Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FARIED Harianto mendadak sibuk sepanjang pekan lalu. Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur itu terbang ke Jakarta untuk meneliti kembali berkas perkara yang pernah ditanganinya 12 tahun silam.
Sebagai jaksa penyidik dan penuntut umum perkara korupsi proyek Jakarta Outer Ring Road, dia mendapat perintah meneliti ulang dokumen dan berkas perkara itu. ”Seluruh file lama saya buka kembali,” kata Faried kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Perkara korupsi yang merugikan negara Rp 1 triliun itu disidik sejak awal 1999. Dua proyek jalan tol itu dikelola PT Citra Marga Nusaphala Persada, yang sebagian sahamnya milik Siti Hardijanti Rukmana, dan PT Marga Nurindo Bhakti, milik Djoko Ramiadji, putra pengusaha kosmetik Mooryati Soedibyo.
Djoko, Tjokorda Raka Sukawati (mantan Direktur Utama PT Hutama Karya), dan Thamrin Tanjung (mantan Direktur Marga Nurindo) ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dituduh salah menggunakan dana hasil penerbitan surat utang senilai Rp 1,048 triliun plus US$ 471 juta.
Djoko akhirnya bebas karena Kejaksaan Agung menghentikan penyidikan. Tjokorda dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Thamrin dibui dua tahun.
Faried membuka satu demi satu dokumen perkara. Setiap keterangan tersangka dan saksi dibaca ulang. Tapi yang dicari tak kunjung ditemukan. ”Tidak ada saksi atau tersangka yang menyebut nama Taufiq Kiemas,” ujarnya.
Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Marwan Effendy juga bergerak. Dia membuka lagi dokumen register perkara yang pernah masuk Kejaksaan Agung. Ia mencari nama yang sama, Taufiq Kiemas. ”Tapi tidak ditemukan perkara yang menyangkut nama Pak Taufiq,” katanya.
Kesibukan tambahan para jaksa itu datang setelah terbit laporan dua koran Australia: The Age dan Sydney Morning Herald, 11 Maret lalu. Memperoleh dokumen bocoran kawat-kawat diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dari WikiLeaks, dua koran itu menulis sejumlah isu sensitif bagi Jakarta.
The Age bahkan memajang judul provokatif: ”Yudhoyono ’Abused Power’: Cables accuse Indonesian President of corruption”. Sedangkan Sydney Morning Herald membikin judul ”Corruption Allegations Against Yudhoyono”. Nama Taufiq disebut dalam laporan itu.
Bocoran kawat itu menyatakan pada Desember 2004 (ketika itu duta besar-nya B Lynn Pascoe), Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Hendarman Supandji, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, menghentikan penyelidikan perkara korupsi yang melibatkan Taufiq. Ditulis, Taufiq memperoleh uang dari proyek Jakarta Outer Ring Road, proyek rel ganda Merak-Banyuwangi, proyek jalan trans-Kalimantan, dan proyek jalan trans-Papua.
Dalam bocoran kawat, diplomat Amerika dikutip mengatakan memperoleh informasi dari Tiopan Bernhard Silalahi, kini anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Ia disebutkan memberi informasi bahwa permintaan penghentian kasus yang melibatkan Taufiq langsung datang dari Yudhoyono.
T.B. Silalahi membantah keras isi dokumen itu. ”Itu tidak benar,” katanya. Yudhoyono tak kalah kaget. ”Presiden tidak senang dengan berita penuh kebohongan yang dimuat Sydney Morning Herald dan The Age,” ujar Daniel Sparringa, anggota staf khusus Presiden. Taufiq Kiemas menolak menjawab, sedangkan Megawati Soekarnoputri mengatakan, ”Saya tenang saja.”
Sumber Tempo mengatakan tuduhan adanya intervensi dalam kasus Taufiq Kiemas terlihat janggal. Sebab, pada 2004, hubungan Yudhoyono dengan Taufiq belum normal. ”Masih ada nuansa persaingan setelah pemilu,” ujar seorang jaksa. ”Tidak mungkin Presiden meminta menghentikan.”
Walau kebenaran informasi WikiLeaks tentang intervensi Presiden ke Kejaksaan Agung pada kasus Taufiq terlihat lemah, itu bukan berarti Istana tak pernah melakukannya. Seorang jaksa menyebutkan Istana berusaha menghentikan penyidikan kasus korupsi penggunaan anggaran di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Thailand, yang merugikan negara Rp 1,8 miliar, pada akhir Januari lalu. Padahal, dua bulan sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menetapkan Duta Besar Mohammad Hatta, Wakil Duta Besar Djumantoro Purbo, dan bendahara kedutaan Suhaeni sebagai tersangka.
Menurut sumber Tempo, order penghentian penyidikan perkara itu datang dari Istana. Sebab, ayah Djumantoro merupakan kolega dekat keluarga Sarwo Edhie, mertua Yudhoyono. ”Ada permintaan khusus dari Istana kepada Hendarman Supandji untuk menghentikan kasus itu,” katanya.
Semula, menurut seorang penyidik, Kejaksaan hanya akan meloloskan Djumantoro. Dua tersangka lain tetap maju ke pengadilan. Namun pilihan ini menjadi sulit karena besarnya peran Djumantoro. Sebagai kuasa pemegang anggaran, ia tidak mungkin dibebaskan sendirian. ”Akhirnya, surat penghentian perkara dikeluarkan untuk ketiga tersangka.”
Hendarman Supandji belum bisa dimintai komentar. Tempo menyambangi kediamannya di Jalan Masjid 2, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. ”Bapak sedang ke luar kota,” ujar Andi, ajudan Hendarman.
Noor Rachmad, juru bicara Kejaksaan Agung, memastikan tidak ada intervensi dalam terbitnya surat perintah penghentian penyidikan kasus tersebut. Menurut dia, keputusan itu keluar karena dugaan penyimpangan tidak terbukti dalam pengembangan penyidikan. ”Surat perintah penghentian perkara itu sepenuhnya berdasarkan fakta yuridis,” katanya.
KAWAT perwakilan Amerika Serikat yang dikirim ke Washington pasti bukan sekadar bualan diplomat negara itu. Berbagai informasi sebetulnya dikumpulkan oleh para diplomat Amerika dari beragam sumber, resmi ataupun tidak. Menurut guru besar hukum internasional, Hikmahanto Juwana, pengumpulan informasi merupakan salah satu tugas diplomat di negara ia ditempatkan.
Dalam bocoran kawat yang kemudian dipublikasikan dua koran Australia, informasi panas lain adalah hubungan Istana dengan pengusaha Tomy Winata. Di situ tertulis Tomy mencoba mendekati Ani Yudhoyono dengan menggunakan bantuan seorang pejabat senior. Diplomat Amerika mengatakan memperoleh informasi itu dari seseorang bernama Yahya Asagaf, intel senior di Badan Intelijen Negara.
T.B. Silalahi ditulis kedua harian itu sebagai penghubung antara Yudhoyono dan Tomy Winata. Mengutip keterangan diplomat, WikiLeaks menulis T.B. Silalahi dipasang sebagai ”jalur masuk dana dari Tomy ke Yudhoyono”.
Sumber Tempo membenarkan peran Silalahi dalam membuka jalan masuk Tomy ke lingkaran Yudhoyono. Sejak Yudhoyono terpilih menjadi presiden pada 2004, upaya membuka jalan terus dilakukan Silalahi. ”Namun tidak langsung berhasil, karena Yudhoyono menilai Tomy dekat dengan Megawati,” katanya. ”Baru menjelang akhir masa jabatan pertama Yudhoyono, Tomy mulai sedikit bisa merapat.”
Dia menjelaskan hubungan T.B. Silalahi dengan Tomy amat dekat. Kedekatan itu pertama kali terjalin ketika Silalahi menjadi Ketua Yayasan Eka Paksi milik TNI Angkatan Darat, yang banyak melakukan kerja sama dengan Grup Artha Graha milik Tomy. Silalahi, yang dihubungi Jumat pekan lalu, menolak berkomentar. ”Saya sudah membantah informasi WikiLeaks,” ujarnya. ”Tolong jangan diperpanjang lagi.”
Tomy membantah semua tudingan WikiLeaks yang diarahkan kepadanya. Menurut dia, hubungan dengan Presiden hanyalah hubungan warga negara dengan pemimpin pemerintahan. ”Saya hanya anak bangsa biasa,” kata Tomy. Soal kedekatan dengan Silalahi, Tomy mengaku hanya hubungan kerja biasa.
Masih banyak bocoran kawat perwakilan Amerika Serikat di Indonesia yang dipegang WikiLeaks. Pembocoran kawat ini memang telah didengung-dengungkan sejak akhir tahun lalu. Menurut WikiLeaks, ada 3.059 kawat diplomatik yang berasal dari Kedutaan Besar di Jakarta dan Konsulat Jenderal di Surabaya.
Menghadapi bocoran pertama yang langsung menohok Istana, Yudhoyono mencurahkan isi hatinya dalam rapat tertutup di Istana Negara, Jumat dua pekan lalu. Dengan emosi tertahan, menurut sumber Tempo, kepala negara menguraikan satu per satu lima tudingan yang muncul akibat bocoran WikiLeaks. ”Yudhoyono secara terperinci menjawab semua tuduhan itu.”
Soal tuduhan intervensi dalam sengketa hukum di kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa, Yudhoyono mengatakan bingung. WikiLeaks menyebutkan Presiden meminta Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi menekan hakim agar tidak memenangkan Partai Kebangkitan Bangsa kubu Abdurrahman Wahid dalam sengketa kepengurusan partai itu, pada 2006. Sumber yang sama mengatakan Presiden menyebutkan justru Abdurrahman Wahid dan putrinya, Yenny Wahid, yang datang ke Cikeas meminta bantuan.
Kepada Tempo, Yenny mengatakan tidak ingat peristiwa itu. ”Saya lupa,” ujarnya. Adapun Sudi membantah pernah melakukan intervensi. ”Naudzubillahi min dzalik, tidak pernah saya menelepon hakim, apalagi pengadilan,” katanya.
Dari informasi WikiLeaks, menurut sumber lain, Yudhoyono hanya membenarkan satu hal: memerintahkan Badan Intelijen Negara mengawasi Yusril Ihza Mahendra. Pada pemerintahan Yudhoyono, Yusril menjabat Menteri-Sekretaris Negara. Dalam rapat Jumat malam itu, kata sang sumber, Yudhoyono menceritakan, Yusril perlu diawasi karena sering memberi laporan berbeda.
Setelah pertemuan malam itu, Yudhoyono praktis tak banyak berkomentar. Baru Senin pekan lalu, ia berbicara terbuka soal bocoran WikiLeaks. Yudhoyono mengatakan tidak ingin memperluas lagi persoalan itu. ”Saya pandang sudah cukup,” katanya. ”Tidak perlu lagi terus-menerus ikut dalam kegaduhan ini.”
Setri Yasra, Anton Aprianto, Pramono, Sunudyantoro, Mia Umi Kartikawati
Order Istana untuk Pejaten
YUSRIL Ihza Mahendra langsung membuat pernyataan pers, Jumat pagi pekan lalu, sesaat setelah berita ia dikuntit Badan Intelijen Negara terbit di koran The Age dan The Sydney Morning Herald. ”Saya tidak terkejut,” kata mantan Menteri-Sekretaris Negara itu. ”Telepon seluler saya juga pernah disadap dan diperdengarkan dalam rapat sebuah lembaga negara.”
Dua koran Australia itu mengabarkan, dari data WikiLeaks, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah memerintahkan petinggi BIN menguntit Yusril ketika ia berkunjung ke Singapura untuk bertemu dengan seorang pebisnis Cina. Yudhoyono sendiri, ketika menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di era Presiden Megawati, juga dituding menggunakan BIN untuk mengawasi Jenderal (Purnawirawan) Wiranto yang berancang-ancang maju menjadi presiden pada 2004.
Sumber Tempo memastikan adanya order Presiden ke ”Pejaten”—julukan bagi BIN, yang berkantor di Pejaten Timur, Jakarta Selatan—untuk menguntit Yusril. Soalnya, Yusril sering menutupi perjalanannya ke luar negeri. ”Mengaku ke Bangka Belitung, tapi ternyata ke Singapura atau Filipina,” katanya. Yusril tentu membantah. ”Tidak pernah saya meninggalkan negara ini tanpa persetujuan tertulis,” ujarnya.
Seorang pensiunan Badan Intelijen Negara mengaku permintaan Presiden untuk melakukan kegiatan spionase di dalam negeri bukanlah cerita baru. Mengawasi lawan politik dan pejabat negara sudah menjadi kegiatan rutin BIN sejak era Presiden Soeharto. ”Hasilnya selalu dilaporkan secara berkala,” katanya.
Tapi mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali membantah adanya kegiatan memata-matai menteri atas permintaan presiden. ”Tidak ada tugas mengawasi pejabat pemerintah,” katanya. Kepala BIN Sutanto juga menyanggah. ”Tidak ada seperti itu,” ujarnya. ”Tugas BIN adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa.”
Fanny Febiana, Setri Yasra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo