Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lorong-Lorong Seks Di Bangkok

Perdagangan seks (pelacuran) di bangkok. (sel)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THAILAND adalah negeri dengan peninggalan kebudayaan yang kaya. Di sana terdapat kuil-kuil kuno berusia ratusan tahun. Kehidupan rakyat yang penuh warna-warni -- mulai dari orang-orang Islam di selatan sampai suku Meo di utara. Tapi semua itu tak banyak menarik hati turis pria. Sebagian besar mereka datang ke Thailand adalah untuk menikmati keramahtamahan industri hiburan yang didukung oleh gadis-gadis bar, penari go-go, dan sejumlah panti pijat. Pusat segala industri jasa itu adalah Bangkok -- nama yang sudah kesohor ke mana-mana. Tahun 1980, Dinas Pariwisata Thailand mencatat hampir 2 juta pelancong datang ke negeri itu. Selama tinggal di sana mereka menghabiskan US$ 870 juta. Kini pariwisata merupakan salah satu sumber pemasukan valuta asing terbesar bagi Thailand. Ia bahkan memukul industri gula -- yang sebelumnya nomor dua setelah beras. Melambungnya industri hiburan di Thailand ada kaitannya dengan kehadiran tentara Amerika dan sekutunya dalam Perang Vietnam lalu. Seperti biasanya personil militer, yang jauh dari sanak keluarga, selalu haus hiburan. Semula diduga, setelah perang selesai, industri hiburan di Thailand akan mati. Ternyata tidak. Ia bahkan bangkit, kali ini, dengan tumbuhnya pariwisata. Tahun-tahun terakhir ini "pariwisata seks" merupakan bisnis besar di Thailand. Menurut sebuah laporan PBB, pengikut pariwisata jenis ini pria, baik perorangan maupun kelompok. Ada kalanya paket ini diberikan kepada sejumlah karyawan -- semacam bonus perusahaan. Peserta "pariwisata seks" bisa memilih wanita pasangannya sebelum berangkat -- melalui album, tentu saja. Tetapi bisa juga menentukan putusan segera setelah menginjakkan kaki di Thailand. Tak ada soal. Di mana-mana, di negeri ini, "dara-dara nan eksotis" mengimbau dari segala penjuru. Sekali-sekali harga diri bangsa ada juga diperhitungkan. Pada awal 1980, misalnya, Dinas Pariwisata Muangthai mengimbau biro-biro perjalanan untuk sedikit menahan diri. Mereka dianjurkan untuk menitikberatkan promosinya pada kuil-kuil yang bersejarah atau keindahan alam. Tetapi seruan itu tidak mendatangkan perubahan berarti. Lebih 500 ribu wanita muda ambil bagian dalam "industri" yang asyik ini. Mereka beroleh pendapatan antara 1.000 (sekitar Rp 25.000) sampai 15.000 sebulan. Menurut Dr. Pasuk Phongpaichit, seorang ahli ekonomi yang mengamati gejala "industri hiburan", perubahan drastis dalam bisnis ini berakibat besar kepada keseimbangan tenaga kerja dan pendapatan. Namun demikian, turisme tidak bisa dijadikan satu-satunya kambing hitam dalam berkembangnya pasar pelacuran Muangthai. Ia, konon, ditunjang dan ditenggang pula oleh faktor sosiokultural, bahkan sistem ideologi dan politik. Bagaimana ceritanya? Menurut sebuah undang-undang tahun 1960, pelacuran digolongkan barang haram di Thailand. Setiap orang yang kedapatan terlibat dalam urusan ini, termasuk memiliki fasilitasnya, diancam hukuman kurungan 3 sampai 12 bulan, atau denda 1.000 sampai 2.000. Namun sudah menjadi rahasia umum, hiburan jenis ini bisa dibeli melalui 120 panti pijat (hanya satu di antaranya pijat tradisional Thai), 119 tempat cukur, 97 klub malam, 248 kedai kopi, dan 394 tempat disko itu baru di Bangkok saja. Tempat hiburan itu terdaftar secara sah sebagai bar atau rumah makan. Masyarakat juga mafhum semua tempat itu mendapat perlindungan polisi setempat. Karena itu, jangan heran, jarang sekali polisi nongol ke sana. Kalau pun sampai terjadi, biasanya soal "uang keamanan" ekstra. Perkembangan industri seks di Thailand harus dilihat dari segi ekonomi, sosial, dan sejarah. Seperti dalam banyak kebudayaan dengan sejarah aristokrasi, wanita biasanya ditempatkan sebagai status simbol ketimbang tenaga produksi. Sementara itu, wanita dari kalangan lebih rendah sering kali menjadi korban pelampiasan nafsu belaka. Pola ini kemudian bertahan bahkan berkesinambungan -- setelah aristokrasi kehilangan kekuatan politiknya dan digantikan oleh kaum birokrat dan pemimpin militer. Tradisi poligami dan perseliran lalu tampak sebagai "adab" yang jamak. Lewat studi mendalam di dunia panti pijat Bangkok, Dr. Pasuk menemukan, ledakan urban Thailand memperlihatkan dua perkembangan penting di lapangan seks. Pertama, berkembangnya pelacuran. Dan kedua, diakuinya semacam "hak" kaum berkuasa dan kaya untuk memelihara lebih dari seorang istri. Pendek kata keadaan sekarang ini banyak berbeda dengan kebiasaan di masa lampau. Mempunyai beberapa istri atau "simpanan" sudah dipandang biasa. Sebaliknya, kalangan miskin beroleh semacam kebanggaan bila sesekali mampu "berbelanja" ke rumah bordil. Bentuk lain dari eksploitasi seks, menurut Pasuk, adalah kontes kecantikan. Kesempatan seperti itu biasanya digunakan para tokoh politik yang berkuasa untuk berburu istri muda. Seringkali kontes dimenangkan gadis-gadis dari kawasan utara Muangthai -- yang memang kesohor sebagai gudang wanita rupawan. Maka, jangan heran, 75% pelacur Thai datang dari kawasan ini, plus sedikit dari daerah timur laut. Di samping itu harus pula diperhitungkan peranan wanita Thai secara tradisional -- terutama di masyarakat terpencil. Sudah turun-temurun wanita Thai memegang peranan sosial dalam mengemban tanggung jawab ekonomi. Antara lain, mengatur belanja rumah tangga. Wanita Thai juga mengambil tempat penting dalam perimbangan tenaga kerja. Menurut survei tenaga kerja 1978, jumlah wanita Thai yang bekerja mencapai 70% jumlah kaum pria. Atau sekitar 2f3 jumlah wanita dewasa. "Faktor ekonomilah terutama yang membuat kaum wanita memilih pekerjaan pelacur," tulis Yuli Ismartono, pembantu TEMPO di Bangkok. Kawasan utara dan timur laut Thailand, gudang wanita cantik itu, juga terkenal sebagai daerah miskin. Sebuah studi Bank Dunia mengungkapkan, pendapatan per kapita penduduk kawasan ini adalah 188 -- terendah di seluruh Thailand. Di Bangkok, angka pendapatan per kapita itu tercatat 605. Sedangkan angka rata-rata adalah 1.324. Karena itu tidak mengherankan bila wanita muda dari daerah tergerak pindah ke kota beramai-ramai. Didorong oleh tradisi membantu keluarga mereka datang ke Bangkok dengan niat mencari kekayaan. Dan jalan yang paling gampang adalah mengambil bagian dalam pasar seks -- yang juga sudah mendapat pengakuan tradisional. Dalam kata-kata Dr. Pasuk, "industri pelayanan seks di Bangkok dengan demikian bertahan kukuh . . . dan tampil sebagai bagian logis sosio-ekonomis Muangthai masa kini." Di Desa Dok Kam, sekitar 500 km di utara Bangkok, orangtua Noi baru saja membuat sumur untuk menjamin persediaan air minum mereka. Tiga tahun lalu, keluarga petani miskin dengan tujuh anak ini tidak mempunyai sumber air minum. Kediaman mereka pun tidak lebih dari teratak beratap ilalang. Keluarga ini sangat berterima kasih kepada Noi yang bekerja di Bangkok. Setiap bulan ia mengirim uang ke kampung. Kini keluarga itu menempati rumah, meskipun sederhana, terbuat dari kayu. Dalam pikiran keluarga ini, tentulah Noi menjadi tukang jahit yang sukses, dan memiliki kedai sendiri di Bangkok sebagaimana cita-cita putrinya dulu. Tetapi Noi bukan seorang penjahit. Para penjahit sudah beruntung bila berhasil mengumpulkan sekitar 12.000 sebulan -- jumlah yang paspasan untuk hidup di Bangkok. Noi mampu mengirim duit ke kampung karena bekerja di sebuah panti pijat. Dan lebih dari itu, ia memberikan pelayanan seks kepada langganan yang membutuhkan. Di tempat ini ia bisa mencapai penghasilan lima kali dari yang diperoleh seorang penjahit. Setiap malam, bahkan kadang siang hari, Noi duduk dan menunggu bersama 300 wanita muda lainnya. Mereka dipajang di sebuah show room yang luas dengan kaca satu arah. Dari balik kaca itulah para peminat menaksir dan memilih pasangannya. Pilihan dijatuhkan menurut nomor yang disematkan di baju masing-masing wanita itu. Setelah membayar tarif yang ditentukan, para wanita ini bisa dibawa untuk minum-minum atau bercengkerama di kedai kopi. "Tetapi biasanya mereka langsung menuju kamar di lantai atas," tulis Yuli Ismartono dalam laporannya. Jika nasib lagi baik, wanita seperti Noi bisa mengumpulkan sekitar 10.000, plus kemungkinan mendapat bonus. Jumlah ini sekitar 25 kali pendapatan rata-rata golongan menengah di lapangan pekerjaan lain. Statistik yang tepat agak sulit diperoleh. Tetapi menurut perkiraan, sekitar 500 ribu wanita terlibat dalam bisnis ini. Atau 10% dari jumlah wanita dalam kelompok usia 14-24 tahun. Ketika Dr. Thepanom dari Universitas Mahidol melakukan studi tentang kesehatan para pelacur di Bangkok, 1964, polisi memberikan angka 400 ribu. Beberapa gadis seperti Noi sebetulnya datang ke Bangkok dengan itikad baik. Mereka mengharapkan bisa memperoleh pekerjaan yang patut. Misalnya, menjadi salesgirl, waitress, penjahit pokoknya pekerjaan yang tidak memerlukan terlalu banyak keterampilan. Beberapa bahkan memilih untuk menjadi pembantu rumah tangga. Tetapi, tidak lama kemudian, mereka segera tergoda oleh rezeki lebih besar yang ditawarkan berbagai bar dan panti pijat. Banyak pula gadis yang langsung dari desa terjun ke panti pijat. Biasanya mereka dihubungkan oleh teman atau bahkan sanak famili. Mereka, tentu saja, dijanjikan kehidupan mewah dan gaji yang menarik. Dengan demikian, bahkan para orangtua gadis-gadis itu mendorong anaknya untuk berangkat. Begitu berada di Bangkok, dan mendapatkan dirinya sebagai pelacur, para wanita itu pada mulanya mengalami kekecewaan. Tetapi pilihan lain hampir tidak ada. Meski tidak menyenangi pekerjaan itu, sebagian besar mereka segera memahami keadaan. "Saya membenci pekerjaan ini," kata Noi, "tetapi saya berkewajiban membantu keluarga. Sedang saya tak punya kebiasaan lain." Noi tidak menilai pekerjaan ini aib -- kendati sadar banyak orang memandang rendah para wanita seperti dia. Baginya, bisnis seks sama sahnya dengan bisnis lain. Noi, 23 tahun, yang sudah tujuh tahun melacur, tetap melihat pekerjaan ini sebagai profesi sementara. Membanting tulang sekarang, sambil menabung untuk persiapan "pensiun" sewaktu-waktu. "Saya ingin membuka bisnis menjahit pakaian suatu ketika," katanya. Namun tidak semua wanita muda itu seberuntung Noi: bisa merencanakan saat "pensiun", dan bekerja di tempat yang relatif aman dan menyenangkan. Seperti bisnis lain, rumah-rumah hiburan ini juga terbagi dalam beberapa kelas. Memang banyak panti pijat mewah dan gemerlapan yang bisa dibandingkan dengan hotel-hotel kelas satu. Tetapi, tidak kurang pula tempat serupa yang meladeni hajat buruh kasar, sopir, dan golongan berpenghasilan rendah lainnya. Tempat-tempat seperti ini biasanya gelap, kotor, dengan perlengkapan yang sangat sederhana. Seorang gadis yang memulai "karir"nya di tempat begini sulit diharapkan bisa meningkat. Dalam kasus Noi, keputusan menjadi pelacur itu boleh dikatakan sukarela, meski pada mulanya ingin pekerjaan lain yang "sah". Tetapi bagi gadis lain, dan mungkin bagi sebagian besar mereka, profesi itu datang sebagai suatu paksaan. Misalnya, setelah menerima atau meminjam uang dari seorang agen atau perantara. Contoh yang khas bisa diambil dari kasus Lek. Dua tahun lalu, orangtua Lek meminjam uang 2.000 dari seorang rekan. Sebagai imbalannya, Lek, 20 tahun, harus bekerja di kantor rekan tadi di Bangkok. Rekan ini ternyata "perantara" dan yang disebut "kantor"nya itu tidak lebih dari sebuah panti pijat kelas murahan. Dalam keadaan seperti itu Lek tidak bisa mendapatkan uang untuk dirinya sendiri. Ketika utang hampir lunas Lek bersiap-siap pulang ke kampung. Tetapi mendadak ayahnya datang dan membuat pinjaman baru. Dengan sendirinya "masa bakti" Lek di panti pijat itu diperpanjang dua tahun lagi. Harapan untuk keluar bertambah kecil. Sekali terjun ke dalam bisnis ini harapan keluar tipis sekali. Semuanya tergantung belas kasihan para majikan. Tidak ada jam kerja yang pasti. Jaminan kesehatan sangat rendah. Bahkan tidak jarang para wanita itu menerima siksaan badan. Perlindungan hukum pun hampir-hampir tidak bisa mereka harapkan. Kendati sebagian besar wanita itu ingin memilih pekerjaan lain, beberapa di antaranya toh menerima nasib dengan tawakal. Mereka menyimpan uangnya berdikit-dikit dan mengharapkan suatu ketika "kembali ke masyarakat. Mereka selalu berangan-angan tentang munculnya seorang "juru selamat", seorang pengusaha kaya atau seorang asing, yang mengangkat mereka dari lembah durjana itu ke dunia yang sama sekali berbeda. Akibat bisnis ini pun mudah sekali dibayangkan. Dalam penelitian Dr. Thepanom terhadap seribu pelacur, 41% menderita penyakit kelamin. Dan dalam penelitian yang dilakukan klinik pemerintah pada 1979, dari 700.000 penderita penyakit kelamin, 100.000 adalah para wanita yang memberikan "pelayanan khusus". Di samping itu, 71% penderita lelaki mengaku mendapat penyakit itu dari berhubungan dengan pelacur. Pengguguran kandungan merupakan sisi lain industri hiburan. Karena aborsi dilarang oleh hukum Thailand, pekerjaan itu dilakukan di lorong-lorong belakang, dengan segala risikonya. Ada juga penggunaan obat bius, termasuk heroin, oleh sebagian wanita itu. Dalam penelitian Dr. Thepanom, 25% di antara wanita ini menggunakan amphetamine, seconal, dan heroin. Beberapa di antara mereka mengaku menjadi langganan minuman keras. Sikap masyarakat terhadap "industri" yang sedang berkembang ini sulit ditentukan. Kadang-kadang sikap mereka keras. Misalnya, ketika dua kapal perang Amerika berlabuh di dekat Pattaya dan melepas ratusan pelautnya ke daerah hiburan sekitar sana, sekelompok rakyat turun ke jalan memprotes. Tetapi sikap itu tidak bisa dijadikan standar. Kalangan atas melihat persoalan ini sebagai gejala lapisan bawah yang berpendapatan rendah -- kendati para langganan bisa saja datang dari kelompok elite. Sedangkan di daerah udik, tempat asal para pelacur, masyarakat biasanya lebih toleran. Rakyat di sana hanya mencemooh wanita yang pulang kampung tanpa membawa kekayaan bagi sanak familinya. Mereka tidak peduli apakah kekayaan itu datang dari hasil menjual badan. Jika pun ada suara keras menentang pelacuran ia lebih bersifat menggugat sifat eksploitasi dan paksaan dalam profesi ini. Juga semacam tuntutan agar para pelacur mendapat perlidungan yang lebih jelas. "Kita harus realistis," kata bekas ketua Asosiasi Pengacara Hukum Wanita Khunying Khanita Wichiencharoen. Khunying adalah gelar yang diberikan raja untuk para bangsawan dan wanita yang diakui berprestasi. "Sepanjang komoditi ini masih dibutuhkan, dan selama keadaan ekonomi belum memberi alternatif lain, kita tidak bisa mengharapkan pelacuran dibasmi," kata Khunying Khanita. "Jadi, lebih baik kita berusaha agar para wanita ini mendapat hak-hak mereka, dan menerima perlakuan serta upah yang lebih layak seperti dalam bisnis lainnya." Khunying Khanita dan sejumlah simpatisannya percaya bisnis akan lebih mudah diatur bila pemerintah mendaftar semua pelacur. Dengan demikian standar juga bisa ditetapkan dan para wanita mendapatkan perlindungan. Tetapi tidak semua orang sependapat dengan gagasan ini. Dua tahun lalu, sebuah rancangan untuk mengesahkan pelacuran ditolak mentah-mentah oleh parlemen Thailand. Sejak itu masalah ini tidak pernah dibicarakan lagi. Kalangan yang menentang pengesahan pelacuran juga tidak kekurangan alasan. Karena para gadis itu terjun ke dalam profesi ini lantaran tekanan ekonomi, "mengesahkan pelacuran sama artinya dengan mengakui kegagalan pemerintah memberikan alternatif pekerjaan yang lebih berharga," kata mereka. "Pemerintah akan tampak seperti calo," ujar seorang sosiolog yang mati-matian menentang segala bentuk pengesahan pelacuran. Padahal, sementara itu, setiap orang maklum akan industri seks Thailand yang terus meningkat -- dan menunjang perekonomian negeri itu. Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Untuk Thailand, jalan keluar dari masalah ini mungkin berbeda sekali dengan pemecahan yang ditempuh negeri Asia lain. Sebuah laporan PBB mengungkapkan program rehabilitasi dan moralisasi dalam masalah industri hiburan ini memperlihatkan hasil yang tak memadai. Yang dibutuhkan, agaknya, ialah sebuah jalan keluar yang realistis, berpandangan jauh, dan dalam jangka panjang. Yang mempertimbangkan faktor sosiokultural, politik, dan ekonomi. Yang . . . pendeknya, terpadu. Tetapi yang paling penting, menurut laporan itu, adalah identifikasi yang lebih akurat tentang apa yang biasanya dinamakan "problem kelompok". Ada kecenderungan tradisional pada masyarakat untuk memandang para pelacur sebagai kelompok yang memerlukan rehabilitasi. Padahal, dalam kenyataannya, "problem kelompok" ini menyangkut banyak hal. Ia bersangkut paut dengan masalah pria dewasa yang merasa berhak mendapat pelayanan seksual asal mampu membayar. Ia juga menyangkut para agen, perantara, dan calo yang menarik keuntungan dari perdagangan seks ini. Dan ia juga menyangkut peranan para orangtua yang menjual anak-anak mereka dalam bisnis ini. Pokoknya menghapuskan bisnis maksiat ini, rumit deh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus