Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setelah Raja Bersabda

Raja Thailand menjegal pencalonan Putri Ubolratana dalam pemilihan perdana menteri. Partai yang berafiliasi ke Thaksin Shinawatra terancam dibubarkan.

23 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Partai Thai Raksa Chart saat mendaftarkan Putri Ubolratana Rajakanya sebagai calon perdana menteri ke Komisi Pemilihan Thailand/REUTERS/Bobby Yip

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegembiraan para kader Partai Thai Raksa Chart hanya bertahan setengah hari setelah mendaftarkan Putri Ubolratana Rajakanya sebagai calon perdana menteri ke Komisi Pemilihan Thailand, Jumat siang dua pekan lalu. Menjelang tengah malam, Raja Thailand Maha Vajiralongkorn mengumumkan dekrit yang melarang keluarga kerajaan terlibat dalam politik.

Dekrit itu praktis membatalkan pencalonan Ubolratana, kakak perempuan Raja Vajiralongkorn. Raja menyatakan, menurut konstitusi, raja dan anggota keluarga kerajaan dilarang berpolitik praktis. Kaum bangsawan harus berdiri “di atas” politik. “Meski telah melepas gelarnya sesuai dengan hukum kerajaan, dia (Ubolratana) masih mempertahankan status dan posisinya sebagai anggota Dinasti Chakri,” katanya.

Pencalonan Ubolratana sempat mengejutkan publik. Inilah pertama kalinya dalam sejarah Negeri Gajah Putih ada anggota kerajaan yang menjadi calon perdana menteri, jabatan politik tertinggi yang bisa diemban rakyat jelata.

“Seperti yang dapat Anda baca dalam tulisannya di Instagram, Putri Ubol-ratana menyatakan bahwa dia mengajukan gagasan untuk menolong Thailand keluar dari perpecahan yang telah mendera negara ini selama hampir 15 tahun,” ujar Umesh Pandey, calon anggota parlemen dari Thai Raksa Chart, kepada Tempo, Senin pekan lalu.

Dekrit itu seakan-akan mendukung protes beberapa partai terhadap pencalonan sang putri. Partai Reformasi Rakyat, misalnya, yang blakblakan mendukung Jenderal Prayuth Chan-ocha kembali menjadi perdana menteri, telah mendesak Komisi Pemilihan agar mencoret pencalonan Ubolratana. “Partai atau individu dilarang memanfaatkan monarki dalam kampanye pemilihan,” ucap ketua partai, Paibul Nititawan, mengutip peraturan kampanye.

Ubolratana tidak diam saja. Sebelum adiknya bersabda, sulung empat bersaudara dari pasangan mendiang Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit ini menyatakan, sesuai dengan konstitusi, ia memiliki hak dan kebebasan seperti rakyat jelata. “Pencalonan ini saya lakukan karena ketulusan dan niat saya berkorban untuk memimpin negara menuju kemakmuran,” ujarnya.

Ubolratana/REUTERS/Athit Perawongmetha

Tapi perempuan 67 tahun ini bungkam setelah dekrit terbit. Ubolratana menggembok akun Instagramnya, yang memiliki hampir 100 ribu pengikut. Sebelum mengunci akun @nichax itu, ibu tiga anak yang tenar sebagai aktris dan filantropis tersebut sempat membagikan tulisan berisi ucapan terima kasih atas dukungan masyarakat kepadanya.

Ubolratana melepas gelar kebangsawanannya saat menikah dengan Peter Ladd Jensen, warga Amerika Serikat mahasiswa Massachusetts Institute of Technology, pada 1972. Setelah 26 tahun tinggal bersama di Negeri Abang Sam, hubungan mereka kandas. Pada 2001, Ubolratana pulang kampung. Dia tetap diperlakukan sebagai anggota keluarga kerajaan, meskipun tak lagi dilindungi hukum lèse-majesté—aturan ketat yang melarang penghinaan terhadap kerajaan.

Pencalonan Ubolratana juga kontroversial karena dia dicalonkan oleh Thai Raksa Chart. Partai oposisi ini berafiliasi dengan Thaksin Shinawatra, bekas perdana menteri yang mengasingkan diri setelah dikudeta militer pada 2006.

Thai Raksa Chart didirikan para mantan punggawa Pheu Thai, partai oposisi terbesar di Thailand. Pada 2011, Pheu Thai menang telak dalam pemilihan umum dan mengantarkan pemimpinnya, adik perempuan Thaksin, Yingluck Shinawatra, sebagai perdana menteri. Yingluck sempat berkuasa selama tiga tahun hingga dilengserkan Jenderal Prayuth lewat kudeta tak berdarah.

Termsak Chalermpalanupap, peneliti dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, menyebutkan Thai Raksa Chart adalah partai yang dijejali pentolan “kaus merah”—sebutan untuk kelompok pendukung Thaksin. Banyak di antara mereka yang tak begitu ramah terhadap kerajaan sejak detik-detik sebelum Raja Bhumibol mangkat pada 2016. “Hubungan dekatnya (Ubolratana) dengan Thaksin sekeluarga bukan rahasia. Tapi itu menjadi kekurangannya di mata para loyalis kerajaan,” ucapnya.

Pavin Chachavalpongpun, profesor dari Pusat Studi Asia Tenggara di Kyoto University, Jepang, mengiyakan kabar kedekatan Ubolratana dengan Thaksin. Menurut dia, kedekatan ini mendasari keduanya menggodok ide pencalonan Ubolratana pada 2018. “Mereka sudah lama sangat dekat,” tutur Pavin, yang kerap berkomunikasi dengan Thaksin. “Mereka bertemu secara teratur, persahabatan mereka nyata.”

Seseorang yang dekat dengan Thaksin mengatakan pria 69 tahun itu pada Juli tahun lalu pernah secara terbuka menggambarkan Putri Ubolratana sebagai figur yang “tidak berdaya secara politis”. “Tapi dia (Thaksin) berharap sang putri dapat bertindak sebagai ‘jembatan’ untuk membantu menghubungkan dan akhirnya me-rekonsiliasi dia dengan istana,” tulis The Guardian.

Sejak pemerintahan monarki absolut di Thailand berakhir pada 1932, tidak ada anggota Dinasti Chakri yang mencitrakan diri sebagai politikus. Pergantian kepala pemerintahan dilakukan lewat perebutan kursi perdana menteri dalam pemilu. Adapun militer nyaris tak pernah absen dalam perebutan kekuasaan lewat kudeta. Militer telah melancarkan 19 kali kudeta, yang 12 di antaranya sukses. Dari 29 perdana menteri yang pernah berkuasa, 12 orang dari militer, termasuk Jenderal Prayuth Chan-ocha.

Kudeta terhadap Thaksin telah membelah politik Thailand menjadi dua kubu: “kaus merah” dan “kaus kuning”—istilah untuk mereka yang pro-kerajaan. Konflik yang membara antara elite kerajaan yang berpusat di Bangkok dan Thaksin bersama pendukungnya yang lebih banyak berbasis di perdesaan telah memicu serentetan protes jalanan serta bentrokan keras selama lebih dari satu dekade.

Munculnya Ubolratana semula dianggap sebagai upaya luar biasa untuk kembali mempersatukan kedua kubu yang bertikai. Tapi publik dibikin heran saat Ubolratana mencalonkan diri lewat Thai Raksa Chart dan langsung dijegal raja. “Ubol-ratana dikenal dekat dengan adiknya. Jadi cukup mengherankan jika ia rupanya bergerak tanpa izin raja,” tulis Time.

Dekrit Raja Vajiralongkorn memicu dugaan bahwa hubungannya dengan sang kakak sebenarnya tak akur. Tapi terbitnya dekrit juga dianggap sebagai manuver istana dalam menengahi pertarungan politik antara sipil dan militer sekaligus langkah Vajiralongkorn untuk terus merangkul tentara.

Tanpa Ubolratana yang populer, Jenderal Prayuth akan melenggang bebas dalam pemilu pada 24 Maret mendatang. Sebaliknya, Thai Raksa Chart kini terancam dibubarkan setelah Komisi Pemilihan menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi. Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Charungwit Phumma menerangkan, pihaknya menemukan partai itu melanggar Pasal 92 Undang-Undang Partai Politik. Menurut pasal itu, setelah mendapat bukti yang memuaskan bahwa tindakan suatu partai dianggap memusuhi monarki, Komisi harus mengajukan permintaan pembubaran partai tersebut ke Mahkamah Konstitusi. “Tindakan mereka dianggap memusuhi monarki konstitusional,” tuturnya.

Thai Raksa Chart menegaskan bahwa mereka tidak melanggar undang-undang dan akan memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka di pengadilan. “Kami akan mengajukan semua fakta di pengadilan dan kami berharap keadilan menang,” kata Umesh Pandey.

Thai Raksa Chart berencana menurunkan 108 kandidat legislator yang akan bertarung di 175 daerah pemilihan. Adapun Pheu Thai memilih tidak menaruh kandidatnya di banyak daerah pemilihan itu untuk mendorong kesempatan kandidat Thai Raksa Chart menang.

“Tampaknya Mahkamah akan membubarkan partai itu sesuai dengan rekomendasi Komisi,” ujar Paul Chambers, dosen Naresuan University, Thailand. Mahkamah diperkirakan memutus kasus tersebut pada Rabu pekan ini.

MAHARDIKA SATRIA HADI (THE NATION, BANGKOK POST, REUTERS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus