Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK satu pun wartawan yang sejak pagi meriung di depan rumah Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar 27, Jakarta Pusat, tahu kedatangan tamu penting, Senin malam tiga pekan lalu. Hanya ditemani ajudan, Hatta Rajasa menyelinap lewat pintu samping yang tak berpenjaga. Sempat lupa menenteng oleh-oleh kain untuk tuan rumah, Hatta disambut anak perempuan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Puan Maharani, di teras.
Hari itu, sejak pagi Megawati menerima banyak tamu. Antara lain bekas Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Hamzah Haz bersama Wakil Ketua Umum Suharso Monoarfa, yang datang siang harinya untuk mengukuhkan dukungan bagi Joko Widodo, calon presiden dari PDIP. Lima hari sebelumnya, PPP mencabut dukungan kepada Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerindra.
Penjajakan koalisi sedang riuh rendah. Hanya Partai NasDem yang sudah pasti berkongsi dengan PDIP tanpa menyorongkan calon wakil presiden. Partai-partai lain masih menghitung untung-rugi menyalurkan suara kepada dua calon presiden terkuat itu. Maka kedatangan Hatta, Ketua Umum Partai Amanat Nasional, seperti mengukuhkan tambahan koalisi bagi PDIP. "Saya ketua partai nonkoalisi pertama yang diterima Ibu Mega," kata Hatta, Jumat pekan lalu.
Ketua-ketua partai lain antre bertemu dengan Mega, tapi selalu ditolak. Bahkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono tak berhasil mengajaknya bertemu untuk membicarakan koalisi pemilihan presiden. Jusuf Kalla sekalipun, tokoh Golkar yang paling berpeluang menjadi pendamping Joko Widodo menurut banyak survei dan penilaian tim internal PDIP, hingga akhir pekan lalu belum bertemu dengan Mega.
Bagi Hatta, pertemuan itu seperti gong akhir dari serangkaian pembicaraannya dengan Puan Maharani, Ketua Badan Pemenangan PDIP, sejak sebelum pemilihan legislatif 9 April lalu. Keduanya kerap bertemu di rumah Hatta di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, membicarakan kemungkinan Menteri Koordinator Perekonomian itu menjadi calon wakil Jokowi. Dua hari sebelum pemilihan legislatif, misalnya, kedua partai sepakat berkoalisi yang peresmiannya menunggu restu Megawati, yang punya prerogatif menentukan calon wakil presiden dari partainya.
Hatta juga bukan orang asing bagi keluarga Megawati. Ia berkawan dengan Taufiq Kiemas (almarhum), suami Megawati, karena sama-sama berasal dari Palembang. Dalam percakapan informal, Puan memanggil laki-laki berambut perak 60 tahun itu dengan sebutan "Om". Maka percakapan ketiganya malam itu berlangsung gayeng. "Kami mengobrol panjang soal cita-cita Bung Karno, konsep pembangunan semesta berencana, hingga situasi politik," ujar Hatta.
Soal situasi politik, menurut Hatta, Megawati bertanya kapan keputusan Rapat Kerja Nasional PAN yang akan mengumumkan arah koalisi partai itu. Hatta menjawab rapat akan digelar setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan perolehan suara partai pada 9 Mei. "Kami tak spesifik membicarakan kursi calon wakil presiden," katanya.
Namun seorang sumber yang mengetahui pertemuan itu mengatakan Megawati belum akan memutuskan siapa orang yang ia pilih untuk mendampingi Jokowi. Megawati hanya menyilakan PAN berkoalisi dengan partainya dengan kemungkinan mendapat kursi menteri. Hingga akhir pekan lalu, masih tersisa dua nama calon wakil presiden dari kubu PDIP, yakni mantan wakil presiden Jusuf Kalla dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad.
Obrolan selama satu setengah jam itu berakhir antiklimaks. Dengan kalimat lain, Megawati telah menolak Hatta sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Jokowi dalam pemilihan 9 Juli nanti. Sekadar koalisi bukan opsi bagi Hatta karena partainya sudah menyorongnya menjadi calon presiden atau wakil presiden di pemilihan tahun ini. Hatta tak berminat menjadi menteri lagi.
Hingga Hatta pamit, Megawati tak kunjung memberi sinyal terang baginya.
SEHARI setelah ditolak Megawati, Hatta Rajasa bergerak cepat. Ia menemui Prabowo Subianto. Dengan Prabowo, Hatta juga sudah kerap bertemu membicarakan kemungkinan berkoalisi dalam pemilihan presiden. Utusan-utusan PAN dan Gerindra bahkan hampir menyepakati tawaran dan permintaan kedua partai. Namun belum jelasnya partai lain menentukan koalisi membuat mereka menahan deklarasi.
Menurut Viva Yoga Mauladi, Ketua Badan Pemenangan PAN, partainya tak berminat membentuk poros baru dengan mengusung calon ketiga, selain Jokowi dan Prabowo. PAN, katanya, "Lebih senang lirik-lirikan dengan Jokowi dan Prabowo." Ketika PDIP tak segera memberi lampu hijau, opsinya tinggal satu, yakni bergabung dalam koalisi dengan Gerindra.
Hatta beralasan membentuk poros baru bersama partai yang belum menyatakan koalisi, seperti Partai Hanura dan Demokrat, susah diwujudkan karena waktunya mepet. Pendaftaran calon presiden yang berakhir pada Selasa pekan ini tak cukup memberi waktu bagi partai-partai itu buat mengusung nama baru calon presiden. Pilihan realistis adalah bersanding dengan Prabowo.
Pertemuan-pertemuan elite kedua partai digeber sejak awal Mei lalu. Beberapa kali Hatta bertemu dengan Prabowo membicarakan pembagian tugas dan tawaran-tawaran dalam koalisi. "Tapi tak ada soal pembagian menteri," ujarnya.
Draf perjanjian keduanya, kata Hatta, cenderung menyepakati program serta visi dan misi kedua partai. Misalnya soal nasionalisasi perusahaan-perusahaan multinasional yang menjadi janji dan program Prabowo. Hatta menyatakan tak setuju karena, jika dilaksanakan, program itu akan menimbulkan gugatan ke pemerintah Indonesia di Badan Arbitrase Internasional. Hatta menyatakan memilih menegosiasikan ulang kontrak-kontrak bisnis dengan perusahaan internasional agar "lebih adil untuk Indonesia". Gerindra setuju terhadap usul itu.
Meski beberapa poin sudah disepakati, draf perjanjian itu tak diteken dalam sekali pertemuan. Sebab, Gerindra juga masih menjajaki koalisi dengan Golkar. Sebelum bertemu dengan Hatta pada Selasa siang tiga pekan lalu, Prabowo bertandang ke rumah Aburizal Bakrie di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Seusai pertemuan, keduanya menggelar konferensi pers. Aburizal, 67 tahun, menyebut Prabowo, 62 tahun, yang menjadi rivalnya dalam konvensi Partai Golkar 2004, sebagai "adik saya…".
Empat hari kemudian, Aburizal balas mengunjungi "adik"-nya itu di rancanya yang luas di Bukit Hambalang, Bogor. Di sana, Aburizal menunjukkan "kemesraan" dengan menunggang kuda milik Prabowo. Namun, menurut dia, kunjungan itu tak membahas spesifik soal rencana koalisi. Aburizal mengatakan ia masih calon presiden dari Golkar, bukan calon pendamping Prabowo.
Pertemuan krusial keduanya terjadi dua hari kemudian, pada 7 Mei, di rumah Nirwan Bakrie, adik Aburizal. Bersama adiknya, pengusaha Hashim Djojohadikusumo, Prabowo bertemu dengan Aburizal untuk mengonkretkan koalisi pemilihan presiden. Menurut seorang petinggi Golkar, dua kakak-adik ini tak cuma membahas posisi wakil presiden, tapi juga soal mahar politik. Prabowo, menurut sejumlah sumber, meminta Aburizal mengganti biaya pemilihan legislatif yang telah dikeluarkannya sebesar Rp 3 triliun.
Wakil Bendahara Umum Golkar Bambang Soesatyo mendapat cerita serupa soal mahar ini. Dari cerita yang didengar Bambang, Aburizal menolak permintaan itu. Prabowo kemudian menurunkan nilainya menjadi Rp 1,7 triliun dengan syarat Golkar mengajukan tiga nama calon wakil presiden yang akan ia pilih. "Itu memang permintaan Pak Hashim," Setya Novanto, Bendahara Golkar, menguatkan pernyataan koleganya itu kepada Muhammad Muhyiddin dari Tempo.
Pertemuan Rabu malam dua pekan lalu itu pun bubar tanpa kesepakatan. Dua hari kemudian, Hashim mengatakan Prabowo tak cocok dengan Aburizal. "Wakil presiden yang pas dengan Prabowo itu Hatta Rajasa," katanya. Usut punya usut, rupanya Prabowo sudah deal dengan Hatta soal koalisi yang mereka teken sehari sebelumnya, alias sehari setelah gagal mencapai kata sepakat dengan Aburizal.
Sumber di lingkup internal PAN menyebutkan permintaan kepada Hatta juga mirip dengan yang dilontarkannya kepada Aburizal soal uang mahar. Namun, karena Hatta juga menolak, tawaran turun menjadi bagi-bagi beban pembiayaan pemilihan: 60 persen untuk Gerindra dan sisanya ditanggung PAN. Ditanyai soal ini, Hatta menyatakan, "Saya pastikan tak ada pembicaraan soal uang atau persentase cost sharing. Jika ada permintaan seperti itu, lebih baik saya mundur."
Prabowo tak menjawab ketika dimintai konfirmasi soal permintaan mahar kepada Aburizal dan Hatta saat menghadiri deklarasi dukungan PPP—setelah elite-elite partai ini rujuk dan secara resmi PPP mendukung pencalonan Prabowo—Jumat pekan lalu. Hashim berjanji akan menjawab pertanyaan Amri Fathon dari Tempo itu setelah deklarasi. Namun seusai deklarasi pun ia malah meminta Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon menanggapinya. "Golkar belum sepakat bukan berarti tak jadi berkoalisi," ujarnya.
Aburizal menjawab pernyataan mengambang Gerindra itu dengan bertemu dengan Megawati Soekarnoputri. Rapat pimpinan Golkar sepakat mengalihkan dukungan kepada Jokowi dengan syarat calon wakilnya Puan Maharani. Meski mengantongi 14 persen suara legislatif, Golkar tak akan mengusung Aburizal sebagai calon presiden karena elektabilitasnya cekak.
Menurut Bambang Soesatyo, dari banyak pertemuan politik dengan Gerindra, Golkar sebenarnya tak punya perbedaan mencolok dan tinggal teken untuk koalisi. Baik dari segi platform partai maupun segmentasi pemilih, kedua partai seinduk ini cocok. "Lebih strategis dengan Golkar karena suaranya lebih besar daripada PAN," ujarnya.
Karena itu, kata Bambang, gagalnya koalisi dengan Gerindra lebih karena persoalan teknis, seperti tak ada kesepakatan mahar politik, yang ceritanya beredar di kalangan elite Golkar. Pemilihan presiden, menurut dia, akan jauh lebih mahal ketimbang pemilihan legislatif karena calonnya tinggal empat-enam orang. "Perkiraan biayanya bukan lagi ratusan miliar, tapi triliunan," katanya. "Ini harus dipikul bersama calon presiden dan wakilnya."
HENGKANGNYA Golkar dari Gerindra membuat posisi Hatta Rajasa menguat sebagai pendamping Prabowo Subianto. Empat hari setelah bersepakat dengan Prabowo, pada Selasa pekan lalu Hatta menyatakan mundur dari kursi Menteri Koordinator Perekonomian. Hari itu adalah batas akhir para menteri untuk mundur dari jabatannya jika ingin mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sesuai dengan tafsiran Undang-Undang Pemilihan Presiden.
Esoknya, Hatta menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk pamit mundur dan menyarankan penggantinya. Yudhoyono setuju Chairul Tanjung, pemilik Grup CT Corp, mengisi posisi Menteri Koordinator Perekonomian yang akan bertugas empat bulan ke depan. "Kepada saya, Prabowo menyatakan serius maju sebagai calon presiden bersama Hatta sebagai wakilnya," kata Yudhoyono.
Deklarasi PAN pada Rabu pekan lalu kian mengukuhkan dukungan koalisi dua partai ini. Prabowo hadir dalam rapat itu dan duduk berdampingan dengan Amien Rais, Ketua Majelis Pertimbangan PAN, yang sering disebut sebagai Tokoh Reformasi 1998. Sejak awal, Amien mendukung Hatta bersanding dengan Prabowo.
Rapat Kerja Nasional PAN itu menghasilkan tiga poin: berkoalisi dengan Gerindra, mendukung Prabowo sebagai calon presiden, dan mengusung Hatta sebagai wakilnya. "Seluruh pimpinan wilayah PAN bulat mendukung kesimpulan ini," kata Viva Yoga. Faksi-faksi yang dulu pro-Jokowi beralih mendukung Prabowo.
Dalam koalisi, posisi Hatta belum aman betul. Dua partai lain yang sudah menyatakan hampir pasti berkoalisi dengan Gerindra, PPP dan Partai Keadilan Sejahtera, mempersoalkan keberadaan Hatta sebagai wakil Prabowo. Beberapa elite PPP menilai Hatta, yang berasal dari Muhammadiyah, tak layak jual di kalangan Nahdlatul Ulama, yang diklaim merupakan 30 persen jumlah pemilih. Soalnya, Partai Kebangkitan Bangsa, yang menjadi partai NU, sudah menyatakan berkoalisi dengan PDIP mengusung Joko Widodo.
Hatta Rajasa pasrah pencalonannya dipersoalkan partai lain. Ia menyerahkan keputusan memilih calon wakil presiden kepada Prabowo. Untuk mengantisipasi berpalingnya massa Nahdlatul Ulama itu, deklarasi pasangan Prabowo-Hatta digelar di Surabaya, Jawa Timur, provinsi yang paling banyak dihuni nahdliyin.
Bagja Hidayat, Rusman Paraqbueq, Kartika Candra, Fransisco Rosarians
Satu Lawan Satu
Tidak ada partai yang bisa mengusung calon presiden sendiri berdasarkan hasil pemilihan umum legislatif 9 April lalu. Pasangan calon presiden dan wakilnya mesti disokong partai atau gabungan partai dengan perolehan sekurang-kurangnya 25 persen suara atau 112 kursi Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam jajak pendapat yang dilakukan pekan keempat April, dua lembaga survei memperkirakan Jokowi unggul daripada Prabowo dalam pemilihan.
Persentase
Kursi
Joko Widodo
Pengusung (%):
(Ditambah)
Total 64,91
Prabowo
Pengusung (%):
(Ditambah)
Total 62,92
SMRC
Tanpa wakil
Berpasangan
Pilihan Presiden
Partai | Suara | Jokowi* | Prabowo* |
PDIP | 18,95% | 76,3% | 9,5% |
Golkar | 14,75% | 27,3% | 20,4% |
Gerindra | 11,81% | 22,1% | 68,7% |
Demokrat | 10,19% | 43,1% | 27,1% |
PKB | 9,04% | 36,8% | 26,3% |
PAN | 7,59% | 39,8% | 24,8% |
NasDem | 6,72% | 42,9% | 25,4% |
PKS | 6,79% | 41,5% | 26,4% |
PPP | 6,53% | 41,4% | 32,2% |
Hanura | 5,26% | 44,6% | 31,3% |
PBB | 1,46% | 47,4% | 26,3% |
PKPI | 0,91% | 022,2% | 33,3% |
*Berdasarkan hasil exit poll pemilihan legislatif 9 April 2014
Indikator Politik
Tanpa wakil
Berpasangan
Wakil terkuat
Pilihan Presiden
Partai | Suara | Jokowi | Prabowo |
PDIP | 18,95% | 76% | 16% |
Golkar | 14,75% | 38% | 18% |
Gerindra | 11,81% | 24% | 72% |
Demokrat | 10,19% | 39% | 36% |
PKB | 9,04% | 47% | 25% |
PAN | 7,59% | 47% | 30% |
NasDem | 6,72% | 51% | 33% |
PKS | 6,79% | 33% | 41% |
PPP | 6,53% | 39% | 43% |
Hanura | 5,26% | 51% | 25% |
PBB | 1,46% | 30% | 0 |
PKPI | 0,91% | 0 | 0 |
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, Saiful Mujani Research 7 Consulting, Indikator Politik , Naskah: Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo