SI Badu, kelas II SMP, terkesima ketika gurunya tiba-tiba sudah
di depan hidungnya. Bukan itu saja. Dia seperti disambar petir
ketika Pak Guru menggebrakkan mistar di bangku. "Kamu berajar
atau ngelamun!" hardik Pak Guru. "Keluar, kalau tidak menyimak!"
Badu bagaikan terbangun dari tidur.
Tentu saja dia tidak bisa menjawab pertanyaan gurunya. Setelah
kejadian tersebut, Badu dikategorikan murid yang tidak bisa
mengikuti pelajaran. Meskipun dia tidak bodoh dan juga tidak
berandal. Ternyata guru dan orangtua Badu tidak pernah tahu,
bahwa anak itu menderita epilepsi. Sewaktu si Badu bengong tadi,
"dia sedang terserang epilepsi petit mal," kata Prof. Dr.
Sumargo Sastrodiwiryo, ahli saraf yang membacakah makalahnya
dalam simposium Masalah Pengenalan dan Penanggulangan Epilepsi,
akhir April lalu.
"Jadi, jangankan guru," kata Prof. Dr. Mahar Mardjono, ketua
umum Perpei (Perkumpulan Penanggulangan Epilepsi Indonesia) "di
kalangan dokter pun masalah ini hanya sedikit diketahui."
Penyakit yang selama hampir 2000 tahun diduga mempunyai
"kekuatan gaib" dan "di luar jangkauan akal manusia" ini memang
rumit dan banyak ragamnya. Karena itu Perpei yang berdiri
Agustus tahun lalu merupakan wadah baru untuk mengatasi masalah
epilepsi, alias ayan, alias sawan. Menurut Mahar, langkah
pertama Perpei akan berusaha memberikan informasi sebanyak
mungkin kepada masyarakat tentang penyakit ini.
Mahar menyangkal keras bahwa epilepsi ada hubungannya dengan
penyakit jiwa. "Dapat menjurus ke gangguan jiwa pun sebetulnya
tidak mungkin," tekan Mahar. Hanya orang-orang sekelilingnya
sajalah, misalnya dengan cara mengucilkan penderita, yang
menjadikan penderita menderita tekanan jiwa," tambahnya.
Lebih-lebih kalau masyarakat lingkungannya berpendapat bahwa dia
berkelakuan aneh. Karena itu Mahar menganjurkan agar penderita
epilepsi diperlakukan seperti orang normal -- tapi jangan pula
diistimewakan.
Gambaran umum tentang penderita ayan ialah seseorang yang
tiba-tiba menggelepar matanya mendelik dan dari mulutnya
tiba-tiba keluar busa. Jenis ini masuk kelas grandmal, serangan
besar. Serangan yang termasuk jenis petit mal, serangan kecil,
bisa terlihat pada orang yang kedutan di mata, di bibir (yaitu
otot yang bergerak sendiri), memutar-mutarkan tubuh, mulut
mengecap-ngecap, kepala teleng dan bergetar, mata berkedip
melulu, kaki bergoyang-goyang dan gerakan lainnya yang dilakukan
berulang-ulang di luar sadar. Ada pula yang bergaya seperti
si Badu di kelas tadi, bengong.
Selain jenis grand mal dan petit mal, ada lagi jenis epilepsi
Jackson yang meskipun tidak kehilangan kesadaran, terjadi
kekejangan pada bagian tubuh tertentu yang berasal dari pusat
listrik otak. Yang lebih parah lagi dan mungkin diperlukan
tindakan operasi, ialah epilepsi psikomotor. Ditandai dengan
aura demi aura (tanda-tanda pendahuluan) sampai ke puncaknya,
lalu jatuh pingsan.
Epilepsi adalah gejala atau penjelmaan pada gangguan kegiatan
biolistrik otak. Jaringan pada sel otak mempunyai kegiatan
listrik yang dalam keadaan normal seharusnya mempunyai ritme
teratur. Kalau ritme ini "mabuk", seperti halnya bola lampu yang
arus listriknya byarpet, penderita mendapat serangan. Yang pasti
epilepsi bukan penyakit menular. Juga bukan penyakit keturunan,
selama diketahui sebab-sebabnya.
Faktor-faktor penyebab antara lain karena kelahiran yang sulit,
cedera waktu lahir, penyakit infeksi susunan saraf pusat,
gangguan cairan dan elektrolit, cedera kepala terutama akibat
kecelakaan lalu lintas. Meskipun angka mortalitas dari jenis
penyakit ini relatif kecil (1 sampai 4,5 per 100.000 orang per
tahun), sebagian besar menyerang pada usia produktif (20-50
tahun).
Ahli saraf lain, Dr. A.S. Santoso dalam makalahnya di simposium
itu (Banyakkah Penderita Epilepsi di Dalam Masyarakat Kita.)
mencatat penderita yang ditangani RS Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Unit Penyakit Saraf. Berdasarkan data kunjungan, sejak 1978
sampai dengan 1982, 19% pasien yang datang ke Bagian Saraf,
adalah penderita epilepsi -- kedua terbanyak setelah penyakit
nyeri kepala.
Di sub Unit Penyakit Saraf Anak RSCM, penelitian klinis sejak
1979 mencatat 367 anak menderita epilepsi. Ini berarti nomor
tiga setelah kejang, demam (stuip) dan retardasi mental di sub
unit itu. Dan penelitian klinis inilah, simposium berpendapat
bahwa penyakit "favorit" ini perlu ditanggulangi secara khusus.
Untuk itu Perpei akan melakukan penelitian epidemiologis
epilepsi lebih konkrit. Pada 1976 Departemen Kesehatan pernah
mengadakan penelitian epidemiologis selektif (hanya murid-murid
sekolah DKI Jaya). Data yang muncul: 0,75 per 1.000 murid
menderita epilepsi. Di negara maju, 0,5% dari penduduk adalah
penderita epilepsi. Secara keseluruhan di Indonesia dipastikan
jumlahnya lebih besar -- kalau penelitian epidemiologis sudah
dilaksanakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini