Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Prabowo Itu Reformis

19 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH menyatakan mundur dari jabatan Menteri Koordinator Perekonomian dan disibukkan oleh urusan koalisi, Hatta Rajasa mengatakan pikiran dan badannya kerap tak menyatu. "Kadang sedang makan tapi pikiran di tempat lain," ujarnya. Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu meninggalkan Kabinet Indonesia Bersatu untuk menjadi calon wakil presiden Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Awalnya, Hatta ingin bergabung ke kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang telah mencalonkan Joko Widodo. Ia berharap kedekatan hubungan dengan almarhum Taufiq Kiemas—antara lain karena sama-sama berasal dari Palembang—bisa memuluskan jalan koalisi dengan partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu.

Sebagai menteri sekaligus besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Hatta juga pernah berusaha merekatkan hubungan Ketua Umum Partai Demokrat itu dengan Megawati. Kedua tokoh terpisah jarak politik sejak 2004, ketika sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan kabinet Megawati, Yudhoyono mencalonkan diri menjadi presiden. "Jika keduanya bertemu, saya tak repot seperti ini," katanya.

Hatta memutuskan bergabung dengan Gerindra setelah lampu hijau dari partai Banteng tak kunjung menyala. Secara formal, melalui rapat kerja nasional, Selasa pekan lalu, PAN menyorongkannya sebagai calon wakil presiden kepada Prabowo. Toh, keputusan itu tak juga melegakannya.

Sehari setelah menyatakan mundur dari kabinet, Hatta hampir saja mencoret-coret daftar revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2014 yang sebentar lagi dibahas Dewan Perwakilan Rakyat. "Saya tiba-tiba sadar, saya bukan menteri lagi," katanya kepada Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Agustina Widiarsi, Bagja Hidayat, dan Wayan Agus Purnomo dari Tempo, yang menemuinya di rumahnya di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, Jumat pekan lalu.

Mengapa akhirnya Partai Amanat Nasional berkoalisi dengan Gerindra?

Ini pilihan, mengkompromikan keinginan dan realitas, tapi tak mengorbankan prinsip. Februari lalu, ada survei untuk melihat seberapa besar PAN mendapat dukungan. Dari survei itu juga terlihat para pemilih PAN ingin memilih Prabowo Subianto. Mungkin karena banyak interaksi dalam pemilihan kepala-kepala daerah.

Tak ada masalah dengan perbedaan platform?

Tak ada hambatan. Buat saya, ideologi partai sudah selesai. Pancasila itulah ideologi partai. Itu yang mengaitkan kami. Dari situ, ada dorongan juga dari kawan-kawan untuk berkoalisi dengan Gerindra. Mereka sampaikan sebelum rapat kerja nasional Rabu kemarin.

Sebelum memutuskan berkoalisi dengan Gerindra, bukankah komunikasi lebih banyak dengan PDIP?

Ini memang tak mudah. Saya dekat dengan Pak Taufiq Kiemas karena sama-sama berasal dari Palembang. Dengan Mbak Puan Maharani juga sering bertemu. Saya anggap mereka bagian keluarga. Sama seperti dengan Pak Susilo Bambang Yudhoyono, tapi PAN tak bersama-sama dalam koalisi dengan Demokrat.

Sudah bertemu dengan Megawati Soekarnoputri?

Sudah, sebelum beliau ke Tokyo. Kami membicarakan persoalan bangsa ke depan. Saya katakan dulu Bung Karno memerintah dengan melibatkan Muhammadiyah (organisasi pendukung PAN—Red.). Tapi kami tidak spesifik membicarakan soal koalisi atau pasangan presiden-wakil presiden. Ibu Mega hanya tanya kapan Rakernas PAN yang memutuskan arah koalisi.

Jadi, berkoalisi dengan Prabowo itu setelah ditolak Megawati?

Oh, tidak. Kalau seperti itu, nanti bisa diterjemahkan karena di sana mendapat sedikit maka bergabung ke sini. Tidak begitu. Ini karena partai memutuskan berkoalisi dengan Prabowo. Sampai saat ini, saya masih berkomunikasi baik dengan Puan Maharani.

Artinya, Anda sudah final berkoalisi dengan Prabowo?

Apa arti final? Semua masih bisa berubah. Saya baca pernyataan partai anggota koalisi yang belum sreg jika saya yang menjadi pendamping Prabowo. Final itu jika Prabowo sudah datang ke Komisi Pemilihan Umum menyerahkan dokumen pendaftaran. Tak ada yang bisa dipastikan dalam dinamika politik.

Apa yang bisa membatalkan posisi Anda sebagai calon wakil presiden Prabowo?

Segala kemungkinan bisa terjadi. Misalnya partai koalisi lain menginginkan calon wakil presiden yang lain. Saya tak mengatakan saya lebih baik dibanding mereka. Tapi, insya Allah, saya orang baik.

Tapi Anda sudah telanjur berhenti dari jabatan Menteri Koordinator Perekonomian….

Ada etika yang harus saya jaga. Ketika partai sudah menentukan menjadi calon wakil presiden, saya tak bisa lagi menjadi pejabat publik.

Jika bukan Anda yang terpilih sebagai calon wakil presiden, apakah PAN akan mencabut dukungan?

Saya serahkan kembali ke partai. Rakernas partai kan cuma sehari, tak jadi masalah. Saya mesti menjaga etika.

Menurut Partai Persatuan Pembangunan, Hatta tak laku dijual sebagai calon wakil presiden karena bukan nahdliyin….

Pada akhirnya yang memutuskan Prabowo sendiri. Kalau besok Prabowo mengatakan, "Pak Hatta, please, partai menginginkan yang lain," dengan senang hati saya terima. Tidak ada masalah. Akan saya laporkan kepada partai. Apakah pantas seorang gadis memaksa seorang lelaki meminangnya?

Setelah resmi menjadi calon wakil presiden, apa yang akan Anda lakukan untuk merangkul nahdliyin?

Pendapat PPP itu pendapat individu. Ibu saya juga berasal dari kalangan nahdliyin.

Sudah membicarakan pembagian kerja jika nanti terpilih?

Kami sudah berbicara jauh. Kami berbicara tentang rencana-rencana ke depan. Saya baca platform Prabowo. Saya katakan tak perlu menasionalisasi perusahaan multinasional. Sekali kita melakukan itu, orang akan menggugat ke arbitrase. Yang bisa kita lakukan dan harus adalah renegosiasi untuk mencapai keadilan.

Anda tak terganggu oleh masa lalu Prabowo yang terlibat penculikan aktivis pada 1998?

Saya melihat proses itu sudah selesai. Ada yang dihukum dan Prabowo pernah menjadi calon wakil presiden pada 2009. Sekarang dibuka kembali, itu sah-sah saja.

Ini juga soal citra: PAN kan anak kandung reformasi?

Intinya begini, saya tidak akan mengubah karakter PAN sebagai partai reformis. Dalam kapasitas saya sebagai apa pun, itu ciri PAN. Saya melihat tidak ada satu hal pun kesalahan hukum. Kalau tidak, Pak Prabowo tak bisa mencalonkan diri pada 2009. Itu saja. Saya lihat apa yang dipikirkannya ke depan itu baik, cocok. Baik nasionalisme, masyarakat, persaingan, maupun budaya.

Menurut Anda, Prabowo seorang reformis?

Menurut saya, reformis. Orang itu kan berubah dalam melihat masa depan. Kalau dianggap orang Orde Baru, semua Orde Baru. Saya tak bisa selesai sekolah kalau tak ada zaman Pak Harto.

Karena catatan pelanggaran hak asasi, Prabowo tak bisa masuk ke beberapa negara. Bagaimana jika nanti terpilih jadi presiden?

Saya kira belum ada dalam sejarah seorang presiden terpilih tak bisa masuk ke negara lain. Apakah nanti akan warm welcome, itu soal lain. Indonesia negara besar untuk diabaikan oleh Amerika Serikat sekalipun.

Apa ada pembicaraan rencana pembagian tugas, misalnya Anda mengurus ekonomi?

Strong point bisa begitu, walaupun konstitusi mengatakan wakil presiden membantu presiden. Dalam sejarah yang kita baca, Pak Harto banyak memberikan tugas pengawasan.

Pembicaraan dengan Prabowo menyinggung soal pembagian biaya kampanye?

PAN melarang pencalonan bupati dengan menyetor mahar. Siapa pun yang melakukan itu saya pecat. Buat saya, itu prinsip. Silakan tanya, PAN enggak minta apa-apa. Kami tak membicarakan berapa menteri.

Betulkah Anda sepakat akan membayar biaya kampanye Rp 1,7 triliun agar bisa menjadi calon wakil presiden?

Sama sekali tak ada pembicaraan itu. Kalau saya dibebani itu, lebih baik tidak, saya enggak sanggup. Tidak betul itu. Kalau dibebani, saya akan mundur.

Tapi kampanye bukannya butuh biaya?

Seadanya saja sebagaimana saya di partai. Saya akan menggerakkan infrastruktur partai dan relawan. Pemilihan presiden berbeda dengan legislatif. Legislatif kekuatannya calon legislator. Mereka yang membiayai kampanye.

Betulkah pendanaan kampanye Anda didukung Muhammad Reza Chalid, pebisnis minyak?

Itu rumor yang berlebihan. Sama sekali tak ada. Lagi pula, siapa yang mau mengeluarkan uang triliunan? Apa ada orang segila itu untuk sesuatu yang tak jelas? Kalau ada yang mau, saya larang. Buat apa? Bangun saja masjid dan gereja. Saya mau bikin rumah baca dan rumah pintar. Saya lebih senang itu.

Anda berteman dengan dia?

Kami sama-sama di Majelis Dzikir. Tak ada urusan bisnis.

Sekaya apa Anda saat ini?

Saya mantan pengusaha minyak. Ketika saya menjadi anggota DPR, semua bisnis saya lepas semua. Pada 1999, ekonomi sedang tak baik, banyak rig saya yang tak jalan. Sekarang bisnis itu dijalankan anak saya. Kalau saya, cukuplah. Kalau harta kekayaan dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak 1999 sampai sekarang tak berubah. Paling-paling 1999 saya tulis Rp 1 miliar.

Sekarang harta Anda mencapai Rp 100 miliar?

Ha-ha-ha…. Rp 30 miliar saja tak tembus.

Waktu mengambil keputusan berkoalisi dengan Gerindra, Anda memberi tahu Yudhoyono?

Saya tentu menyampaikan bahwa ini pilihan karena tak punya waktu lagi.

Tak ada pembicaraan dengan Yudhoyono untuk membentuk poros baru?

Saya harus berbicara dengan partai. Sebelum mengambil keputusan, saya menunggu semua opsi. Saya menunda rapat kerja nasional hingga dua kali untuk mengambil ruang keputusan. Saya kira Pak SBY terikat dengan konvensi dan itu menjadi beban tersendiri.

Apakah karena poros ketiga tak ada tokohnya?

Kami tak punya banyak waktu. Kami dibatasi itu. Waktu yang tersedia juga pressure sendiri buat partai politik. Tak mudah juga membangun poros baru ketika setiap ketua partai ingin menjadi tokohnya. Feeling saya, jika tak membentuk poros baru, Demokrat tak akan mencalonkan siapa pun.

Jadi, sebelum mengambil keputusan, Anda berbicara dengan Yudhoyono?

Tidak. Saya menghormati beliau sebagai ketua partai yang memiliki sikap partai. Saya tak ingin urusan presiden bercampur dengan unsur besan.

Tapi, setelah pemilihan legislatif, ada pembicaraan Anda dengan Yudhoyono?

Itu Mas Amien Rais yang menggagas poros Indonesia Raya. Tapi tak ada hubungan dengan Gerindra. Juga bukan untuk partai-partai Islam.

Anda pernah bertemu dengan Yudhoyono di Cikeas?

Itu lebih pada soal pergantian saya sebagai Menteri Koordinator Perekonomian.

Jika gagal menjadi wakil presiden, PAN akan jadi oposisi?

Kalaupun kami di luar, kami tak akan menghambat pemerintahan. Kita tak mengenal oposisi. Dalam parlementer, oposisi itu kabinet bayangan. Sistem kita bukan sistem parlementer, tak mungkin parlemen menjatuhkan presiden pilihan rakyat. Kita harus mendukung pilihan rakyat.

Menurut Anda, Jokowi cukup mampu menjadi presiden?

Orang bisa belajar cepat. Saya selalu berpikiran positif kepada siapa pun. Kalau orang diberi kesempatan, dia bisa. Secerdas apa pun orang, kalau tak diberi kesempatan dan diganggu, tak bisa. Kalau sudah sampai ke titik itu, ini putra terbaik bangsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus