Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ayan Di Sekitar Kita

Perpei (perkumpulan penanggulangan epilepsi indonesia) mengadakan simposium masalah pengenalan dan penanggulangan epilepsi. penyakit ini cukup rumit dan banyak ragamnya. (ksh)

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SI Badu, kelas II SMP, terkesima ketika gurunya tiba-tiba sudah di depan hidungnya. Bukan itu saja. Dia seperti disambar petir ketika Pak Guru menggebrakkan mistar di bangku. "Kamu berajar atau ngelamun!" hardik Pak Guru. "Keluar, kalau tidak menyimak!" Badu bagaikan terbangun dari tidur. Tentu saja dia tidak bisa menjawab pertanyaan gurunya. Setelah kejadian tersebut, Badu dikategorikan murid yang tidak bisa mengikuti pelajaran. Meskipun dia tidak bodoh dan juga tidak berandal. Ternyata guru dan orangtua Badu tidak pernah tahu, bahwa anak itu menderita epilepsi. Sewaktu si Badu bengong tadi, "dia sedang terserang epilepsi petit mal," kata Prof. Dr. Sumargo Sastrodiwiryo, ahli saraf yang membacakah makalahnya dalam simposium Masalah Pengenalan dan Penanggulangan Epilepsi, akhir April lalu. "Jadi, jangankan guru," kata Prof. Dr. Mahar Mardjono, ketua umum Perpei (Perkumpulan Penanggulangan Epilepsi Indonesia) "di kalangan dokter pun masalah ini hanya sedikit diketahui." Penyakit yang selama hampir 2000 tahun diduga mempunyai "kekuatan gaib" dan "di luar jangkauan akal manusia" ini memang rumit dan banyak ragamnya. Karena itu Perpei yang berdiri Agustus tahun lalu merupakan wadah baru untuk mengatasi masalah epilepsi, alias ayan, alias sawan. Menurut Mahar, langkah pertama Perpei akan berusaha memberikan informasi sebanyak mungkin kepada masyarakat tentang penyakit ini. Mahar menyangkal keras bahwa epilepsi ada hubungannya dengan penyakit jiwa. "Dapat menjurus ke gangguan jiwa pun sebetulnya tidak mungkin," tekan Mahar. Hanya orang-orang sekelilingnya sajalah, misalnya dengan cara mengucilkan penderita, yang menjadikan penderita menderita tekanan jiwa," tambahnya. Lebih-lebih kalau masyarakat lingkungannya berpendapat bahwa dia berkelakuan aneh. Karena itu Mahar menganjurkan agar penderita epilepsi diperlakukan seperti orang normal -- tapi jangan pula diistimewakan. Gambaran umum tentang penderita ayan ialah seseorang yang tiba-tiba menggelepar matanya mendelik dan dari mulutnya tiba-tiba keluar busa. Jenis ini masuk kelas grandmal, serangan besar. Serangan yang termasuk jenis petit mal, serangan kecil, bisa terlihat pada orang yang kedutan di mata, di bibir (yaitu otot yang bergerak sendiri), memutar-mutarkan tubuh, mulut mengecap-ngecap, kepala teleng dan bergetar, mata berkedip melulu, kaki bergoyang-goyang dan gerakan lainnya yang dilakukan berulang-ulang di luar sadar. Ada pula yang bergaya seperti si Badu di kelas tadi, bengong. Selain jenis grand mal dan petit mal, ada lagi jenis epilepsi Jackson yang meskipun tidak kehilangan kesadaran, terjadi kekejangan pada bagian tubuh tertentu yang berasal dari pusat listrik otak. Yang lebih parah lagi dan mungkin diperlukan tindakan operasi, ialah epilepsi psikomotor. Ditandai dengan aura demi aura (tanda-tanda pendahuluan) sampai ke puncaknya, lalu jatuh pingsan. Epilepsi adalah gejala atau penjelmaan pada gangguan kegiatan biolistrik otak. Jaringan pada sel otak mempunyai kegiatan listrik yang dalam keadaan normal seharusnya mempunyai ritme teratur. Kalau ritme ini "mabuk", seperti halnya bola lampu yang arus listriknya byarpet, penderita mendapat serangan. Yang pasti epilepsi bukan penyakit menular. Juga bukan penyakit keturunan, selama diketahui sebab-sebabnya. Faktor-faktor penyebab antara lain karena kelahiran yang sulit, cedera waktu lahir, penyakit infeksi susunan saraf pusat, gangguan cairan dan elektrolit, cedera kepala terutama akibat kecelakaan lalu lintas. Meskipun angka mortalitas dari jenis penyakit ini relatif kecil (1 sampai 4,5 per 100.000 orang per tahun), sebagian besar menyerang pada usia produktif (20-50 tahun). Ahli saraf lain, Dr. A.S. Santoso dalam makalahnya di simposium itu (Banyakkah Penderita Epilepsi di Dalam Masyarakat Kita.) mencatat penderita yang ditangani RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Unit Penyakit Saraf. Berdasarkan data kunjungan, sejak 1978 sampai dengan 1982, 19% pasien yang datang ke Bagian Saraf, adalah penderita epilepsi -- kedua terbanyak setelah penyakit nyeri kepala. Di sub Unit Penyakit Saraf Anak RSCM, penelitian klinis sejak 1979 mencatat 367 anak menderita epilepsi. Ini berarti nomor tiga setelah kejang, demam (stuip) dan retardasi mental di sub unit itu. Dan penelitian klinis inilah, simposium berpendapat bahwa penyakit "favorit" ini perlu ditanggulangi secara khusus. Untuk itu Perpei akan melakukan penelitian epidemiologis epilepsi lebih konkrit. Pada 1976 Departemen Kesehatan pernah mengadakan penelitian epidemiologis selektif (hanya murid-murid sekolah DKI Jaya). Data yang muncul: 0,75 per 1.000 murid menderita epilepsi. Di negara maju, 0,5% dari penduduk adalah penderita epilepsi. Secara keseluruhan di Indonesia dipastikan jumlahnya lebih besar -- kalau penelitian epidemiologis sudah dilaksanakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus