layaknya karya bikinan Tagore. "Karya Amir Hamzah mengacu ke situ," ucap Sapardi pada akhir Juli lalu.
Lewat cara itulah Amir mengembangkan bahasa Melayu. Karya-karyanya memadukan sastra Melayu klasik dengan referensi dari luar. Menurut Zen Hae, Amir membaca banyak sekali bahan referensi sehingga harus pula membaca banyak rujukan untuk bisa memahami karya-karyanya. "Sajak-sajak Amir Hamzah kaya karena menyerap khazanah dari luar Melayu," katanya. Bahkan penyair Chairil Anwar pernah menyebut sajak-sajak Amir sebagai "sajak gelap" lantaran butuh berbagai rujukan untuk memahaminya.
Sapardi menyatakan pengaruh Tagore juga terlihat dari ambiguitas karya-karya Amir. Karya-karya Tagore, menurut Sapardi, cenderung tak jelas dalam memaknai sesuatu. "Tergantung pembaca mau memaknai apa," ujarnya. Inilah yang juga terjadi dalam karya-karya Amir Hamzah.
Dalam "Padamu Jua", misalnya, para pakar berbeda pendapat ketika memaknai kata kekasih, mu, dan engkau. H.B. Jassin, Andries Teeuw, Sutan Takdir Alisjahbana, Abdul Hadi Wiji Muthari, dan A.H. Johns meyakini kata-kata itu merujuk pada Tuhan karena mereka menganggap karya Amir tersebut merupakan sajak religius, mistik, atau tasawuf.
Tapi Damiri Mahmud menyatakan "Padamu Jua" bukanlah sajak religius. Menurut dia, kata-kata dalam sajak itu merujuk pada Ilik Sundari, kekasih hati Amir. "Saya tidak sepakat jika puisi ini dibilang terkait dengan ketuhanan," ucap Damiri.
Nh. Dini sependapat dengan Damiri. Menurut dia, "Padamu Jua" mewakili cinta Amir kepada Ilik. Sebab, Dini meyakini Ilik menjadi inspirasi di hampir semua karya Amir. Meski begitu, Dini menyatakan ada satu hal yang belum terungkap hingga sekarang. Ini soal pernah-tidaknya Amir memberikan sajak-sajak itu kepada sang inspirasi: Ilik Sundari. "Tidak ada yang cerita soal itu," kata Nh. Dini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo