Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Segara di Ujung Jalan Makadam

Apa pun kendaraannya, menuju pantai-pantai di kawasan Taman Nasional Meru Betiri adalah perjalanan tak mudah. Jalan tanah bebatuan berkelok-kelok mendaki bukit, menembus hutan dan perkebunan. Tapi bersepeda bukan mustahil, dan sebenarnya cocok dengan ekowisata yang dijalankan penduduk setempat.

16 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG menyebutnya jalan makadam—jalan tanah berbatuan yang cara konstruksinya pertama kali diajarkan oleh John Loudon McAdam, insinyur dan pembuat jalan dari Skotlandia yang hidup pada abad ke-19. Di jalan semacam itu, dalam gelap malam pada Selasa tiga pekan lalu, satu sepeda motor bebek tiba-tiba mendekat dan berhenti. "Maaf, Pak," seseorang berjaket hitam turun dari boncengan sambil memberi isyarat agar kami berhenti.

Waktu itu kami, fotografer Rully Kesuma dan saya, sedang berusaha kembali ke pos jaga di gerbang Taman Nasional Meru Betiri di Rajegwesi, Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. Sebelumnya kami sudah masuk ke permukiman dan sempat singgah di rumah seseorang yang oleh penduduk yang mengantarkan kami ke sana disebut sebagai "yang paling tahu urusan wisatawan". Rupanya, sang pemilik rumah sedang menghadiri pertemuan di pusat desa. Saat kami menginjak halaman rumahnya, istri dan dua anaknya juga baru datang.

Malam itu, sekitar pukul 21, kami baru tiba setelah bersepeda tujuh jam lebih dari Banyuwangi. Perjalanan yang lama untuk jarak kurang-lebih 100 kilometer. Sebenarnya kami sudah mengantisipasi hal ini. Tapi, selain berangkat terlalu siang, sekitar pukul 9, dan di jalan juga memilih merintang mata di Pulau Merah yang kebetulan searah, ternyata medannya lebih alot ketimbang yang kami perkirakan berdasarkan riset dan cerita dari kenalan yang pernah melaluinya lebih dulu. Jadi kami benar-benar kemalaman, dan tentu saja letih.

"Bapak tadi yang ke Sekretariat, ya? Saya buru-buru pulang karena diberi tahu anak saya," laki-laki itu bertanya dengan suara pelan dan intonasi datar, nyaris tenggelam di antara bunyi deburan ombak dari pantai tak jauh dari jalan itu. "Bagaimana saya bisa bantu, Pak?"

Saya tak tahu sekretariat apa yang dia maksud. Tapi, seraya mencoba memindai wajahnya (tapi tentu saja gagal, karena cahaya terlalu minim), saya jawab, "Oh, betul, Pak. Ini saya baru mau kembali ke pos jaga di depan, menunggu yang piket jaga datang."

Terjadilah percakapan singkat. Saya menjelaskan keperluan kami malam itu—bahwa kami membutuhkan tempat menginap. Laki-laki itu lekas memahami situasi, lalu mempersilakan kami membuntutinya kembali ke "sekretariat", yang sehari-hari sesungguhnya adalah rumahnya. "Saya dari kelompok Karang Taruna Masyarakat Ekowisata Rajegwesi. Bapak menginap saja di tempat saya," katanya. Kami lalu berjabat tangan. Baru keesokan harinya saya tahu namanya: Syamsul Arifin.

RAJEGWESI barangkali sebuah nama yang menimbulkan rasa jeri, sekurang-kurangnya mengesankan sesuatu yang... digdaya, sulit ditembus. Pembaca cerita silat bisa membayangkannya sebagai nama sebuah jurus andal. Mereka yang gemar mengintip-intip hal-ihwal dunia supranatural pasti juga pernah tahu, atau mendengar, ada pelatihan tenaga dalam rajegwesi, yang diyakini punya bermacam-macam khasiat, dari bela diri hingga penyembuhan penyakit.

Dalam bahasa Jawa, kata rajeg berarti tiang pancang atau pagar, sedangkan wesi berarti besi. Dipadukan, kedua kata ini sudah seketika menimbulkan kesan sebuah struktur yang kokoh. Kesan ini tak terlalu salah. Di satu bagian pantai yang jaraknya kira-kira sekilometer dari pintu masuk taman terdapat bukit dengan batu karang tinggi yang bisa menahan ombak besar Laut Selatan. Adanya penahan inilah yang menyebabkan ombak yang sampai di pesisir sudah sangat berkurang tenaganya.

Pantai Rajegwesi sendiri, yang dicapai setelah perjalanan menembus perkebunan karet, kakao, dan kelapa, terbentuk dari endapan lumpur yang dibawa sungai-sungai yang meluap pada saat banjir. Inilah yang menyebabkan pasir di pantainya berwarna seperti kulit sawo matang, bukan putih seperti di Teluk Ijo (disebut juga Teluk Hijau), pantai dengan air laut kehijau-hijauan yang lokasinya berdekatan, di jalan menuju Pantai Sukamade.

Kondisi perairan yang relatif tenang membuat Rajegwesi cocok untuk mencari ikan. Dan penduduk yang hidup dengan menjadi nelayan, buruh nelayan, atau pedagang ikan memang mendominasi perkampungan di sini—dibandingkan dengan Sukamade, sekitar 10 kilometer ke arah barat, yang kebanyakan penduduknya bekerja di perkebunan di dalam kawasan taman. Jumlah mereka yang menggantungkan hidup di laut merupakan 80 persen dari total penduduk Rajegwesi sekitar 500 orang.

"Saya mewarisi pekerjaan ini dari orang tua saya," ujar seorang nelayan bernama Kosim, seraya mengusap peluh di dahinya.

Pagi itu matahari sebenarnya belum tinggi benar. Tapi, seperti lazimnya daerah pantai, pesisir Rajegwesi sudah terasa seperti terpanggang. Cahaya surya menyilaukan mata. Kosim, pria 53 tahun yang beranak dua dari seorang istri, baru pulang dari melaut. Dia berangkat sore sehari sebelumnya. Sekapal bertiga dengan nelayan lain, dia membawa pulang ikan jenis layur, yang bentuknya panjang dan ramping, dari kejauhan mirip belut. "Kalau melaut sore dan pulang pagi, ikan jenis ini memang yang mudah ditangkap," katanya.

Selain mereka yang berangkat sore, ada nelayan yang memilih bekerja mulai pagi. Mereka mengarungi laut segera setelah subuh tiba, saat langit masih gelap, dan baru pulang sore hari. Tangkapan mereka lain lagi jenisnya. Paling banyak ikan tuna.

Seperti Kosim, penduduk Rajegwesi mengerjakan apa yang diturunkan oleh leluhur masing-masing sebagai mata pencarian. Kebanyakan dari mereka, sama halnya dengan penduduk Desa Sarongan, adalah orang Jawa—biasa disebut orang Mentaraman (orang dari Kesultanan Mataram Islam). Ada cerita bahwa sebagian orang Jawa di Rajegwesi adalah keturunan para pekerja yang didatangkan tentara pendudukan Jepang dari Yogyakarta dan sekitarnya untuk membantu menancapkan kayu-kayu jati di mulut teluk buat dijadikan benteng.

Menurut sejarahnya, kawasan pesisir selatan Banyuwangi dulu termasuk wilayah Kerajaan Blambangan, yang dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu terakhir di Pulau Jawa. Penguasanya hingga menjelang akhir abad ke-18 merupakan keturunan dari Tawangalun (1645-1691), raja Blambangan yang paling dihormati dan dikenang oleh penduduk Banyuwangi.

Di masa Pangeran Danuningrat menjadi penguasa di bawah kendali Kerajaan Mengwi dari Bali (1736-1767), ada seorang bernama Mas Sirna. Dia adalah adik Danuningrat yang ditunjuk menjadi patih dengan gelar Wong Agung Wilis. Karena intrik di lingkungan kerajaan, Wong Agung Wilis dituduh hendak makar. Raja lalu mencopot dia dari jabatannya. Dia mengembara dan bertapa ke pesisir pantai selatan, ke gunung-gunung, ke gua-gua yang angker, dan mendirikan pasraman—tempat pengajaran agama Hindu—di lokasi yang sekarang disebut Desa Sanggar. Menurut hikayat yang diceritakan turun-temurun di kalangan penduduk Rajegwesi, dia juga melakukan perjalanan ke Alas Purwo, kawasan hutan di Semenanjung Blambangan yang dianggap angker bahkan sampai sekarang.

Di Rajegwesi, di puncak sebuah batu karang di bagian barat pantai, tak jauh dari tempat perahu nelayan yang berwarna-warni dilabuhkan berjajar-jajar, terdapat petilasan Wong Agung Wilis. Papan penunjuknya sudah berkarat dan catnya mengelopak di sana-sini, tulisannya pun tak terbaca. Penduduk mengenalnya sebagai Ki Agung Wilis atau Mbah Agung Wilis.

NELAYAN-nelayan di Rajegwesi melaut dengan perahu jukung atau dikenal pula dengan sebutan perahu cadik. Setiap perahu yang dibuat dari papan itu berukuran panjang 4-8 meter. Di kiri dan kanan lambungnya terdapat dua lengan kayu untuk menahan pelampung atau cadik. Perahu-perahu ini diturunkan ke laut dengan cara menumpangkan buritannya ke atas gerobak beroda dua, lalu seorang nelayan mendorongnya dan nelayan yang lain membantu dari haluan. Begitu perahu sudah masuk ke air, mesin tempel dinyalakan dan gerobak dikembalikan ke darat. Didorong sedikit, perahu sudah bergerak di permukaan air.

Kosim tinggal di bukit tak jauh dari pesisir. Di sana ada tak kurang dari 150 keluarga. Mereka adalah penduduk yang mulanya tinggal di pinggir pantai. Pada 3 Juni 1994, di saat orang masih lelap tidur, terjadi gempa 7,2 skala Richter di Samudra Hindia yang menimbulkan tsunami dan melanda sebagian pesisir selatan Jawa Timur, termasuk Rajegwesi. Sekurang-kurangnya 200 orang tewas di seluruh pantai yang terkena terjangan gelombang setinggi hingga 5 meter, terutama Pancer, Lampon, dan Rajegwesi. Selain korban nyawa, semua bangunan rata dengan tanah. "Tidak ada yang tersisa," ujar Kosim.

Tak seorang pun di Rajegwesi yang selamat melalui hari itu bisa melupakan semua yang terjadi. Tapi hidup mesti berjalan terus. Dan seperti sepeda, supaya tetap jalan, tak boleh ada yang berhenti bergerak. Bagi penduduk Rajegwesi, laut sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian mereka. "Di sini mati-hidup kami," kata Suyono, nelayan lain, yang pagi itu sedang merapikan jaring di kapalnya.

Karena itulah mereka memilih tetap menjalani hidup bersama laut. Mereka terus menyelenggarakan perayaan petik laut setiap bulan Suro (menurut penanggalan Jawa) dengan melarung kepala kambing ke laut—perayaan atau upacara serupa diselenggarakan pula oleh masyarakat pantai di sepanjang pesisir selatan Jawa. Mereka juga mematuhi larangan mencari ikan dengan jaring berukuran besar.

"Sesulit-sulitnya keadaan, tidak ada yang meninggalkan kampung ini untuk merantau," ujar Syamsul Arifin, pemilik homestay tempat kami menginap, yang di kartu namanya mencantumkan duta wisata sebagai profesi.

Syamsul, 44 tahun, bukan orang asli Rajegwesi. Dia lahir dan besar di Kota Banyuwangi. Dia menetap di Rajegwesi karena, "Istri saya orang sini," katanya. Rumah yang dia tinggali bersama anak-istrinya tergolong besar, sekitar 100 meter persegi, meski dinding luarnya masih bersemen kasar dan sebagian lantainya berupa tanah.

Mulanya Syamsul bekerja, dalam kata-katanya, "sebagai buruh" dan "mengerjakan apa saja, sesuai dengan kebutuhan orang". Kemauan belajarnya tinggi. Dia juga berprinsip pasti bisa menguasai setiap pekerjaan asalkan melakukannya dengan sukahati. Karena sifat pekerjaan dan prinsipnya itu, dia jadi kenal banyak orang, dari berbagai kalangan.

Pada November 2011, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Sarongan menyelenggarakan kegiatan Program Model Desa Konservasi di Rajegwesi. Nama Syamsul sebenarnya sudah masuk radar penyelenggara. Tapi kenyataannya dia diabaikan oleh orang yang dipercaya menyusun daftar nama penduduk yang berpotensi ikut pelatihan participatory rural appraisal. Pelatihan ini mengajarkan, di antaranya, pembuatan eco-homestay, keterampilan pemandu wisata, dan bahasa Inggris. Dari kegiatan pelatihan pertama ini terbentuk Masyarakat Ekowisata Rajegwesi (MER), yang bertujuan mengembangkan wisata bahari.

Ketika pada pelatihan berikutnya nama Syamsul tak juga masuk ke penyelenggara, pengelola Taman Nasional memilih menghubunginya secara langsung. Meski demikian, Syamsul baru benar-benar terlibat dalam kepengurusan MER pada 2013. Dalam pemilihan pengurus dia dipercaya menjadi wakil ketua, meski kemudian, karena ketuanya menyatakan tak sanggup, dialah yang sehari-hari bertindak dan menjalankan tugas sebagai ketua.

SEBELUM 2011, pantai Rajegwesi terhitung jarang dikunjungi wisatawan. Bukan tak ada yang tahu keberadaannya. Mereka yang datang umumnya hanya singgah sebelum melanjutkan perjalanan yang terhitung susah payah, harus mendaki jalan di dalam hutan, menuju Sukamade—untuk menyaksikan penyu bertelur dan melepas tukik, bayi penyu. "Dalam sebulan ada satu wisatawan sudah bagus," ujar Syamsul.

Menjelang siang pada Rabu tiga pekan lalu itu Syamsul menunggui Sekretariat MER, yang menempati ruang 5 x 5 meter di rumahnya. Dari pengeras suara pada seperangkat komputer di salah satu meja terdengar Ebiet G. Ade meraung, melantunkan Titip Rindu buat Ayah. Seraya mengulang-ulang memutar lagu itu, Syamsul bercerita tentang MER.

Menurut dia, ketika MER baru mulai berjalan, jumlah penduduk Rajegwesi yang terlibat baru 27 orang dan rumah yang bisa dijadikan homestay hanya empat. Perlahan-lahan jumlah wisatawan yang datang bertambah. Selain dari dalam negeri, ada turis mancanegara. Kini, menurut Syamsul, jumlah wisatawan yang menjadikan Rajegwesi sebagai tujuannya bisa mencapai seribu orang dalam sebulan. Jumlah penduduk yang terlibat dalam MER sudah 80-an orang.

Angka itu, bila dibandingkan dengan tujuan wisata lain, terutama di lokasi yang bukan merupakan kawasan yang dilindungi, memang kecil. Misalnya Pulau Merah di Desa Sumberagung, masih di Kecamatan Pesanggaran, yang baru dipromosikan pada 2012. Jumlah wisatawan yang singgah di tempat yang masuk salah satu etape balap sepeda internasional Tour de Ijen ini bisa mencapai 4.000 orang setiap akhir pekan.

Yang dikemukakan Syamsul adalah angka jumlah wisatawan yang datang dan menginap di satu dari delapan homestay yang kini ada di Rajegwesi. Ditambah mereka yang hanya mampir sebentar dalam perjalanan menuju Sukamade, jumlahnya bisa jadi lebih banyak. Tapi, jika menyimak keterangan Syamsul, jumlah wisatawan tak bisa jauh lebih besar ketimbang yang sekarang karena hambatan infrastruktur—yang perbaikan ataupun penambahannya sulit dilakukan karena peraturan, yakni Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.101/IV-SET/2011 tanggal 20 Mei 2011, memang membatasinya.

Selain itu, "Dulu yang datang melalui operator masih banyak yang menghabiskan waktu di Rajegwesi lebih dari sehari, untuk melihat-lihat banyak hal," kata Syamsul. "Kini yang datang umumnya wisatawan massal—yang datang, lalu pergi lagi." Yang dia maksud dengan operator adalah agen perjalanan.

Menurut dia, karena keadaan itulah sulit mengajak penduduk untuk terlibat lebih aktif dalam MER, sebagai bagian dari penyelenggara ekowisata. Keadaan semacam ini memang tak klop dengan prinsip ideal seperti yang dikemukakan Sundjaya, peneliti antropologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, bahwa ekowisata harus melibatkan masyarakat setempat—di samping menjadi sarana edukasi dan cara untuk melestarikan lingkungan.

"Bagaimana bisa mengajak mereka kalau, pada musim yang bagus, melaut semalam saja bisa menghasilkan Rp 7 juta," ujar Syamsul, sambil menambahkan bahwa banyak penduduk Rajegwesi baru mau terlibat jika musim sedang buruk untuk melaut.

Sebagai pendatang dan bukan nelayan, Syamsul memang melihat peluang. Masalahnya yang ada dalam bayangannya itu hanya mungkin terjadi di tempat yang bukan bagian dari taman nasional, yang kebutuhan-kebutuhan akan prasarana dan lain-lain bisa dan malah mesti dipenuhi. Di taman nasional jumlah wisatawan yang melonjak akibat pengaspalan jalan, kalaupun peraturannya dilonggarkan, misalnya, bisa berujung pada rusaknya kekayaan alam yang hendak dilindungi.

Khusus di Taman Nasional Meru Betiri, perbaikan dan penambahan prasarana sudah pasti akan menghapuskan daya tarik yang justru menjadi keunggulannya sebagai tujuan wisata: petualangan menghadapi medan yang masih alami, dengan hutan dan satwanya yang beraneka ragam. Di situlah pula sesungguhnya letak kegembiraan kami: terguncang-guncang, terseok-seok, bersepeda puluhan kilometer di jalan makadam.


Ke Meru Betiri

Perjalanan ke Taman Nasional Meru Betiri bisa dimulai dari Jember atau Banyuwangi. Tapi, jika hendak bersepeda, Banyuwangi bisa jadi pilihan--sekurang-kurangnya lalu lintas di jalan raya yang mesti Anda lalui untuk menuju Rajegwesi relatif longgar.

TRANSPORTASI
Ke Banyuwangi (atau Jember) bisa menggunakan bus atau kereta api. Khusus untuk Banyuwangi, ada penerbangan dari Jakarta via Surabaya atau Denpasar. Dengan bawaan sepeda, pilihlah maskapai penerbangan yang menggratiskan ongkos sepeda masuk bagasi.

Udara
Ada Garuda, Wings Air, dan Lion Air. Pilih yang transit di Surabaya. Tiket sekali jalan sekitar Rp 1,2 juta.

Darat
Selain memakai bus, Anda bisa menggunakan kereta api. Dari Jakarta ada kereta api ke Surabaya, lalu disambung dengan kereta api ke Banyuwangi. Tarif tiket ke Surabaya mulai Rp 375 ribu, sedangkan ke Banyuwangi mulai Rp 100 ribu.

Transportasi lokal
Untuk Anda yang hendak menginap dulu di Banyuwangi, dari Bandar Udara Blimbingsari ke pusat kota bisa menggunakan taksi atau bus Damri. Jika membawa sepeda atau hendak langsung menuju Rajegwesi, sebaiknya Anda atur lebih dulu urusan transportasi sebelum berangkat dari kota asal Anda.
Sewa mobil per hari bervariasi, mulai Rp 500 ribu. Untuk sampai di tujuan-tujuan di Meru Betiri, sebaiknya menggunakan mobil 4WD. Sewa mobil jenis ini umumnya lebih mahal.
Di Rajegwesi, untuk mencapai Teluk Ijo, Anda bisa menumpang ojek sampai ke perhentian terakhir kendaraan bermotor. Ongkos Rp 10 ribu. Alternatifnya adalah menumpang perahu nelayan. Ongkos Rp 35 ribu per orang pulang-pergi.

AKOMODASI
Di Banyuwangi, banyak hotel yang bisa dipilih. Jika berminat, Anda juga bisa menginap di Kampung Osing Inn, yang menawarkan suasana dan pelayanan ala suku Osing. Di mana pun pilihan Anda, silakan menyiapkan dana sekurang-kurangnya Rp 150 ribu.
Di Rajegwesi, juga di Sukamade, Anda bisa berkemah di lokasi yang sudah ditentukan. Tapi kalau sudah lupa cara mendirikan tenda, dan Anda ingin sedikit bebas dari serangan nyamuk, bisa pilih menginap di homestay milik penduduk atau guest house milik Balai Taman Nasional. Ongkos sewa kamar bervariasi, mulai Rp 150 ribu per malam.

KULINER
Seperti di pantai mana pun, ikan bakar adalah menu khas di Banyuwangi dan pantai yang bertebaran di sekitarnya, termasuk di Rajegwesi dan Sukamade. Jika menginap di homestay milik penduduk, Anda bisa menikmati sajian masakan rumahan.

GUIDE
-Beberapa obyek di Rajegwesi, seperti Gua Jepang, hanya bisa dicapai dengan penunjuk jalan. Jika Anda ikut paket tur, soal ini pasti sudah masuk ke harga yang Anda bayarkan.

ATM
Bawalah uang kontan secukupnya sebelum mencapai Desa Sarongan. Di Rajegwesi dan Sukamade, semua transaksi hanya bisa dilakukan dengan uang kontan. Anjungan tunai mandiri (ATM) terakhir ada di ibu kota Kecamatan Pesanggaran.

Dari Sini Matahari Menyapa Jawa

KARENA letak geografinya, Banyuwangi atau The Sunrise of Java kaya tujuan wisata pantai. Tapi, bagi wisatawan yang berniat sekaligus untuk bersepeda, kawasan Taman Nasional Meru Betiri menghamparkan medan yang menantang dengan pantai yang bisa membuat lupa rumah. Dari Rajegwesi, yang merupakan pintu masuk ke dalam taman dari arah Banyuwangi, jarak ke Sukamade sebenarnya hanya 10 kilometer. Waktu tempuh bisa lebih lama ketimbang seharusnya karena jalannya yang bepermukaan batu, berkelok-kelok menembus hutan dan area perkebunan, menanjak sepanjang setengah dari jarak itu.

1. Pulau Merah
Salah satu tujuan penggemar selancar ini bisa jadi persinggahan hanya bagi mereka yang punya atau bisa mengatur waktu cukup untuk sampai di Rajegwesi sebelum petang. Jarak dari Banyuwangi sekitar 70 kilometer. Jika tujuan pertama Anda adalah Rajegwesi, sedangkan Anda berangkat sudah terlalu siang dan tak mau berada di area perkebunan saat malam tiba, sebaiknya kunjungi pantai ini dalam perjalanan pulang dari Sukamade.

2. Pantai Rajegwesi
Selepas petang, tak seorang pun bisa ditemui di pos penjaga gerbang masuk Taman Nasional Meru Betiri. Jika Anda berniat berkemah, usahakan tiba menjelang sore. Di luar itu, Anda bisa langsung ke permukiman penduduk dan cari tahu lokasi satu dari delapan homestay yang ada. Dengan biaya kurang-lebih Rp 150 ribu, Anda bisa menyewa satu kamar dan menikmati layanan makan malam serta sarapan ala rumahan untuk dua orang.

3. Teluk Ijo
Disebut pula Teluk Hijau (Green Bay), pantai dengan air laut kehijauan ini bisa Anda kunjungi sebelum bertolak ke Sukamade. Ada dua cara untuk mencapainya: jalan kaki 3,5 kilometer dari permukiman di Rajegwesi (atau menyewa ojek sampai ke perhentian terakhir sebelum jalan kaki) dan lewat laut dengan menyewa kapal. Pantai ini berada di balik bukit dan baru bisa dicapai setelah Anda menjumpai Pantai Batu.

4. Pantai Batu
Sampai sebelum tsunami pada 1994, pantai ini berpasir seperti halnya Teluk Ijo. Begitulah cerita dari penduduk Rajegwesi. Kini hamparan pasir itu seluruhnya tertutupi oleh batu-batuan dari berbagai ukuran dan bentuk. Menakjubkan. Tapi kebanyakan wisatawan cenderung melewatkan keelokan fenomena alam ini, karena tujuan mereka adalah Teluk Ijo.

5. Teluk Damai
Papan penunjuk tempat ini bisa dijumpai tak jauh dari jalan masuk menuju Teluk Ijo. Sebenarnya ini adalah kawasan teluk yang meliputi Pantai Batu dan Teluk Hijau. Namanya mencerminkan suasananya.

6. Pantai Sukamade
Berbeda dengan pantai-pantai lain di jalur Rajegwesi-Sukamade, pantai sepanjang 3,5 kilometer ini langsung berhadapan dengan Laut Selatan atau Samudra Hindia. Ombak yang mencapai pesisir tentu saja besar, dan karena itu di sini berlaku larangan berenang. Di sinilah aneka jenis penyu berlabuh untuk bertelur. Momen ini, berlangsung pada malam hari, yang menarik wisatawan, di samping kegiatan melepas anak penyu (tukik).

7. Plengkung
Pantai yang juga dikenal dengan sebutan G-Land ini merupakan tujuan para penggemar selancar dari berbagai negara. Letaknya di Teluk Grajagan, Taman Nasional Alas Purwo. Wisatawan dari Bali bisa menempuh perjalanan setengah hari melalui jalan darat.

8. Muncar
Pelabuhan ikan—yang terbesar kedua di Indonesia setelah Bagan Siapiapi—ini hanya tujuan bagi mereka yang tak terganggu bau amis segar khas ikan laut. Letaknya di Kecamatan Muncar, menghadap ke Selat Bali.
*) Tujuan lain di luar Meru Betiri

Meru Betiri
Satu dari 50-an taman nasional di seluruh Indonesia, Meru Betiri meliputi kawasan seluas 58 ribu hektare, 845 hektare di antaranya berupa perairan. Secara administratif, taman ini berada di wilayah dua kabupaten, Banyuwangi dan Jember. Ditetapkan sebagai taman nasional pada 1997, Meru Betiri merupakan habitat sejumlah satwa yang dilindungi, termasuk banteng, monyet ekor panjang, dan harimau Jawa. Sukamade, salah satu pantai di sini, menjadi lokasi aneka jenis penyu bertelur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus