Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Bung Karno, Istana, dan Lukisan Pinjaman

Bung Karno mengoleksi sejumlah lukisan untuk dipasang dan dipamerkan di Istana. Beberapa lukisan itu bukan koleksi Istana.

14 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bung Karno mengoleksi sejumlah lukisan yang dipajang di Istana. Rupanya, tak semua lukisan itu merupakan koleksi negara. Ada yang pinjaman.

  • Beberapa lukisan tak dikembalikan kepada pemiliknya, bahkan malah sudah terjual di balai lelang internasional.

PADA suatu kali di Museum Le Mayeur, Sanur, Bali, Ni Pollok bercerita kepada saya. “Pada 1955, Bapak (Presiden Sukarno) pernah memaksa membeli dan meminjam lukisan suami saya. Yang dibeli tentu saja dibayar, tapi yang dipinjam tidak pernah dikembalikan. Waktu itu Bung Karno saya ingat berkata, ‘Meneer Belgie, het zou een eer zijn als uw schilderijen het Bogor Paleis zouden kunnen versieren (Tuan Belgie, adalah kehormatan apabila lukisan-lukisan Anda bisa menghiasi Istana Bogor).’ Ya, Sukarno memanggil suami saya Tuan Belgie.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya bertanya, apa yang ia lakukan atas lukisan pinjaman yang tak dikembalikan itu? Ni Pollok mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, urusan pinjam-meminjam itu hanya dibicarakan oleh Bung Karno dan suaminya, Adrien-Jean Le Mayeur. Tak ada pula klausul berupa penerbitan surat perjanjian pinjam-meminjam lukisan. Karena itu, semuanya mengambang. Apalagi setelah Le Mayeur, yang lahir di Belgia pada 1880, wafat pada 1958. Maka Ni Pollok merelakannya saja dengan harapan lukisan tersebut terpelihara di Istana Kepresidenan. Cerita peminjaman ini juga disinggung dalam monografi Ni Pollok: Model dari Desa Kelandis susunan Yati Maryati Wiharja (1976).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah Bung Karno suka meminjam lukisan dan tidak mengembalikan lukisan yang dipinjam itu? Mari kita simak kisah ini.

Pada April 1965, Bung Karno berkunjung ke rumah dokter spesialis penyakit dalam Nie Swan Tie di Jalan Indramayu, Jakarta. Di situ ia melihat lukisan Carel Lodewijk Dake Jr. yang menawan. “Apakah Dokter mau menjual lukisan ini?” Bung Karno bertanya. “Saya tidak mau menjualnya. Itu lukisan kesayangan saya. Tapi, apabila Bapak ingin benar, silakan dibawa pulang,” kata Nie Swan Tie. Bung Karno lalu memuji dokter Nie sebagai kolektor sejati. 

Sang Presiden lantas berkeliling melihat-lihat koleksi lain. Di situ ia berjumpa dengan lukisan Lee Man Fong, Willem Gerard Hofker, dan Affandi yang masih realis. “Ini pasti juga tidak dijual. Tapi bolehkah saya meminjam semua ini untuk Istana?” Mendengar kalimat itu, Nie Swan Tie tersentak dan tak bisa berbicara apa-apa. Tujuh lukisan itu pun dibawa. Nie Swan Tie berhari-hari tak bisa tidur. Hatinya tak henti bertanya: adakah lukisan itu akan dibeli paksa atau bahkan tidak dikembalikan ke gantungan semula?

Tapi ia lega. Sebab, seminggu kemudian lukisan-lukisan itu dikembalikan dan dipasang. Ketika mengembalikannya, Bung Karno menyisipkan surat yang berbunyi: “Saya tahu, saya harus segera mengembalikan lukisan ini. Sebab saya paham, setiap kali dokter menatap dinding itu kosong, dokter akan sedih.” 

Kisah itu dituturkan oleh dokter Hanny Suwandhani, putra Nie Swan Tie, dalam acara peluncuran buku Sukarno’s Favourite Painters karya Mikke Susanto di Balai Masterpiece, Jalan Tanah Abang, Jakarta, pada 2018.

•••

PADA halaman 7 koran Kompas edisi 8 Maret 2024, termuat Surat Kepada Redaksi. Surat berjudul “Lukisan Dipinjam Istana” itu ditulis oleh Soenarjati Djajanegara yang beralamat di Bintaro, Jakarta. Surat itu menjelaskan bahwa pada 1955 Bung Karno meminjam dua lukisan koleksi ayahnya, Djoehri Djajanegara. Lukisan itu adalah karya Romualdo Locatelli (seniman Italia, 1905-1943). Surat itu menyebutkan dua lukisan yang dipinjam tersebut, yang kini terpajang di Istana Kepresidenan, sampai sekarang belum dikembalikan. 

Pada intinya, surat itu meminta Istana Kepresidenan mengembalikan dua lukisan yang termaksud kepada keluarga Djoehri. Tentu atas nama Soenarjati karena Djoehri sudah wafat pada 1965. Dalam surat diceritakan bahwa Djoehri adalah sahabat Bung Karno sejak 1944, setelah keduanya diperkenalkan oleh pelukis Ernest Dezentjé, tetangga Djoehri. Disebutkan juga bahwa, sebelum Surat Kepada Redaksi itu dipublikasikan, Soenarjati telah mengirim surat langsung kepada Megawati Soekarnoputri, tapi tak mendapat respons. 

Saya tertarik pada isi surat itu. Saya pun menghubungi Istana. Pihak Istana membenarkan adanya surat tersebut, yang ternyata pada Februari 2021 juga dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo. Bersama surat tertera foto interior rumah 1947 dengan hiasan lukisan-lukisan Romualdo Locatelli yang dimaksudkan. Suatu hal yang menunjukkan bahwa memang benar dua lukisan itu pernah berada di kediaman Djoehri Djajanegara. 

Soenarjati Djajanegara. Dokumentasi Agus Dermawan T.

Pihak Istana tentu percaya bahwa si ibu yang kini berusia 90 tahun ini bertutur jujur. Namun semua yang dibicarakan selalu terhadang oleh pasal yang menegaskan bahwa urusan hukum pinjam-meminjam harus disertai dokumen pokok berupa surat perjanjian pinjam-meminjam. Hukum formal itu tertera dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Disebutkan di situ, antara lain, pinjam-meminjam adalah persetujuan pihak yang satu untuk meminjamkan sesuatu kepada pihak yang lain dengan syarat pihak yang belakangan akan mengembalikan dengan jumlah yang sama. 

Melengkapi perjanjian itu, diperlukan dokumen utama berupa surat perjanjian pinjam-meminjam. Maka, tanpa dokumen itu, semua klaim terpaksa dijauhkan dari keabsahan sehingga tidak bisa diambil tindakan. Ahli waris keluarga Djoehri tidak memiliki surat itu. Perlu diketahui, Soenarjati Djajanegara adalah guru besar dan mantan pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Ia juga penulis yang banyak menerbitkan buku telaah sastra, seperti Bahasa, Sastra, dan Wanita serta Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar.

Pasal yang mengurusi klaim “lukisan pinjaman yang belum dikembalikan” ini juga berlaku untuk klaim “menemukan benda miliknya yang dulu dinyatakan hilang”. Hal ini seperti yang dialami Guruh Sukarno Putra atas koleksi peninggalan ayahandanya, Bung Karno.

Presiden Soekarno mengamati lukisan 'Sumilah' karya Sudibjo, saat berkunjung ke pameran lukisan di Jakarta, antara 1945-1951. Tropenmuseum

Pada 1972, Guruh meninggalkan Indonesia untuk mempelajari arkeologi di Amsterdam, Belanda. Pada 1974, ia kembali. Seperti biasa, dengan rasa kangen ia memeriksa semua koleksi lukisan dan patung yang terpajang di rumahnya, Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan. Dari situ ia tahu bahwa ada beberapa lukisan yang hilang. Lukisan itu antara lain Gadis Bali Berdoa (pastel di kertas, 38 x 24 sentimeter) karya Basoeki Abdullah dan Kehidupan di Bali (tinta hitam di kanvas, 170 x 128 cm) karya Ida Bagus Made Poleng. Juga lukisan cat minyak Guruh sendiri, berobyek wajah perempuan cilik. “Lukisan Basoeki Abdullah ada dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Dr Ir Sukarno susunan Dullah terbitan 1956, volume II, halaman 118,” kata Guruh.

Waktu berjalan. Pada Maret 1995, lukisan-lukisan itu muncul dalam lot lelang Christie’s di Singapura. Kuasa hukum Guruh hendak mensomasi Christie’s dan meminta lukisan itu dikembalikan kepadanya. Namun pihak Christie’s tidak bisa mengabulkannya lantaran pihak Guruh tidak memegang dokumen surat laporan kehilangan dari kepolisian, meski biro lelang itu akhirnya me-withdrawn (menarik keluar) dua lukisan dari acara lelang untuk dikembalikan kepada pemiliknya. 

Lukisan “Dalam Sinar Bulan” karya Basoeki Abdullah. Koleksi Agus Dermawan T.

Kuasa hukum Guruh berkeras ingin mengetahui pemilik terakhir dua lukisan itu. Namun Christie’s menolak memberi tahu. “Biro lelang tidak boleh menyebutkan sumber, owner, atau pemilik lot. Itu kode etik auction house ratusan tahun,” tutur Philip Ng, Managing Director Christie’s Asia, kala itu. Lalu mengapa Guruh tidak melaporkan hilangnya lukisan itu kepada polisi? Guruh menjawab, “Widih, tahun-tahun segitu mana ada anak Bung Karno berani lapor polisi? Itu enggak ada rumusnya, Bo!”

Yang menarik, pada suatu kali saya berjumpa dengan Guntur Soekarno di ruang tunggu Bandar Udara Changi, Singapura. Di tengah obrolan, saya menyelipkan cerita hilangnya lukisan koleksi Guruh yang kemudian masuk ke Christie’s itu. Guntur dengan santai menjawab, “Harus diperiksa dulu, jangan-jangan lukisan itu memang dijual oleh orang di Jalan Sriwijaya dan Guruh tidak diberi tahu.” Di situ tersirat bahwa keluarga Bung Karno sebagai ahli waris sah menjual koleksinya kepada siapa saja, meski koleksi itu adalah warisan dan tercatat dalam buku yang diterbitkan negara.

•••

RATNA Sari Dewi Sukarno, istri kelima Bung Karno, juga pernah mengklaim bahwa karya Basoeki Abdullah, Puteri Bergaun Hitam (130 x 200 cm), adalah miliknya. Pun lukisan Dalam Sinar Bulan (120 x 80 cm) yang aslinya, menurut Basoeki Abdullah, berjudul Ratna dan Rembulan India. Dikatakan pula bahwa obyek dua lukisan yang ada dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Sukarno susunan Lee Man Fong, 1964, itu adalah dirinya. Dewi menyebutkan lukisan-lukisan tersebut lama tergantung di Wisma Yaso, kediamannya di Jakarta, pada 1960-an. 

Pada masa selepas kekacauan politik 1965, Dewi disuruh pergi dari Wisma Yaso. Sejak saat itu, lukisan tersebut dinyatakan hilang. Pada 2015, ia merasa menemukan lukisan Puteri Bergaun Hitam dalam pameran “Rayuan 100 Tahun Basoeki Abdullah” yang digelar di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, serta Dalam Sinar Bulan pada pameran “Indonesia Semangat Dunia” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 2018. Bahkan dalam pameran ini ia berpotret ria di depan lukisan itu. Namun Dewi tak bisa mengambilnya karena ia tidak memiliki surat laporan kehilangan dari kepolisian. Kini kedua lukisan itu ada di ruangan Istana Kepresidenan.

Pada pertengahan 1990-an, Guntur Siswoyo dan beberapa pengelola Sanggar Lukisan Istana Presiden menemukan lukisan Roland Strasser yang ada dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Sukarno. Lukisan yang menggambarkan bebotoh Bali sedang membelai ayam jago itu terpajang asal-asalan di kios barang bekas di Jalan Surabaya, Jakarta. Guntur terperanjat, lantas menahan karya itu untuk diusut kepemilikannya.

Dewi Sukarno melihat lukisan "Dalam Sinar Bulan" saat mengunjungi pameran koleksi seni Istana Kepresidenan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2018. Dok. GNI

“Lukisan tersebut kami sita dulu sampai pemiliknya muncul dan menceritakan posisi dan asal muasal lukisan tersebut. Kalau memang hasil pemberian atau pembelian yang sah dari keluarga Bung Karno, lukisan akan kami kembalikan. Tapi, kalau pemiliknya tidak juga muncul dan tak berani berurusan, lukisan akan kami simpan di Istana Kepresidenan,” ucap Guntur.

Sampai berbulan-bulan pemilik lukisan itu tidak muncul. Pihak Sanggar Lukisan menganggap lukisan itu adalah lemparan liar atau uncalan—begitu istilah Guntur—dari tangan gelap Istana Kepresidenan, atau bahkan curian dari Istana. Penggondolan itu diduga berlangsung ketika terjadi kekacauan perpindahan kekuasaan Istana Kepresidenan dari Orde Lama ke Orde Baru pada 1967-1968.

Pada pertengahan 1990-an, ketika boom lukisan terjadi, sejumlah koleksi dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Sukarno muncul di pasar door-to-door. Lukisan-lukisan itu ditawarkan dalam album foto berlabel “Lukisan Eks Koleksi Presiden Sukarno”. Beberapa di antaranya ditawarkan fisik aktualnya, seperti lukisan Lee Man Fong, Topeng, Buah Blewah dan Kendi (102 x 79 cm), serta karya Carel Lodewijk Dake Jr., Ankor (121 x 100 cm). Bahkan beberapa di antaranya telah terjual sehingga terpajang anggun di rumah kolektor. 

Namun tak lama kemudian, entah mengapa, lukisan-lukisan itu ditarik dari peredaran. Pada 2013, ketika saya ditugasi melakukan uji petik nominalisasi benda seni koleksi Istana Kepresidenan, karya-karya tersebut ada dalam daftar nominalisasi. Berarti lukisan itu balik ke Istana secara diam-diam. Lukisan Topeng, Buah Blewah dan Kendi, misalnya, kini ada di Istana Bogor, Jawa Barat. Adapun lukisan Ankor ada di Istana Yogyakarta.

Kembali ke persoalan koleksi keluarga Djoehri, dua lukisan karya Romualdo Locatelli yang istimewa itu ada dalam buku Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Sukarno susunan Lee Man Fong. Lukisan Menggaru Sawah di Jawa (100 x 271 cm) ada di jilid I, nomor 75. Adapun lukisan Memotong Padi (90 x 152 cm) ada di jilid III, nomor 68. Dalam buku terbitan 1964 tersebut jelas dinyatakan bahwa dua lukisan itu adalah koleksi Sukarno. Sampai 2020—menurut dokumen Istana Kepresidenan—tak pernah terdengar komplain bahwa dua lukisan itu adalah koleksi keluarga Djoehri. 

Istana Kepresidenan sejak 1999 tampak sangat serius mendata dan menata kembali koleksi benda seninya. Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada masa kepemimpinannya pernah berusaha mengumpulkan lukisan-lukisan yang ada di Istana (warisan Presiden Sukarno dan pemerintahan Presiden Soeharto) dalam serial buku. Bahkan blueprint buku itu sudah ada. Namun pendeknya masa pemerintahan Habibie menghentikan semuanya.

Lukisan "Topeng, Buah Blewah dan Kendi", karya Lee Man Fong. Dok. IVAA

Presiden Megawati Soekarnoputri lantas meneruskannya dengan proyek monumental. Ia menggagas terbitnya tujuh buku mengenai Istana Kepresidenan. Yang pertama berjudul Rumah Bangsa, tentang sejarah, arsitektur, dan interior tujuh Istana Kepresidenan di Indonesia. Buku besar ini terbit pada 2004. Namun proyek ini terhenti lantaran Megawati lengser. Sepuluh tahun kemudian, ketika Joko Widodo menjadi presiden, proyek dilanjutkan. Digubahlah buku berikutnya, Singgasana Seni, yang berisi koleksi lukisan, patung, dan keramik. Sayangnya, buku ini belum juga selesai. 

Proyek ini menawarkan hal-hal fundamental mengenai status koleksi Bung Karno. Megawati menegaskan dalam prakata buku Rumah Bangsa bahwa ribuan koleksi seni Bung Karno yang (sejak 2000) berada di semua Istana Kepresidenan dinyatakan sebagai milik Istana Kepresidenan, atau milik negara, bukan milik perseorangan atau institusi lain, ataupun pinjaman dari pihak lain.

Lantaran milik negara, karya-karya seni itu dilindungi oleh undang-undang dan nilai asetnya selalu dihitung secara berkala untuk dicatat Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Maka lukisan Raden Saleh, Walter Spies, Sudjojono, Lee Man Fong, Basoeki Abdullah, Le Mayeur, sampai Romualdo Locatelli yang nilai seni dan nominalnya menggetarkan hati itu selalu dalam pelindungan dan pemeliharaan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus