KONEITRA, di dataran tinggi Golan, tinggal kenangan bagi orang
Suriah. Kota itu telah hancur lebur -- rata dengan bumi.
"Koneitra adalah saksi kebusukan Israel yang ingin merentangkan
kekuasaan dari Nil hingga Efrat," tulis Faishal Muhammad Syaqier
dalam majalah Alfaishal.
Sejak direbut Israel dalam perang 1967, dan dikembalikan kepada
Suriah tujuh tahun kemudian, Koneitra telah berubah jadi kota
mati. Dari kota, yang terletak di ketinggian 400 m dan dulu
berpenduduk 37.000 jiwa, tak lagi ada bangunan yang utuh selain
sebuah menara masjid. "Lembaran-lembaran Quran dan Injil
bertebaran di sisi tempat ibadat yang sangat disucikan manusia.
Tapi Israel tak pernah menghormati kesucian itu," tulis
Alfaishal. Kuburan tua Kristen digali dan diambil
permata-permata di dalamnya.
Koneitra, yang terletak 64 km dari Damaskus, sangat strategis
untuk pengintaian. Memandang ke arah barat daya akan nampak
Palestina yang kini dikuasai Israel. Di arah barat laut,
Libanon, dan di sebelah selatannya, Jordan. Dan hanya beberapa
puluh meter saja kelihatan pasukan Israel lalu-lalang di
perbatasan.
Dataran tinggi Golan sebenarnya sebuah daerah yang subur dan
kaya kandungan buminya. Curah hujan per tahun melebihi 1.000 mm.
Dari sini mengalir Sungai Jordan dan Sungai Yarmuk. Tak heran
jika dulu menjadi tempat persinggahan turis dari mana saja. Dari
Palestina, misalnya, cukup melampaui Kota Banat Ya'qub. Dari
Amman, hanya melampaui Kota Assyaikh Miskin dan Dar'a. Dari
Libanon melampaui Banyas, Marja'iyyun, dan Saida.
Dari sudut sejarah, Koneitra juga mencatat peran yang cukup
penting. Kota ini, sejak tiga ribu hhun sebelum Masehi, sudah
mengenal bangsa Amora dan Kan'an. Beberapa peninggalan
memperlihatkan kekuatan kedua bangsa itu sampai mereka
digantikan oleh bangsa Asyur, 732 SM. Dan sejak itu Golan jatuh
dari tangan ke tangan. Dari Asyur lalu ke tangan bangsa Kaldah.
Di sini juga terdapat suku Alqain, Kalb, dan Arrubab yang
menjadi sasaran bangsa Quraish, suku Nabi Muhammad SAW, untuk
berdagang.
Pada abad ketujuh Masehi pasukan Islam menaklukkan dataran
tinggi ini dan memanfaatkannya sebagai pusat pertahanan. Lalu
Golan menjadi distrik kemiliteran sendiri bersama empat distrik
lainnya di Suriah. Ketika berkecamuk Perang Salib, Golan menjadi
daerah penyanggah bagi tentara Islam. Pernah jatuh ke tangan
pasukan Kristen kemudian direbut lagi oleh pahlawan Islam
Shalahuddin Alayyubi pada Perang Hittin, 1187 M. Terakhir,
sebelum diserahkan kepada Suriah, 1946, Golan berada di bawah
kekuasaan Prancis.
Perang Arab-Israel tak pelak melibatkan kota tua ini. Setelah
bentrokan pada 1948, menyusul perang tahun 1956,1967, dan 1973.
Sebelum Israel mencaplok dalam perang 1967, Golan dihuni 137.000
orang. Sekarang ada sekitar 200.000 yang bermukim di sini.
Menurut Alfaishal, penduduk Golan yang masih sengit melawan
Israel hampir 15.000 orang. Mereka inilah yang masih menjadi
duri perbatasan kadangkala membuahkan konflik besar. Dari empat
suku di sini yang paling populer adalah Druz.
Setelah Golan diduduki Israel semua kegiatan terhenti. Penduduk
asli banyak yang mengungsi, sementara orang Yahudi masuk ke
sana. Untung orang Arab selalu tak bisa membaur dengan orang
Yahudi, sehingga tak pernah terjadi penetrasi budaya.
Setelah tanah itu kembali dikuasai Suriah, penduduk yang
mengungsi mulai berdatangan.
Tahun 1981 pemerintahan Hafez Assad menyediakan dana pembangunan
untuk daerah ini sekitar Rp 1,5 milyar -- naik tujuh kali lipat
dari dana tahunan sebelumnya. Dana itu adalah untuk
mengembalikan potensi pertanian yang sudah centang perenang.
"Tekad pemerintah mengembalikan devisa yang lama hilang dari
daerah ini," tulis Alfaishal.
Yang masih tersisa di Koneitra adalah 1.890 rumah -- lebih
separuh terletak di pinggiran. Rumah yang tak dihancurkan ini
dianggap tak membahayakan keamanan oleh Israel. Tapi jika
pemerintah Suriah yang dikuasai partai Baath bersikeras untuk
membangun Koneitra yang telah dihancurkan itu, Israel mengancam
tidak akan tinggal diam. Artinya: Suriah harus membiarkan
sebagian Koneitra tetap porak poranda hingga saat damai nanti.
Untungnya bekas benteng Raja Namrud (zaman Nabi Ibrahim) tak
ikut dihajar meriam-meriam Israel. Di dalam benteng ini terdapat
sebuah masjid dan sebuah gereja, yang semuanya dibangun oleh
Shalahuddin Alayyubi, dan 14 menara pengintai.
Yang juga tak ikut rusak adalah sebuah mata air hangat yang
diapit sebuah bangunan Yunani purba. Mata air ini, konon,
memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Di antara
keelokan pemandangan di sini, juga bekas sejarah kejayaan orang
Kanaan yang tetap menjadi incaran pelancong dari mana-mana.
Banyas adalah sebuah kota yang pernah dijadikan istana Kaisar
Philip dari Imperium Romawi. Kota ini dulu disebut Neronias --
mengambil nama dari Kaisar Nero. Di sini banyak peninggalan
berharga dan menjadi pusat studi arkeologi. Tapi sejak
pendudukan Israel, kota ini tertutup bagi pengunjung luar. Tak
disebutkan apakah Israel juga mencuri benda-benda kuno yang ada
di sini.
Kota tua hanya, yang memiliki sejarah panjang dari 800 tahun
lalu, juga hancur oleh serangan Israel. Yang lebih parah lagi
Arrafid -- kota kaya dengan peninggalan lama. Gereja dan masjid
sudah banyak yang rata dengan bumi sejak Israel masuk ke kota
ini. Kota peninggalan Byzantium dan Romawi ini mungkin akan
menangis sampai akhir. Nasibnya seperti Koneitra yang menjadi
persoalan berat untuk membangunnya kembali.
Perilaku Israel di Golan ini pernah dikutuk dalam sidang umum
PBB, November 1974. Delapan puluh sembilan suara menuntut agar
Israel menghentikan aksi pembongkaran kota-kota kuno di sana.
Yang menolak cuma 36 dan abstein 4 negara. Tapi hasilnya tak ada
-- kota-kota di Golan telah rata dengan tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini