Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIBA-tiba saja mesin perahu yang kami tumpangi mati. Ganefo, si pemilik perahu, sudah meramalkannya sebelum kami angkat sauh dari Kaleroang. Tadi mesin Yamaha Enduro ini brebet saat dihidupkan. Meski mesin agak rewel, kami memutuskan berangkat tanpa mengecek lagi kondisinya.
Benar saja, mesin mogok pada separuh jalan menuju kawasan Sombori, sekitar satu jam perjalanan menggunakan speed—sebutan bagi perahu dengan mesin tempel bertenaga 40 daya kuda—ke arah selatan. "Businya," kata Ganefo di buritan.
Sambil menunggu Ganefo membetulkan mesin, saya menyapukan pandangan ke samudra luas, lalu ke sekeliling sampan kayu ini. Perahu mogok di perairan dangkal. Airnya jernih kehijauan. Untunglah laut sedang teduh. Terombang-ambing di tengah laut yang mengamuk dengan mesin perahu mogok bukan kombinasi bagus untuk menghabiskan siang.
Laut tenang seperti ini pula yang mengantarkan kami—fotografer Dian Triyuli Handoko dan saya—ke Pulau Kaleroang di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, sehari sebelumnya. Kami mulai berlayar dari Kendari, Sulawesi Tenggara, menaiki kapal Awang Saputra pukul 07.30 bersama puluhan penumpang dengan gembolan belanjaan—ada juga yang membawa lemari baru dan berkardus-kardus ubin keramik.
Kapal kayu berukuran 30 x 5 meter itu membelah pesisir Sulawesi tanpa diayun ombak. Bertenaga diesel, Awang Saputra tiba di Kaleroang sekitar pukul 15.30. Di Pelabuhan Kaleroang pada awal November lalu, Ganefo—yang kami kontak melalui seorang kenalan—telah menunggu. Ia segera mengenali kami berdasarkan ciri-ciri yang disampaikan oleh kawan saya.
Ganefo lahir pada 1963 ketika turnamen olahraga negara-negara blok kiri, Games of the New Emerging Forces atau Ganefo, digelar di Jakarta. "Bapak saya pengagum Sukarno," ujar Ganefo, menceritakan asal-usul namanya. Ia orang Bugis, bukan orang Bajo seperti kebanyakan warga Kaleroang. Leluhurnya berasal dari Bone, Sulawesi Selatan. Pada 1960-an, ayahnya merantau dan singgah di Kaleroang.
Sejak jauh sebelumnya, orang Bugis hidup berdampingan dengan orang Bajo di sana. Bahkan Bugis jadi bahasa pulau tersebut. Orang Bajo pun bisa berbahasa Bugis. Mereka hanya berbicara bahasa Bajo di antara sesamanya.
Meski bukan orang Bajo, Ganefo memahami adat budayanya, termasuk pantangan saat melaut. Sebagaimana pelaut Bajo, Ganefo meyakini tak boleh membuang benda tertentu ke samudra. Misalnya ampas kopi, air cucian beras, dan kulit jeruk. Pemali ini bila dilanggar bisa membuat "tuan laut" murka.
Ada tiga penguasa laut yang ditakuti warga Kaleroang: Mbo Tambirang (disebut juga Tambiran atau Tambirah), Sangan Ponggai, dan Daeng Lumalu. Makhluk halus terakhir berwujud seekor gurita. "Kalau kita sebut namanya, ia akan muncul dan ikut di buritan kapal," kata Ganefo. Akibatnya, perahu bisa terkena tulah.
Dalam kepercayaan Bajo, lao atau laut adalah tempat bersemayam nenek moyang mereka yang disebut Mbo Madilao—secara harfiah artinya nenek di laut. Ada tujuh mbo yang memiliki kekuatan berbeda: Mbo Janggo, Mbo Tambirah, Mbo Buburra, Mbo Marraki, Mbo Malummu, Mbo Dugah, dan Mbo Goyah. Konon yang terkuat adalah Mbo Janggo, penguasa laut sebelah timur. Mbo Tambirah yang ditakuti Ganefo adalah pengendali angin.
Setelah mengganti busi, Ganefo mengengkol mesin. Tokcer. Mesin langsung meraung tanpa brebet. Kami lega Mbo Madilao tak sedang bermuram durja.
Perahu kayu sepanjang lima meter ini kembali melaju. Posisi penumpang tak berubah: Dian Triyuli duduk di haluan berselempang kamera, Ganefo di buritan mengendalikan mesin, dan saya duduk di tengah-tengah. Tak berselang lama, Ganefo berseru, "Lumba-lumba!" Dia menudingkan telunjuk ke tenggara.
Sepasang lumba-lumba berkecipak di permukaan. Ganefo melambatkan perahu. Menyadari ada yang mengawasi, kedua lumba-lumba liar itu membenamkan diri ke dalam air dan tak muncul lagi. Beruntung, tadi mesin perahu mogok. Jika tadi perjalanan tak tersendat, mungkin kami tak bakal memergoki dua lumba-lumba tersebut.
Setengah jam kemudian, kami sampai di kawasan Sombori. Dari kejauhan terlihat pulau-pulau mini seperti sedang tumbuh dari dalam laut. Tebing-tebing batu di pulau diselimuti vegetasi hijau. Perairan di sekelilingnya membentuk gradasi warna sesuai dengan kedalaman. Dari putih kehijauan berangsur hijau, lalu biru.
Kami memutuskan tak berhenti dulu untuk melihat-lihat. Ada yang harus kami temui di Mbokitta, desa terdekat di Sombori. Perahu terus melesat ke sebuah pulau seluas tujuh kilometer persegi itu. Dari sejarak, terlihat palemana atau rumah-rumah panggung menjorok ke laut, mengitari bagian pulau yang rata. "Itu Pulau Mbokitta," Ganefo berseru dari buritan. Tiga perempat luas Mbokitta adalah bukit batu.
Begitu perahu bersandar di dermaga, kami langsung disambut oleh sejumlah penduduk. Di antara mereka, ada Kepala Desa Muhammad Hatta, yang lantas menuntun kami ke kediamannya. "Nanti saya antar keliling Sombori, tapi sekarang kita makan dulu," katanya. Di tengah jalan, ia memanggil sejumlah tetangganya untuk bergabung.
Sambil kami menyantap sinole—pengganti nasi berbahan dasar sagu—dengan lauk ikan sunu bakar, Hatta menceritakan desanya. Seluruh warga Mbokitta yang berjumlah 200-an adalah orang Bajo, kecuali dia. Hatta orang Bugis yang berasal dari Kendari. Ia datang ke sana lima tahun lalu sebagai pegawai kapal pengepul ikan. Jatuh hati pada gadis Bajo, ia lalu menetap dan menikah. Ketika Mbokitta yang semula dusun naik status jadi desa pada 2011, ia terpilih sebagai kepala desa.
Walau orang bagai, Hatta sudah dianggap orang Bajo sebagai bagian dari mereka. Bagai adalah sebutan warga Bajo bagi orang luar. Adapun sama adalah istilah yang dipakai orang Bajo untuk menyebut diri mereka.
Mudeh, lelaki Bajo yang meriung bersama kami, bercerita bahwa sebelumnya pulau ini bernama Lombokita—berasal dari kata "Lombok" dan "kita". Konon dinamai begitu oleh orang-orang Lombok yang bekerja di PT Lombok Mutiara, pembiak mutiara yang pernah berdiri di Pantai Matarape, di daratan Sulawesi—setengah jam lebih perjalanan dengan perahu mesin dari Mbokitta. Perusahaan itu tutup pada 2008. Sebelumnya, pulau ini disebut Poholea. Kurang-lebih artinya singgah untuk memasak dalam bahasa Matarape.
Leluhur orang Bajo di Mbokitta sebagian memang berasal dari Matarape. Sebagian lagi berasal dari pesisir Sulawesi lain dan dari pulau-pulau sekitar, termasuk Dongkalan. Dulu orang Bajo yang terserak di Nusantara jamak melakukan pongka—mencari hasil laut di daerah lain selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Mereka kemudian membangun rumah singgah di pulau-pulau kosong. Bermula dari sekadar persinggahan pada 1960-an, lambat-laun Mbokitta dihuni permanen.
Versi lain, Mbokitta bukan berasal dari kata "Lombok" dan "kita", melainkan dari "mbo" dan "kitta". Itu kosakata Bajo yang berarti "nenek pincang". Menurut Mudeh, perempuan tua itu yang pertama-tama menghuni pulau tersebut. Pada 2011, setelah menelisik sejarah pulau tersebut, Muhammad Hatta mendaftarkan nama Mbokitta ke pemerintah daerah sebagai nama desa baru itu.
Orang Mbokitta tak ada lagi yang melakukan pongka. Mereka hanya melakukan palilibu atau melaut jarak dekat. Pergi sore hari dan pulang kala subuh. "Tak ada lagi yang berpindah-pindah," ujar Mudeh. Menurut dia, tradisi pongka—jika jaraknya lebih jauh dan waktunya sampai berbulan-bulan disebut sakai—berangsur ditinggalkan seiring dengan makin lazimnya penggunaan perahu bermesin yang disebut ketinting.
Walau begitu, orang Bajo tetap menangkap ikan dengan kail. Jaring hanya untuk menjala ikan kecil buat umpan memancing.
Pada waktu-waktu nahas, nelayan pulang dengan tangan kosong. Bila terjadi dua-tiga kali berturut, berarti ada yang tak beres. "Itu teguran dari penjaga laut," kata Nurijah. Perempuan 60-an tahun ini seorang sandro atau dukun. Dalam bahasa Bajo, teguran dari penjaga laut disebut ta sasapa. Untuk melunakkan hati Mbo Madilao, orang Bajo menggelar maduai pinah atau "turun pinang". Ritual melarungkan pinang ke laut ini dipimpin seorang sandro.
Nurijah menunjukkan cara menyiapkan maduai pinah. Mula-mula ia melinting tembakau dengan daun nipah. Rokok itu kemudian ditaruh di sebelah daun sirih yang telah dilipat di atas baki. Dua pinang yang kulitnya mulai kisut juga ada di nampan tersebut bersama kapur dan gambir. Menurut sang cenayang, saat mempersembahkan sesajian bagi leluhur, doa-doa juga didaraskan untuk Nabi Khidir, yang menguasai lautan dalam kepercayaan Islam. Berdasarkan hierarkinya, kekuasaan Nabi Khidir berada di atas para leluhur, tapi di bawah Allah.
Warga Bajo memang menganut Islam. Sistem kepercayaan mereka merupakan sinkretis antara Islam dan keyakinan yang diturunkan nenek moyang. Di mana pun berada, mereka tak meninggalkan ibadah. Itu sebabnya mereka pantang melaut pada hari Jumat. Seharian mereka berada di pulau dan menunaikan salat Jumat ketika waktunya tiba.
Setelah hari agak teduh, Hatta bersama empat pemuda Mbokitta mengantar kami mengelilingi pulau-pulau di sana. Perahu menyusuri teluk-teluk kecil berair jernih. Sepotong pantai berpasir putih yang tak bernama—panjangnya 20-50 meter—kerap tersembunyi di balik tebing-tebing batu yang menjorok ke laut. Ganefo tak ikut. Setelah makan, dia pamit kembali ke Kaleroang.
Sore itu Hatta mengajak kami ke Pulau Kayangan. "Dinamai begitu karena seperti kahyangan," ujar Hatta. "Pemandangannya gagah," pemuda Bajo yang ikut bersama kami menambahkan. Orang di kepulauan Sombori lebih suka menyebut "gagah" ketimbang "cantik" untuk menggambarkan panorama yang indah.
Di antara puluhan pulau di kawasan Sombori, pantai di Kayangan terbilang panjang. Pasirnya seperti tepung gandum—putih semu-semu cokelat. Jarak Kayangan dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya cukup rapat. Lautnya pun dangkal. Di sebelah barat, lamat-lamat membentang daratan Sulawesi. Orang Bajo di kepulauan lebih sering menyebutnya "daratan besar".
Dulu tak ada bangunan apa-apa di sini. Sekarang berdiri empat rumah panggung. Ukurannya lebih kecil daripada rumah lazimnya—lebih seperti teratak. Sore itu tak ada siapa pun di sana. Meski ditutup rapat, pintunya tak dikunci. "Ini rumah singgah saat 'mencari'," ujar Hatta. Keberadaan bangunan itu belum lama. "Orang-orang dari Matarape yang membuatnya." Mencari adalah istilah pengganti untuk pongka.
Malam itu kami menginap di rumah Hatta. Setelah terbangun keesokan paginya, Hatta memanggil kami agar ke beranda belakang rumahnya yang menghadap ke laut. Rupanya, ada satu keluarga Bajo turun dari perahu untuk menjual hasil tangkapannya kepada tetangga Hatta yang menjadi pengepul ikan. Setelah mereka bertransaksi, saya mengajak Udi, sang kepala keluarga, berbincang.
Udi bersama istrinya, Rukayah, serta kedua putranya yang masih bocah, Momo dan Fadel, hidup di atas leppa—perahu kecil tanpa mesin. Merekalah keluarga terakhir di kawasan Sombori yang menjadikan leppa sebagai tempat tinggal. Mereka tidur, memancing, dan membuat tungku di atas sampan. "Rumah" keluarga Udi tanpa dinding bilik. Atapnya dari terpal rombeng. Agar perahu stabil saat dibantun ombak, Udi memasang cadik sebelah yang diikat seadanya.
Bersama keluarganya, Udi tiba di kawasan Sombori sekitar empat bulan lalu. Mereka berasal dari Morombo, pesisir Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. "Untuk 'mencari'," kata Udi soal alasannya meninggalkan kampung halaman.
Sejak itu, ia dan keluarganya hidup di perairan antara Mbokitta dan Dongkalan. Udi mengayuh dayung di antara pulau-pulau di kawasan Sombori. Ia menangkap apa pun yang bisa didapat mata pancingnya. Sesekali ia menyelam untuk menombak gurita. Hasil laut segar itu kemudian dijual kepada pengepul. "Bukan per ekor, melainkan per kilo," ujarnya. Ikan apa pun, kata Udi, dihargai Rp 4.000 per kilogram. Hanya Rp 4.000 untuk ikan "sekali mati"!
Orang Bajo punya istilah untuk menyebut kualitas ikan tangkapan. "Sekali mati" artinya ikan baru mati di tangan nelayan. "Dua kali mati" berarti ikan sudah di tangan pengepul kecil. Demikian seterusnya. "Sampai dimakan orang Jakarta, ikan itu sudah berkali-kali mati," ujar Haji Aco, orang Bajo yang kami temui belakangan di Pulau Dongkalan.
Dari hasil melego ikan, Udi membeli makanan pokok. Sinole lebih murah ketimbang beras. Air tawar ia peroleh gratis dari mata air di Pantai Waru-waru di pesisir Sulawesi, seberang Mbokitta. Tak ada air tawar di Mbokitta. Sumur niscaya digenangi air asin, kalau tidak payau. Sebagaimana Udi, warga pulau harus ke Waru-waru untuk mengambil air bersih. Bila mata air kerontang seperti musim kemarau ini, mereka mencarinya hingga Matarape, bahkan Molore, pantai Sulawesi yang lebih jauh.
Walau begitu, Udi berniat menetap di Mbokitta. Ia ingin anak-anaknya kelak bersekolah di satu-satunya sekolah dasar di pulau tersebut. Udi hanya pernah mengecap bangku sekolah hingga kelas I SD. Ia tak hafal berapa umurnya sekarang.
Setelah sarapan, kami berangkat ke Sombori. Nama itu yang sejak awal menuntun kami kemari. Menurut Ma Ita, perempuan separuh baya di Mbokitta, Sombori berasal dari bahasa Torete, desa di pesisir Sulawesi Tengah. Terjemahan bebasnya kira-kira jalan yang diapit dua gunung. Ini merujuk pada jalur laut menuju Mbokitta atau ke arah sebaliknya dengan menyusuri rantau Sulawesi. Dua gunung yang dimaksud adalah Pulau Sombori dan Pulau Marege yang berimpitan menghadap daratan Celebes. Ujung Sombori dan Marege hanya berjarak kurang dari 100 meter dari Sulawesi.
Orang Mbokitta malah tak menyebut kawasan itu Sombori, tapi Torah Marege. Artinya tanjung yang berduri. "Tapi Sombori telanjur dipromosikan pemda," kata Hatta terbahak. Sombori kini dikenal sebagai kawasan konservasi yang menghimpun puluhan pulau dari Umbele sebelah Kaleroang di utara hingga Dongkalan di selatan, dari Lembolero di pesisir Sulawesi hingga Stagal di bagian timur. Luasnya mencapai 146.700 hektare. Sebagian pulau bahkan belum bernama.
Setiba di Sombori, saya enggan memikirkan hal lain. Saya coba patri setiap lekuk Sombori di dalam ingatan.
Dari Kendari, Mari ke Sombori
KENDARI merupakan titik terdekat untuk memulai perjalanan ke Sombori bagi Anda yang datang dari luar Sulawesi dengan pesawat. Selain punya bandar udara komersial, Kendari--di Sulawesi Tenggara--memiliki sejumlah rute menuju gugusan kepulauan di Sulawesi Tengah tersebut.
Transportasi
Udara
Jakarta-Kendari
Ketimbang Jakarta-Palu, penerbangan Jakarta-Kendari lebih pas untuk dipilih. Selain lebih dekat jaraknya ke Sombori, transportasi dari Kendari menuju gugusan kepulauan tersebut bisa langsung tersedia.
Darat-Laut
- Via Kendari-Molore-Dongkalan
Dari Kendari menggunakan angkutan travel menuju Molore, yang terletak di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, dengan waktu tempuh dari Kendari empat-lima jam. Ongkosnya Rp 150-200 ribu per orang. Dari Molore menyeberang ke Dongkalan dengan perahu ketinting yang ditenagai mesin diesel berdaya 27 DK. Biayanya Rp 100-200 ribu, tergantung negosiasi. Penyeberangan ke Dongkalan sekitar satu jam.
- Via Kendari-Lafeu-Kaleroang
Butuh waktu lima-enam jam menuju Desa Lafeu di Morowali, Sulawesi Tengah, menggunakan angkutan travel. Pelabuhan Lafeu terletak di antara Kendari dan Bungku, ibu kota Morowali. Tersedia tiap hari, biaya travel Rp 200 ribu per orang. Jika Anda datang berombongan, bisa mencarter dengan bea Rp 1,25 juta. Tiga perempat jalan sudah beraspal mulus. Di sepanjang jalan, mata penumpang akan disuguhi pemandangan pantai, gunung, dan hutan.
Dengan menggunakan kapal motor kecil bertenaga bensin yang disebut speed, Anda dapat menyeberang ke Kaleroang dalam waktu kurang dari satu jam. Ongkosnya sekitar Rp 500 ribu. Bila speed tak ada, Anda bisa menumpang ketinting dengan merogoh Rp 300-400 ribu.
Laut
- Via Kendari-Kaleroang
Ada tiga kapal motor menuju Kaleroang dari Kendari: Irsal Saputra, Awang Saputra, dan Radifa. Masing-masing berangkat pada Senin, Rabu, dan Sabtu pukul 07.00 Wita. Tiketnya Rp 70 ribu per orang--sudah termasuk sekali makan dengan lauk sekerat tongkol. Lama perjalanan dengan kapal berbodi kayu ini tujuh-delapan jam.
Jalur alternatif:
- Via Bungku-Kaleorang
Bila datang dari arah Palu, Anda bisa langsung menyeberang ke Kaleorang lewat Bungku. Tiga kapal motor tadi--Irsal Saputra, Awang Saputra, dan Radifa--berlayar menuju Kendari melalui Kaleorang pada Sabtu malam, Minggu malam, dan Rabu malam. Ongkosnya Rp 70 ribu.
Transportasi Lokal
- Setiba di Kaleroang, sewalah perahu untuk mengelilingi kawasan Sombori--menginjakkan kaki di tiap pulaunya dan mencemplungkan diri di tiap spot penyelaman. Biayanya Rp 1-1,5 juta per hari. Anda juga bisa meminta pemilik perahu sekadar mengantar ke Pulau Mbokita. Di sana Anda tinggal meminta warga setempat menemani perjalanan mengitari obyek-obyek di Sombori.
- Sebagaimana dari Kaleroang, dari Dongkalan pun Anda dapat mencarter perahu untuk mengelilingi kawasan Sombori dengan tarif Rp 1-1,5 juta per hari, tergantung tawar-menawar. Karena berada di dalam kawasan Sombori, dari Dongkalan ke pulau-pulau lain, termasuk Pulau Sombori, dapat ditempuh kurang dari setengah jam.
Akomodasi
Tak ada penginapan atau hotel di Sombori. Pengunjung bisa tinggal di rumah penduduk di Pulau Mbokita atau Dongkalan. Bisa juga di Kaleroang. Tak ada harga khusus. Untuk dua hari, misalnya, rombongan sebanyak lima-enam orang cukup membayar Rp 500 ribu. Itu sudah termasuk tiga kali makan sehari. Menunya aneka ikan laut segar yang dimasak beragam, dari kuah asam hingga bakar.
Kuliner
- Menyantap ikan bakar dengan side dish atau hidangan pendamping sinole--makanan pokok yang berasal dari sagu--layak Anda jajal bila berkunjung kemari. Jangan lupa mencocolkannya pada sambal semacam dabu-dabu. Beda dengan dabu-dabu, sambal ini tak berminyak dan tanpa bawang.
- Belum lengkap ke Sombori tanpa menikmati kasuami dan ikan bakar atau kuah. Kasuami terbuat dari singkong yang diparut, lalu ditanak hingga kuning. Penyajiannya seperti gunungan nasi tumpeng.
Guide dan Diving
Pemilik perahu yang Anda sewa adalah guide terbaik di Sombori. Mereka paham seluk-beluk kepulauan Sombori. Bila ingin menyelam, hubungi Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan Morowali Nasaruddin. Pria yang disapa Haji Lalok ini bisa menunjukkan spot menyelam paling aduhai di Sombori. Jika belum mahir menyelam, Haji Lalok akan menyediakan instruktur selam untuk mendampingi Anda. Tak perlu bawa alat selam. Bidang Kelautan menyewakan perlengkapan diving dan snorkeling dengan harga terjangkau. Haji Lalok bisa dikontak di nomor 0821-9356-6627.
ATM
Tak ada anjungan tunai mandiri di Sombori. Persiapkan uang tunai secukupnya.
Telepon
Sinyal telepon paling bagus hanya jaringan Telkomsel. Itu pun hanya lamat-lamat--lebih sering raib. Tak ada akses Internet.
Vakansi tanpa Reservasi
SOMBORI sesungguhnya sebuah pulau di Desa Mbokitta di Kecamatan Menui Kepulauan, Morowali. Namanya kemudian dijadikan kawasan konservasi seluas 146.700 hektare yang melingkupi hampir seluruh pulau di tenggara Morowali. Bila dilihat dari udara, gugusan kepulauan ini mirip Raja Ampat di Papua Barat. Wakil Bupati Morowali Sumisi Marunduh punya kalimat ringkas untuk menggambarkan si cantik Sombori. "Seperti perpaduan Raja Ampat, Wakatobi, dan Bunaken dalam satu tempat," ujarnya.
Tak ada penginapan atau hotel di sini. Tak ada pula restoran dan bar. Pulau dan pantainya hanya dijamah warga lokal. Spot penyelaman cuma diketahui segelintir orang. Langsung saja datang, tanpa perlu reservasi lebih dulu.
01. Kaleroang
Sebagai ibu kota Kecamatan Bungku Selatan, Kaleroang merupakan desa teramai di Teluk Tolo. Inilah tempat singgah sebelum ke Sombori—yang terletak di Kecamatan Menui Selatan. Namun tak perlu buru-buru ke Sombori untuk melihat dari dekat suku Bajo. Kaleroang dihuni lebih dari seribu orang Bajo. Meski telah berakulturasi dengan kebudayaan Bugis, Ternate, dan suku-suku lain, sejumlah tradisi Bajo tetap lestari. Pantangan dan mitos saat orang Bajo melaut pun diserap suku lain yang bermukim di sana.
Datanglah tiap 21-22 November. Pemerintah Morowali menggelar Festival Bajo Pasakayyang. Segala yang berkaitan dengan budaya Bajo disuguhkan di sini. Dari ritual, drama musikal, hingga makanan khasnya. Pengunjung juga bisa menyaksikan konvoi lebih dari seribu perahu dari berbagai pulau di kawasan tersebut. Tak perlu khawatir soal akomodasi. Meski tak ada penginapan, pengunjung bisa berlabuh di rumah penduduk.
02. Sombori, Marege
Titik terdekat kedua pulau ini berjarak sekitar sepuluh meter. Teluk mini yang berhadapan di kedua pulau—karena ujungnya nyaris rapat, seperti membentuk huruf O—seakan-akan sebuah laguna. Nelayan dari Pulau Mbokitta memanfaatkan celah tersebut untuk menjebak cakalang. Caranya, ujung celah dipasangi jaring. Setelah cakalang bisa digiring ke "laguna", mereka kemudian menutup celah satunya lagi dengan jaring.
03. Mbokitta
Di antara pulau-pulau di Sombori, Mbokitta adalah daratan terpadat. Jumlah penghuninya sekitar 200 orang—mayoritas tinggal di rumah yang berdiri di atas laut. Nama pulau ini juga yang dijadikan nama desa bagi kelompok pulau di sekitarnya.
04. Dongkalan Kecil
Dibanding ke daratan Sulawesi Tengah, Dongkalan lebih dekat ke Sulawesi Tenggara. Daya tarik pulau berpenduduk sekitar 600 orang ini adalah penghuninya yang mayoritas orang Bajo. Meski muslim taat, orang Bajo di Dongkalan tetap menjalankan tradisi leluhurnya. Misalnya menggelar upacara "turun pinang" manakala tangkapan nihil untuk beberapa lama.
05. Dongkalan Besar (Pulau Tarape)
Walau ukurannya lebih besar ketimbang Dongkalan Kecil, pulau ini tak berpenghuni. Selain keberadaan pulau-pulau kecil yang seperti menyusu pada Dongkalan Besar (sebutan warga Dongkalan Kecil terhadap Pulau Tarape), keindahannya terletak pada kelokan-kelokan bibir pulau. Terkadang jurang batu belaka. Tapi secara tak terduga kita bisa menemukan sepetak pantai pasir putih yang disembunyikan kelokan. Seperti Maya Bay yang jadi latar film The Beach, tapi dalam versi mini.
06. Pulau Dua Darat, Pulau Dua Laut
Berbeda dengan pulau-pulau lain di kawasan Sombori yang ditumbuhi gunung batu, kedua pulau ini tanpa dataran tinggi. Seluruh daratan adalah pasir putih. Kedua pulau dihuni sejumlah orang Bajo. Selain pantainya yang putih permai, keindahan dua destinasi ini terletak di bawah lautnya. Kita seperti berenang di akuarium bersama Nemo dan teman-temannya.
07. Gua Berlian, 08. Gua Sombori
Kedua gua ini adalah bonus bila kita bervakansi ke Sombori. Gua Berlian terletak di bibir daratan Sulawesi yang menghadap Mbokitta. Dinamakan Gua Berlian karena stalaktit di dalam gua berkilau-kilau bila tersapu cahaya. Adapun Gua Sombori terletak di Pulau Sombori. Keduanya bukan gua dengan lorong panjang. Untuk memasukinya dibutuhkan usaha lebih karena berada di tebing dengan tingkat kemiringan 70-80 derajat. Ketinggian Gua Berlian sekitar 10 meter di atas permukaan laut, sedangkan Gua Sombori sekitar 50 meter di atas permukaan laut.
09. Kayangan
Dinamai Kayangan karena pulau ini seindah kahyangan. Sepetak pantai berpasir putih menghampar di satu sudut pulau. Perairan yang dangkal dan jernih membuat cahaya tembus sampai ke dasar laut. Bisa ditempuh kurang dari 15 menit dari Mbokitta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo