Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Luluh Tertekuk Perkara Yasin

Pendukung Joko Widodo di partai Ka'bah ditakut-takuti kasus Rachmat Yasin. Menentang pencalonan Hatta.

19 Mei 2014 | 00.00 WIB

Luluh Tertekuk Perkara Yasin
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PENANGKAPAN Bupati Bogor Rachmat Yasin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menggembosi perlawanan pendukung Joko Widodo di Partai Persatuan Pembangunan. Yasin, yang memimpin PPP Jawa Barat, ditahan pada Rabu malam dua pekan lalu karena disangka menerima suap Rp 4,5 miliar dalam pengurusan alih fungsi lahan.

Sekretaris Jenderal Muhammad Romahurmuziy, yang satu barisan dengan Yasin, balik badan mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Dua hari setelah Yasin ditangkap, ia bertemu dengan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu di kawasan Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Di situ, ia menanyakan calon pendamping Prabowo, yang dijawab bahwa di antaranya Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa.

Ketika Romahurmuziy bertanya apakah Ketua Umum PPP Suryadharma Ali masuk daftar, menurut pengurus partai itu, Prabowo tak menjawab. Pengurus yang sama bercerita bahwa Romahurmuziy ditawari posisi menteri. Romahurmuziy tak membantah bersua dengan Prabowo. Namun ia menyanggah dijanjikan posisi di kabinet Prabowo. "Ini tanpa transaksional," ujarnya Jumat pekan lalu.

Penahanan Rachmat Yasin betul-betul memukul para penentang Suryadharma Ali. Menjelang Rapat Pimpinan Nasional PPP pada Sabtu dua pekan lalu, kubu pendukung Ketua Umum mengembuskan isu bahwa kasus Yasin bakal merembet. Dari Rp 4,5 miliar, sebanyak Rp 3 miliar sudah dikantongi Yasin jauh sebelum penangkapan. Duit inilah yang dijadikan senjata untuk menakut-nakuti kelompok Yasin.

"Terima duit Yasin, kena kau di KPK," demikian kasak-kusuk di antara kader, seperti diceritakan seorang pengurus partai Ka'bah, Kamis pekan lalu. Walau belum tentu benar, kata dia, hal tersebut efektif menyurutkan kubu Yasin.

Lima hari sebelum ditangkap, Yasin mengumpulkan 24 dewan pengurus wilayah di Hotel JS Luwansa, Jakarta. Merekalah penentang Suryadharma, yang menggebu-gebu mendukung Prabowo. Kehadiran Suryadharma pada saat kampanye Partai Gerindra di Stadion Gelora Bung Karno dianggap mengempiskan perolehan suara PPP pada pemilihan legislatif.

Setelah Yasin diringkus, hasil Rapat Pimpinan Nasional PPP, yang berakhir Senin dinihari pekan lalu, sudah bisa ditebak. Dua puluh dewan pengurus wilayah mendukung Prabowo, tiga abstain, dan sisanya mendukung Jokowi. Tak ada lagi riak di tubuh PPP sampai tersiar kabar bahwa Prabowo akan menggandeng Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden. "Belum final. Tapi Hatta kandidat terkuat," ujar Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Gerindra.

Ketua Harian Majelis Syariah PPP Nur Iskandar kaget nama Hatta muncul di tengah jalan. Menurut dia, pengurus partai menjatuhkan pilihan ke Prabowo karena ada kabar bahwa Ketua Dewan Pembina Gerindra itu bakal menggaet kader PPP sebagai calon wakil presiden. Di tengah jalan, Prabowo diberitakan memilih Hatta. Nur mengatakan Hatta berat untuk diusung karena bukan kader Nahdlatul Ulama. "Tak akan laku dijual."

Ketua PPP Ahmad Dimyati Natakusumah menyatakan persoalannya bukan sekadar Hatta kader Muhammadiyah. Dia mengatakan duet Prabowo-Hatta semestinya dibicarakan dulu dengan partai koalisi pengusung. "Kami tak mau dicocok hidung," ujarnya. Seharusnya, kata dia, Prabowo mengajak PPP dan Partai Keadilan Sejahtera, juga penyokong Prabowo, berbicara secara terbuka.

Di level elite, Hatta sebenarnya sudah berbicara dengan Suryadharma. Sepulang dari Istana untuk pamit dari kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Selasa pekan lalu, Prabowo dan Hatta bertamu ke rumah Suryadharma. Suryadharma kabarnya tak keberatan Hatta menjadi pendamping Prabowo. "Kami tak mempermasalahkan siapa cawapresnya," ujar Romahurmuziy.

Hatta Rajasa membenarkan sering berbicara soal koalisi dengan PPP. Namun ia menyangkal melobi PPP dan PKS untuk mendukungnya. Fadli Zon memastikan pendamping Prabowo hasil pembicaraan bersama anggota koalisi.

Anton Septian, Amri Mahbub, Prihandoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus