PENGACARA-pengacara LBH bingung: Sampai pekan lalu mereka belum
berhasif ketemu dua orang kliennya, anggota jamaah Imran, Iman
Hidayat dan Slamet Riyanto. Padahal kedua kliennya itu -- yang
tetap dijatuhi hukuman 20 tahun dan 15 tahun penjara oleh
Pengadilan Tinggi Jakarta -- sudah hampir habis tenggang waktu
untuk naik kasasi sampai tanggal 6 Mei mendatang.
Teguh Samudera, pembela kedua terhukum itu, mengaku telah
mencari kliennya itu ke Inrehab (Instalasi Rehabilitasi)
Nirbaya. Tapi, katanya kepada Kompas, ia tidak menemukan kedua
anggota jamaah itu. Begitu juga, ketika ia menghadap ke
Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, pihak yang mengurus permohonan
Iman dan Slamet.
Pengalaman yang sama, pernah dialami oleh Direktur LBH
Abdurahman Saleh dan Pengacara Moh. Asseggaf, ketika membela
Imran. Abdurahman mengaku telah berkali-kali mendatangi
Laksusda, Kopkamtib, POM DAM V Jaya dan pengadilan untuk menemui
kliennya itu, setelah upaya banding Imran ditolak Pengadilan
Tinggi, 7 Maret lalu. Tapi usaha mereka kandas, sampai akhirnya
diberitakan bahwa grasi Imran ditolak Presiden dan hukuman mati
pesakitan tersebut dieksekusi, 28 Maret lalu. "Tapi bukan hanya
dalam perkara Imran saja," menurut Abdurahman," terjadi
pelanggaran terhadap asas keterbukaan peradilan." Proses hukum
yang "tidak sempurna" semacam itu, katanya lagi, "terjadi pada
hampir semua kasus yang menyangkut pemerintah."
Dalam perkara Imran, misalnya, Abdurahman menilai pemerintah
telah melanggar hak tersangka untuk didampingi pembelanya,
sampai proses perkaranya berakhir seperti dijamin KUHAP. "Tidak
ada bukti nyata siapa pembela yang ditunjuk dan tidak ada surat
penolakan Imran untuk didampingi pembela," ujar pimpinan LBH
itu.
Yang ditakutkannya, dalam jangka panjang semua terdakwa dalam
tingkat banding dan ditahan, "bisa diklaim tidak membutuhkan
pembela dan menerima keputusan." Kamis pekan lalu, pimpinan LBH
itu telah mengirimkan surat protes resmi kepada Ketua Mahkamah
Agung dan Jaksa Agung, prosedur hukum perkara Imran tersebut.
Keluh kesah para pengacara Imran dan jamaahnya itu justru
membuat heran Kolonel Arisandi dari Pusat Penerangan
Hankam/Kopkamtib. "Mengapa mereka membuat Imran jadi pahlawan --
bukankah lebih baik mencari pekerjaan lain?" ujar Arisandi.
Menurut Arisandi, tidak akan ada kesulitan bagi para pengacara
mana pun menemui kliennya, asal saja prosedurnya benar. Suatu
kali, katanya, ia pernah dimintai tolong LBH untuk mendapat izin
Kopkamtib bertemu Imran. Arisandi kemudian menyuruh mereka
datang ke pengadilan, lembaga yang berwenang memberikan izin,
karena Imran sudah dijatuhi hukuman. Dan, katanya, para
pengacara itu akhirnya berhasil menemui Imran, sebelum almarhum
melarikan diri.
Menurut sumber TEMPO di Kopkamtib, setelah banding Imran
ditolak, anehnya para pengacara itu selalu datang ke Laksusda
dan Kopkamtib untuk bertemu kliennya. "Padahal jelas izin itu
wewenang hakim," kata sumber itu. Memang, kata sumber tadi,
pernah mereka meminta izin hakim untuk bisa bertemu kliennya.
Tapi, karena perkara itu menyangkut politik, hakim tidak bisa
begitu saja memberi izin seperti yang biasa diberikan kepada
narapidana lain. Sebab itu, pengadilan perlu waktu untuk
konsultasi dengan pejabat yang berwenang di bidang politik.
Karena itulah, "si pengacara lalu merasa dipersulit," ujar
sumber itu.
Beberapa pengacara yang ikut membela jamaah Imran di Bandung
ternyata tidak menemui kesulitan bertemu dengan kliennya.
"Selama ini kami belum pernah mendapat kesulitan menemui
Salman," ujar Anwar Sulaiman yang membela Salman, terhukum mati
dalam kasus penyerangan Pos Polisi Cicendo.
Izin bertemu dengan Salman yang ditahan di Inrehab Cimahi, kata
Anwar, didapatnya dari pengadilan dan kemudian juga dari
Laksusda. "Karena Salman ditahan di Inrehab, dengan sendirinya
untuk masuk ke sana perlu izin Laksusda," ujar Anwar. Salman
memang sempat naik kasasi, tapi ditolak Mahkamah Agung. "Untuk
minta grasi perlu dimatangkan lebih dulu, waktunya toh 6 bulan,"
kata Edi Suardi, pengacara Salman yang lain.
Tanu Subroto, yang membela Maman Kusmayadi -- terhukum mati dari
anggota jamaah Imran di Bandung -- juga mengakui bahwa selama
ini tidak menemui kesulitan menjumpai kliennya. "Saya
merencanakan menemuinya dua minggu yang akan datang," ujar Tanu
Subroto.
Pejabat Kejaksaan Tinggi Jawa Barat tidak pernah mempersulit
komunikasi antara tertuduh-tertuduh jamaah Imran dan pembelanya.
"Ketika para terdakwa masih tahanan kejaksaan, pembela mereka
leluasa berkomunikasi, asal saja memperoleh izin dari kejaksaan
dan Laksus," kata Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi Ja-Bar, M.
Suadi.
Sedangkan di Jakarta, janankan komunikasi antara pembela dan
kliennya, sedangkan hubungan pengacara dengan kejaksaan pun --
khususnya dalam perkara Imran tidak ketemu. "Saya tidak pernah
dihubungi untuk izin itu. Siapa pengacaranya pun saya tidak tahu
jelas," seperti kata Jaksa Tinggi DKI Jaya, R.B. Soekardi,
ketika ditanyakan tentang keluhan Abdurahman Saleh dalam menemui
Imran. Buntu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini