Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seperti Kapsul Pecah di Mulut

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam siap bersalin subuh. Jalanan sepanjang Legian macet oleh kendaraan yang berderet-deret. Trotoar penuh dengan pelancong asing. Di sekitar berbagai pub yang memutar musik panggung, sebagian turis berkerumun. Sisanya menenteng botol minuman sembari meluberi jalanan. Rupanya, Legian kembali menemukan napas lamanya: menggeliat dan riuh sepanjang malam, seolah lupa pada teror bom pada setahun silam. Tragedi itu meledak dalam jarak sepelemparan batu dari pusat keramaian di Legian, Kuta. Sebut saja Bounty's CafŽ, Paddy's CafŽ, atau Mini Bar.

Toh, keriaan malam di Legian tak menulari Suriatim (bukan nama sebenarnya), 40 tahun, wanita asal Banyuwangi. Di antara padatnya manusia yang tengah bersuka-suka, mungkin dialah satu-satunya umat yang gelisah. Suriatim tengah menjajal peruntungannya sebagai pekerja seks. Dia mengerahkan jurus yang dianggapnya jitu dalam menggaet tamu bule: tak perlu cantik, yang penting seksi. Atasan "tank top" hitam dibalur kemeja jambon lusuh tanpa kancing. Lalu dipadu dengan celana ketat hitam. Rambutnya dibiarkan menggerai sepinggang. Wajahnya hitam manis, didempul bedak plus lipstik menyala. Jika menipis, buru-buru dia saput ulang-kendati tak mampu menutupi keriput yang menyembul di sudut-sudut matanya.

Toh, bukan urusan keriput itu benar yang membikin Suriatim gelisah. Sudah tiga belas hari ini dia tak mendapat pelanggan."Sepi. Semua pelanggan larinya sama yang muda-muda dan cantik-cantik," ujarnya kepada TEMPO, yang menemuinya di pelataran Bounty's CafŽ. Dari pengamatan TEMPO, puluhan penjaja seks di situ mayoritas memang berusia di bawah 30-an tahun.

Suriatim bukan hanya kalah bersaing. Dia terbilang hijau dalam "bisnis" ini. Mereka yang sudah tinggi jam terbangnya bisa memetik pelanggan dengan kerlingan mata. "Sedangkan saya untung-untungan," ujarnya. Suriatim memang baru tiga bulan ini turun ke jalan. Itu pun karena kepepet.

Kepada TEMPO, dia mengaku tadinya punya warung rokok dan makanan kecil di kawasan wisata Klang Jimbaran. Warung itu dikelola suaminya. Setelah bom Bali, mereka praktis kehilangan pembeli, yang rata-rata orang bule. Sempat bertahan beberapa bulan setelah peristiwa 12 Oktober, mereka akhirnya kehabisan modal. Barang-barang di warungnya habis terpakai sendiri. "Kami tutup sekitar lima bulan kemudian," tutur Suriatim.

Suami dan anak lelakinya pulang ke kampung. Dia memilih bertahan di Bali karena di Banyuwangi pun mereka tak punya pekerjaan. Beruntung, saat itu kamar kosnya di Jimbaran belum habis masa kontraknya. Akhirnya Suriatim memilih bekerja sebagai penjaja seks. Dengan modal pas-pasan, dia berangkat naik ojek setiap malam dari Jimbaran ke kawasan Legian. Ongkosnya Rp 30 ribu pulang-pergi.

Dan ternyata ini bukan pekerjaan mudah. Bom Bali membuat bisnis esek-esek pinggir jalan kehilangan pelanggan utama mereka. Hanya para wisatawan asing-yang jumlahnya kini melorot drastis-yang berani membayar mahal. Untuk tarif satu jam, mereka rata-rata dibayar minimal Rp 150 ribu-dan mereka bisa kembali ke jalan setelah itu. Sementara itu, jika sampai pagi (one-night stand), si bule akan membayar Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. Itu pun kalo untung. "Dulu, sebelum bom Bali, setiap hari bisa dapat tamu. Sekarang satu malam dapat saja sudah untung," ujar Yulisa, 27 tahun, penjaja seks asal Jember. Yulisa beruntung kini punya pelanggan tetap bule asal Australia. Tapi, sebelumnya, dia sempat pulang kampung sekitar empat bulan setelah bom Bali karena tak ada tamu sama sekali.

Sepinya pelanggan membuat para penjaja seks ketat bersaing. Tak jarang mereka pulang dengan tangan kosong. Itu yang dialami Suriatim, yang harus gigit jari hingga tiga belas hari tanpa tamu. "Jadinya saya cuma nawarin pijat. Murah, cuma 50 ribu," ujarnya. Uang itu hanya cukup menyambung hidup sehari, dan jangan harap ada sisa untuk dikirim ke kampung.

Sejatinya, Suriatim kini tengah menimbang-nimbang: pulang kampung atau menyusul bertahan di Bali. Akhir September lalu rumah kontrakannya di Bali habis sewanya. Jika malam itu dapat tamu, dia berniat mencari kamar kos murahan di kawasan Kuta saja. Pahit, memang. Kata Suriatim: "Ibarat minum kapsul pecah di mulut, biar pahit harus ditelan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus