Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUIT itu ditebar hampir tujuh tahun lalu. Tapi politikus senior Partai Golkar, Anton Lesiangi, masih mengingat tumpukan lembaran Rp 50 ribu di kamar tempatnya menginap di area Musyawarah Nasional Partai Golkar di Hotel Westin Nusa Dua, Bali. ”Uang dibungkus amplop cokelat rapi,” katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Pada musyawarah yang berlangsung Desember 2004 itu, Anton merupakan anggota tim pemenangan Jusuf Kalla. Baru dua bulan resmi menjadi wakil presiden, mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla pada pemungutan suara mengalahkan Akbar Tandjung, ketua umum sebelumnya. Permainan uang di hajatan politik lima tahunan ini memberi konfirmasi atas laporan diplomat Amerika Serikat di Jakarta, yang kemudian dibocorkan WikiLeaks, dua pekan lalu.
Memperoleh bocoran itu, dua koran Australia—Sydney Morning Herald dan The Age—menulis bahwa tim Jusuf Kalla menawarkan setidaknya Rp 200 juta untuk setiap pengurus daerah Golkar pada Musyawarah Nasional 2004. Adapun setiap pengurus provinsi menerima Rp 500 juta atau lebih. Para pemegang hak suara itu disebutkan menerima uang muka dan memperoleh sisanya beberapa jam setelah pemungutan suara memilih ketua umum.
Anton Lesiangi ketika itu merupakan koordinator penggalangan dukungan buat Kalla untuk pengurus wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Bersama anggota tim lainnya, dukungan dikumpulkan melalui pelbagai pertemuan. Pada awal musyawarah, tim Jusuf Kalla juga harus bersaing dengan tim Wiranto, Agung Laksono, dan Surya Paloh. ”Semangat kami memang asal bukan Akbar Tandjung ketika itu,” kata Indra Bambang Utoyo, dulu anggota tim sukses Wiranto.
Wiranto dan Surya Paloh ternyata tak memenuhi syarat sebagai calon ketua umum. Wiranto—kini Ketua Umum Partai Hanura—memilih berkongsi dengan Akbar Tandjung. Adapun Surya Paloh dan Agung Laksono mendukung Jusuf Kalla. Pada pemungutan suara, Jusuf Kalla mengungguli Akbar Tandjung dalam dua putaran. Pada putaran kedua itu, Jusuf Kalla meraup 323 suara, jauh mengungguli Akbar—yang hanya memperoleh 156 suara.
Setelah pemungutan suara yang berlangsung sejak Sabtu tengah malam hingga Ahad dinihari, Anton Lesiangi ingat memanggil para pengurus itu. Mereka lalu berkumpul di cottage tempat Anton menginap di kompleks Hotel Westin. ”Kamar saya sampai penuh,” tuturnya.
Di ruang itulah Anton membagikan ”uang tanda silaturahmi”. Menurut dia, setiap ketua pengurus daerah kota atau kabupaten memperoleh Rp 100 juta. Pengurus provinsi menerima bagian masing-masing Rp 250 juta. Semuanya uang tunai lembaran Rp 50 ribu, dibungkus amplop cokelat rapi. Anton menyatakan duit bersumber dari Jusuf Kalla plus sokongan pengusaha Aburizal Bakrie—ketika itu Menteri Koordinator Perekonomian. Dengan minimal sogokan Rp 250 juta per suara, diperlukan setidaknya Rp 80 miliar untuk meraih 323 suara!
Buat Ridwan Hisyam, dulu anggota tim pemenangan Akbar Tandjung, informasi WikiLeaks yang ditulis Sydney Morning Herald dan The Age tak membuatnya kaget. Sebagai Ketua Golkar Jawa Timur, Ridwan ketika itu memimpin musyawarah bersama lima politikus lain. Ia menyatakan proses pemilihan ketua umum memang dipenuhi tebaran uang. Sampai-sampai ada cek pelawat yang ditemukan pelayan di kamar seorang pengurus daerah Golkar.
Ridwan pun mengingat, seorang wartawan menemukan uang ratusan juta rupiah dalam amplop tercecer di arena musyawarah. Ia mengatakan permainan uang dalam pemilihan ketua umum sebenarnya hal biasa. Yang tidak biasa itu jika uang yang ditebar berlebihan dan jumlahnya ”tidak masuk akal”. ”Saya dengar di Bali sampai kurang uang tunai karena hampir semua cek pelawat diuangkan di sana,” ujarnya.
Perang uang membuat dukungan untuk Akbar gembos. Tiga hari sebelum pemilihan ketua umum, kata Ridwan, Akbar masih didukung 70 persen pengurus. Ketika itu, pertanggungjawaban Akbar sebagai ketua umum periode 1999-2004 diterima secara aklamasi. Para peserta musyawarah bahkan memberi tepuk tangan sambil berdiri ketika Akbar selesai membacakan pidatonya. ”Serangan fajar membuat suara Akbar tergerus,” katanya.
Anton Lesiangi pun menyebutkan permainan uang dalam pemilihan Ketua Umum Golkar merupakan sesuatu yang lumrah. Dalam putaran duit ini, kata dia, Kalla ibarat pohon yang bunganya berlimpah madu. Sedangkan para pemegang hak suara merupakan kumbang. ”Kumbang pasti mencari pohon yang berlimpah madunya,” ia bertamsil.
Seorang pengurus Golkar kabupaten di Jawa Timur terang-terangan menyatakan menerima uang dari tim sukses Kalla. ”Ini biasa dalam munas,” ujarnya. Tapi Ketua Golkar Nusa Tenggara Timur Ibrahim Agustinus Medah, yang ketika itu mendukung Kalla, menyatakan uang bukan semata-mata penentu kemenangan. ”Ingat, Jusuf Kalla saat itu wakil presiden,” katanya.
Ibrahim menyatakan menerima uang, tapi tak sebanyak yang disebutkan Anton Lesiangi. Menurut dia, uang itu hanya cukup untuk membayar hotel dan tiket pesawat buat pulang. Besarnya belasan juta rupiah, termasuk lumsum Rp 5 juta. ”Kalau benar saya terima Rp 250 juta, wah, banyak sekali,” katanya.
Jusuf Kalla tak menampik bocoran WikiLeaks. Menurut dia, duit itu habis dibagikan kepada peserta. ”Kebiasaan di Munas Golkar, ketua yang menang kemudian memberikan biaya-biaya yang wajar,” ujarnya Kamis pekan lalu.
Menurut Kalla, uang dibagikan untuk biaya hotel dan tiket peserta. Alasannya, panitia hanya menanggung biaya untuk seribu peserta. Padahal yang datang sekitar tiga ribu orang. Kekurangan ongkos itulah yang dibayar ketua umum terpilih. ”Masak yang kalah harus bayar?” katanya. ”Ini tanggung jawab ketua umum pada anak buahnya.”
Jusuf Kalla membantah membagikan uang hingga ratusan juta rupiah untuk setiap pengurus Golkar kota-kabupaten dan provinsi. Merahasiakan jumlah pastinya, ia menyatakan mendapat sumbangan dari simpatisan. ”Tak ada uang dari Aburizal, Surya Paloh, atau SBY,” katanya. Lalu Mara Satriawangsa, juru bicara Aburizal Bakrie, juga mengatakan bosnya tak mengeluarkan dana untuk membiayai Jusuf Kalla ketika itu.
Seorang mantan ”kasir” dari satu di antara lima kandidat awal memberi informasi berbeda. Ia memastikan Aburizal ikut menyumbangkan uang bagi pemenangan Jusuf Kalla. Apalagi, selain membagikan duit di arena musyawarah, tim Jusuf Kalla perlu mengguyurkan uang buat pengurus formal Golkar. ”Ada dana untuk kegiatan pengurus daerah dan ada duit juga buat pengurus daerahnya,” ujarnya. ”Artinya, info WikiLeaks masuk akal.”
Sunudyantoro, Anwar Siswadi (Bandung), Yohanes Seo (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo