JELEK-jelek begini, Pak, saya pernah lima tahun menjadi guru
olah raga di sebuah SMP negeri di Sum-Ut. Soalnya pada
tahun-tahun 1950-an itu belum ada lulusan SGPD, Sekolah Guru
Pendidikan Djasmani. Tidak ada rotan, akar pun berguna.
Saya ingat bahwa saya ada melihat-lihat Rencana Pelajaran yang
disusun pemerintah. Di situ tertera, 'Pendidikan Djasmani',
diberikan tiga kali seminggu, terdiri atas atletik, bersenam,
dan permainan. Ada petunjuk apa-apa yang harus diajarkan. Ada
beberapa buku pegangan. Disediakan peralatan sekadarnya. Untuk
atletik ada cakram yang tidak karuan ukurannya, yang dua tiga
kali dilemparkan langsung berkenan pecah ada peluru yang juga
tidak karuan ukurannya ada lembing dengan gagang bambu dan
bengkok. Tidak ada peralatan senam (untung saja), sedang untuk
permainan ada sepasang tiang bola keranjang setiap tahun dapat
diambil ke Medan dua buah bola voli yang selalu gembos, dan lima
bola kaki yang tidak pernah bundar: pokoknya peang, sungguh,
Pak.
Kolega-kolega saya sesama guru Pen. Djas. di sekolah-sekolah
lain saya lihat enak-benar tugas mereka. Murid-murid dibariskan
ke lapangan, guru mengiringi dengan sepeda. Setiba di sana,
murid-murid diberi bola dan sempritan dan disuruh main bola kaki
(anak perempuan berkeliaran, tentu saja) atau bola keranjang
(korfbal, yang masa itu masih populer). Guru lantas duduk di
bawah pohon, minum es-campur Medan yang terkenal syur itu.
Sungguh mati, Pak, saya tidak pernah berbuat begitu. Ada ratusan
bekas murid saya zaman itu yang sekarang berserakan entah di
mana, yang pasti bersedia bersaksi bahwa saya tidak demikian.
Soalnya, saya gemar bola keranjang. Tapi lantas semua jam Pen.
Djas jadi permainan bola keranjang, dan saya ikut main, sambil
menjadi wasit, pelatih, tim manajer, komisi teknik, dan
sebagainya.
Seorang kolega menangani bola kaki, dan bersama kami menangani
bola voli, maka siaplah kami untuk menantang sekolah-sekolah
lain mengadakan pertandingan sehari suntuk. Memang, Pak,
permainan punya pesona tertentu. Tak heran sampai-sampai atletik
dan senam ketinggalan jauh. Dan memang tidak pernah kita
mendengar ada sebuah sekolah yang menantang sekolah lain adu
cepat lari, adu jauh lempar atau adu tangkas loncat. Tak heran
jika dalam gelanggang atletik internasional kita tidak bicara
banyak. Tak heran jika pada pertandingan atletik, stadion
kosong, sedang pada pertandingan sepak bola selalu penuh.
Ada banyak penyebabnya, Pak. Antara lain, adanya guru olah raga
yang seperti saya dulu itu. Antara lain lagi, kita semua sering
mendengar sponsor permainan bola kaki, badminton dan sebagainya,
tapi agaknya tidak sponsor atletik, ya?
Nah, sekarang, jika seandainya ada yang rela mensponsori
atletik, apakah Bapak tidak sependapat dengan saya bahwa daerah
yang harus digarap adalah SMTP dan SMTA? Menurut pendapat saya,
bila seseorang sudah masuk ke perguruan tinggi atau sudah terjun
ke masyarakat, dia sudah sedikit kedaluwarsa untuk mulai
menekuni atletik. Tubuhnya pun sudah berkurang lenturnya.
Bapak menanyakan cara penggarapannya? Saya rasa tidak terlalu
sukar. Misalkan dalam kabupaten tempat Bapak tinggal ada seorang
atau beberapa orang "dermawan" (astaga, perkataan ini sudah
jarang kedengaran ya, Pak? Rasanya ini lebih sopan ketimbang
cukong, bahkan sponsor) yang sanggup menyediakan dua juta rupiah
setiap tahun. Maka saya akan menganjurkan mengadakan acara tetap
setiap tahun, suatu acara perlombaan yang saya namakan sad-lomba
atletik -- terdiri dari dua nomor lari, dua nomor loncat dan dua
nomor lempar. Oh ya, sad itu bahasa Sansekerta, artinya enam --
sekalian saya ajukan karena bahasa itu sedang ngetop.
Penilaian lomba itu dilakukan dengan angka menurut sistem
internasional, sehingga menghasilkan empat juara I (pria,
wanita, SMTP dan SMTA), empat juara II dan empat juara III. Nah,
uang yang dua juta itu diberikan kepada mereka sebagai semacam
beasiswa, masing-masing sebesar Rp 20.000, Rp 12.500, dan Rp
7.500, setiap bulan selama setahun. Kalau tahun depan mereka
menang lagi, ya dapat beasiswa lagi, peduli amat.
Yang melaksanakan, Pak? Ya Pemerintah dong. Apa P & K, Pemda,
PASI, Menteri Negara Urusan Pemuda dan Olah Raga atau apa saja.
Kuranglah baiknya kan kalau semua-muanya ditimpakan kepada para
dermawan tadi. Lagi pula, perlombaan yang begini ini tidak
mahal, cukup dua hari, dan tidak perlu pukul gong, gunting
pita, nyalakan obor, senam massal dan pesta syukuran segala, kan
Pak?
Lantas, kalau di setiap kabupaten di negeri ini ada tradisi
perlombaan seperti itu, yang dilakukan dalam masa libur terima
rapor pertama, para juara dapat ikut berlomba pada tingkat
provinsi -- dilakukan dalam masa liburan rapor kedua, dengan
hadiah dalam bentuk dan cara lain lagi tentu saja. Lantas para
juara provinsi ini dapat bertanding pada tingkat nasional, pada
liburan akhir tahun ajaran.
Saya yakin, Pak, kalau ini bisa jalan, dalam masa 10 tahun
mendatang ini kita sudah akan "mulai bicara" dalam gelanggang
atletik internasional.
Bapak bersedia jadi dermawan pertama?.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini