Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dicari: sponsor atletik

Di sekolah-sekolah yang sering dipertandingkan dalam olah raga yaitu sepak bola dan bola keranjang. atletik perkembangannya tertinggal jauh. sebaiknya ada sponsor untuk atletik dan p & k jadi pelaksananya.

7 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JELEK-jelek begini, Pak, saya pernah lima tahun menjadi guru olah raga di sebuah SMP negeri di Sum-Ut. Soalnya pada tahun-tahun 1950-an itu belum ada lulusan SGPD, Sekolah Guru Pendidikan Djasmani. Tidak ada rotan, akar pun berguna. Saya ingat bahwa saya ada melihat-lihat Rencana Pelajaran yang disusun pemerintah. Di situ tertera, 'Pendidikan Djasmani', diberikan tiga kali seminggu, terdiri atas atletik, bersenam, dan permainan. Ada petunjuk apa-apa yang harus diajarkan. Ada beberapa buku pegangan. Disediakan peralatan sekadarnya. Untuk atletik ada cakram yang tidak karuan ukurannya, yang dua tiga kali dilemparkan langsung berkenan pecah ada peluru yang juga tidak karuan ukurannya ada lembing dengan gagang bambu dan bengkok. Tidak ada peralatan senam (untung saja), sedang untuk permainan ada sepasang tiang bola keranjang setiap tahun dapat diambil ke Medan dua buah bola voli yang selalu gembos, dan lima bola kaki yang tidak pernah bundar: pokoknya peang, sungguh, Pak. Kolega-kolega saya sesama guru Pen. Djas. di sekolah-sekolah lain saya lihat enak-benar tugas mereka. Murid-murid dibariskan ke lapangan, guru mengiringi dengan sepeda. Setiba di sana, murid-murid diberi bola dan sempritan dan disuruh main bola kaki (anak perempuan berkeliaran, tentu saja) atau bola keranjang (korfbal, yang masa itu masih populer). Guru lantas duduk di bawah pohon, minum es-campur Medan yang terkenal syur itu. Sungguh mati, Pak, saya tidak pernah berbuat begitu. Ada ratusan bekas murid saya zaman itu yang sekarang berserakan entah di mana, yang pasti bersedia bersaksi bahwa saya tidak demikian. Soalnya, saya gemar bola keranjang. Tapi lantas semua jam Pen. Djas jadi permainan bola keranjang, dan saya ikut main, sambil menjadi wasit, pelatih, tim manajer, komisi teknik, dan sebagainya. Seorang kolega menangani bola kaki, dan bersama kami menangani bola voli, maka siaplah kami untuk menantang sekolah-sekolah lain mengadakan pertandingan sehari suntuk. Memang, Pak, permainan punya pesona tertentu. Tak heran sampai-sampai atletik dan senam ketinggalan jauh. Dan memang tidak pernah kita mendengar ada sebuah sekolah yang menantang sekolah lain adu cepat lari, adu jauh lempar atau adu tangkas loncat. Tak heran jika dalam gelanggang atletik internasional kita tidak bicara banyak. Tak heran jika pada pertandingan atletik, stadion kosong, sedang pada pertandingan sepak bola selalu penuh. Ada banyak penyebabnya, Pak. Antara lain, adanya guru olah raga yang seperti saya dulu itu. Antara lain lagi, kita semua sering mendengar sponsor permainan bola kaki, badminton dan sebagainya, tapi agaknya tidak sponsor atletik, ya? Nah, sekarang, jika seandainya ada yang rela mensponsori atletik, apakah Bapak tidak sependapat dengan saya bahwa daerah yang harus digarap adalah SMTP dan SMTA? Menurut pendapat saya, bila seseorang sudah masuk ke perguruan tinggi atau sudah terjun ke masyarakat, dia sudah sedikit kedaluwarsa untuk mulai menekuni atletik. Tubuhnya pun sudah berkurang lenturnya. Bapak menanyakan cara penggarapannya? Saya rasa tidak terlalu sukar. Misalkan dalam kabupaten tempat Bapak tinggal ada seorang atau beberapa orang "dermawan" (astaga, perkataan ini sudah jarang kedengaran ya, Pak? Rasanya ini lebih sopan ketimbang cukong, bahkan sponsor) yang sanggup menyediakan dua juta rupiah setiap tahun. Maka saya akan menganjurkan mengadakan acara tetap setiap tahun, suatu acara perlombaan yang saya namakan sad-lomba atletik -- terdiri dari dua nomor lari, dua nomor loncat dan dua nomor lempar. Oh ya, sad itu bahasa Sansekerta, artinya enam -- sekalian saya ajukan karena bahasa itu sedang ngetop. Penilaian lomba itu dilakukan dengan angka menurut sistem internasional, sehingga menghasilkan empat juara I (pria, wanita, SMTP dan SMTA), empat juara II dan empat juara III. Nah, uang yang dua juta itu diberikan kepada mereka sebagai semacam beasiswa, masing-masing sebesar Rp 20.000, Rp 12.500, dan Rp 7.500, setiap bulan selama setahun. Kalau tahun depan mereka menang lagi, ya dapat beasiswa lagi, peduli amat. Yang melaksanakan, Pak? Ya Pemerintah dong. Apa P & K, Pemda, PASI, Menteri Negara Urusan Pemuda dan Olah Raga atau apa saja. Kuranglah baiknya kan kalau semua-muanya ditimpakan kepada para dermawan tadi. Lagi pula, perlombaan yang begini ini tidak mahal, cukup dua hari, dan tidak perlu pukul gong, gunting pita, nyalakan obor, senam massal dan pesta syukuran segala, kan Pak? Lantas, kalau di setiap kabupaten di negeri ini ada tradisi perlombaan seperti itu, yang dilakukan dalam masa libur terima rapor pertama, para juara dapat ikut berlomba pada tingkat provinsi -- dilakukan dalam masa liburan rapor kedua, dengan hadiah dalam bentuk dan cara lain lagi tentu saja. Lantas para juara provinsi ini dapat bertanding pada tingkat nasional, pada liburan akhir tahun ajaran. Saya yakin, Pak, kalau ini bisa jalan, dalam masa 10 tahun mendatang ini kita sudah akan "mulai bicara" dalam gelanggang atletik internasional. Bapak bersedia jadi dermawan pertama?.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus