Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=brown>ALAT TEMPUR</font><br />Di Balik Layanan Elang Emas

Korea Selatan gencar menawarkan pesawat latih supersonik. Dibantu makelar kawakan.

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI pangkalan militer di Seongnam, rombongan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa ternyata diangkut oleh pesawat kepresidenan Korea Selatan menuju Busan. ”Presiden Lee Myung-bak meminjamkan pesawatnya untuk mengantar kami,” kata seorang anggota rombongan Kamis tiga pekan lalu.

Pertengahan bulan lalu, Hatta memimpin 50 pejabat dan pengusaha Indonesia ke Korea Selatan. Selain menjajaki peluang investasi, Hatta diutus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membahas kerja sama pembelian alat tempur. Salah satunya pesawat latih supersonik T-50 Golden Eagle buatan Korea Aerospace Industries.

Sumber Tempo bercerita, delegasi Hatta dilayani secara khusus untuk melicinkan proses pembelian pesawat itu. Korea Selatan dan Cina memang selalu memanjakan pejabat yang datang, termasuk menyiapkan mobil, bahkan pesawat, untuk membawa mereka berkeliling negeri. ”Tapi, kalau sampai meminjamkan pesawat kepresidenan, itu artinya mereka sudah jorjoran,” katanya.

Korea Aerospace Industries memang sedang membutuhkan uang untuk mendanai produksi Golden Eagle. Perusahaan yang sejak krisis 1997 di­sokong pemerintah ini juga dikejar target menjual seribu unit si Elang Emas pada 2030.

Celakanya, Singapura dan Abu Dhabi, yang awalnya siap membeli, mendadak mencoret T-50 dari daftar belanjanya. Adapun penjualan pesawat latih pilot pesawat tempur F-16 dan F-15 itu ke Indonesia sudah keduluan Yakovlev 133 buatan Rusia. Pesawat Rusia itu tidak cuma bisa disetel untuk berlatih memiloti pesawat MiG-29 dan Sukhoi 30. Sistemnya juga bisa direkayasa untuk F-15 dan F-16.

Sumber yang dekat dengan pejabat Kementerian Pertahanan bercerita, Yakovlev sudah pernah dipresentasikan kepada para perwira Markas Besar TNI Angkatan Udara pada 2008. Setahun kemudian, giliran pejabat Kementerian Pertahanan yang dilobi. ”Pembicaraan sudah masuk negosiasi harga, tapi mendadak Korea masuk,” katanya.

Dua tahun lalu, Kementerian Pertahanan tahu-tahu menyebut pesawat latih supersonik buatan Korea. Juru bicara Kementerian Pertahanan, Brigadir Jenderal I Wayan Midhio, dua pekan lalu malah mengatakan, ”Sejak awal tak ada rencana membeli pesawat latih selain T-50 Golden Eagle.”

Ketua Panitia Kerja Alat Utama Sistem Persenjataan DPR, Tubagus Hasanuddin, heran akan rencana itu. Hasanuddin membenarkan cerita bahwa Korea sebetulnya belum memproduksi pesawat latih itu dalam jumlah besar. Rangka pesawat memang banyak, tapi yang bermesin tak sampai sepuluh unit. ”Tak ada yang mau membeli pesawat itu,” katanya.

Menurut Hasanuddin, kerja sama Indonesia dengan Korea Selatan sering tak masuk akal. Misalnya rencana kerja sama membuat prototipe pesawat tempur Korean Fighter Experiment yang ditandatangani pada Juli tahun lalu. Pesawat berkode KFX itu akan dibuat bersama PT Dirgantara Indonesia.

Rencananya, pesawat itu akan mulai beroperasi pada 2020. Saat itu Indonesia tak perlu membayar lisensi kalau mau bikin sendiri. Namun, demi menyiapkan prototipenya, Indonesia harus menyetor uang Rp 1,6 triliun. ”Buat apa kita mengeluarkan uang besar untuk riset senjata negara lain?” kata Hasanuddin.

l l l

ADALAH makelar senjata Nyoman Sarimin yang berperan memuluskan masuknya pesawat latih Negeri Ginseng itu. Nyoman sebelumnya juga sukses mencegat rencana pembelian kapal selam Scorpen dari Prancis dan Kilo Class buatan Rusia. ”Nyoman Sarimin itu yang menguasai senjata dari Korea Selatan,” kata agen rivalnya.

Nyoman memang gesit, karena gaya bisnis Korea lebih memungkinkan ia punya sumber dana buat melobi. Ia bahkan tak perlu repot-repot mencari kredit ekspor untuk pembelian kendaraan tempur lantaran pemerintah Korea siap memberikan pinjaman lunak. Pemerintah Indonesia, kata sumber tadi, juga dibuai dengan janji-janji investasi.

Berbeda dengan produsen Amerika Serikat dan Eropa, yang kaku dan pelit soal uang, para makelar Korea Selatan lebih luwes dalam berbisnis. Pejabat yang datang pasti dimanjakan, mulai dari pelesir, makan, hingga uang saku. ”Kalau mau perempuan pun mereka sanggup menyiapkan,” katanya.

Memakai bendera Grup Jumbo Karya Agung, sepak terjang Nyoman—keturunan Cina Medan—dimulai sejak era Orde Baru. Ia memakai PT Osco Utama untuk menjajakan kapal selam Changbogo, sedangkan untuk pesawat ia memakai bendera PT Multi Eka Karma.

Dalam akta pendiriannya, Multi Eka adalah perusahaan perdagangan hasil patungan beberapa pengusaha dengan Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, Koperasi Sekretariat Jenderal Kementerian Pertahanan, dan Koperasi Detasemen Markas Besar TNI. Nama Nyoman Sarimin sendiri tak tercantum.

Perusahaan ini berkantor di Wisma Eka Karma, Jakarta Selatan. Di ruang tamu gedung empat lantai yang bersebelahan dengan kantor stasiun televisi TransTV ini dipajang dua foto besar pesawat latih TNI Angkatan Udara KT-1 Bs Wong Bee buatan Korea Aerospace Industries.

Manajer Multi Eka Karma, Agung Pranoto, mengatakan bahwa Nyoman Sarimin memang staf ahli direksi perusahaannya. Multi Eka berspesialisasi dalam bisnis pesawat latih. ”Kami memang yang jadi perantara penawaran T-50 Golden Eagle,” katanya.

Namun I Wayan Midhio membantah adanya makelar dalam pengadaan pesawat latih Angkatan Udara. Menurut dia, perusahaan rekanan hanya dilibatkan dalam pembelian, sesuai dengan peraturan tentang pengadaan barang dan jasa. ”Pembicaraan awal itu langsung antarpemerintah,” katanya. ”Kami menghindari perantara.”

Pilihan membeli pesawat Korea Selatan pun lebih karena tawaran kredit pembelian dengan bunga rendah ditambah adanya alih teknologi. ”Karena Korea mau alih teknologi, kerja sama dengan mereka klop dengan rencana kita membangun industri pertahanan dalam negeri,” kata Wayan.

Meski begitu, negosiasi seperti jalan di tempat. Hingga Oktober tahun lalu, statusnya masih mandek di tim evaluasi pengadaan. ”Itu masih jauh dari pembelian,” kata Agus Pranoto.

Korea Aerospace Industries gerah dan memutus kontrak dengan Multi Eka. Pada 18 Maret 2010, Korea Aerospace menyurati Kementerian Pertahanan. ”Kami ingin berpartisipasi dalam tender pengadaan pesawat latih tanpa melalui perantara agen di Indonesia,” kata Agus, membacakan isi surat.

Sejak itu, Korea Selatan rajin mengutus pejabat pemerintah dan militernya ke Indonesia. Terakhir, pada Desember tahun lalu, Presiden Lee Myung-bak sendiri yang menemui Presiden Yudhoyono di sela acara Forum Demokrasi Bali.

Tak mulusnya penjualan disebut-sebut sumber Tempo sebagai pemicu pembobolan kamar Ahmad Rojih Almansur, anggota delegasi Hatta ke Korea Selatan. Petinggi badan intelijen nasional Korea Selatan (NIS), seperti dikutip harian Chosun Ilbo, membenarkan agennya menyusup ke kamar Kepala Subdirektorat Industri Elektronik Kementerian Perindustrian itu.

Penasaran atas rencana pembelian alat tempur itu bukan hanya di pihak Korea, tapi juga di kalangan Komisi I DPR. Menurut Tubagus Hasanuddin, pengajuan anggaran oleh Kementerian Pertahanan dan TNI tak pernah dilengkapi perincian mengenai alat tempur yang akan dibeli. ”Kami tidak pernah tahu jenisnya dan akan dibeli dari mana,” katanya.

Oktamandjaya Wiguna, Yophiandi


Senjata Negeri Ginseng

KERJA sama militer Indonesia dengan Korea Selatan terus menghangat dalam delapan tahun terakhir, terutama setelah Presiden Yudhoyono dan mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun meneken deklarasi kemitraan strategis dalam kerja sama militer pada 2006. Berikut ini berbagai peralatan militer Korea Selatan yang dihibahkan, dibeli, dan masih dijajaki:

Pesawat latih KT-1 Wong Bee

  • Produsen: Korea Aerospace Industries
  • Jumlah: 20 unit
  • Status:dibeli pada 2003

    Kapal laut landing platform dock

  • Produsen: Daesun Shipbuildings & Engineering Co. Ltd
  • Status: kontrak pembelian pada 2004
  • Jumlah: 4 unit (dua dibuat di Korea dan dua lainnya akan dibuat di PT PAL Surabaya)

    Kapal selam Changbogo Class

  • Produsen: Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering
  • Status: penjajakan barter dengan pesawat CN-235 buatan PT Dirgantara Indonesia (2008)
  • Jumlah: dua unit
  • Pesaing: Kilo Class (Rusia) dan Scorpen (Prancis)

    Landing Vehicle Tank tipe 7A1

  • Produsen: Samsung Techwin
  • Jumlah: 10 unit dari rencana 35 unit
  • Status: Hibah dari pemerintah Korea Selatan pada November 2009

    Korean Fighter Experimental

  • Status: nota kesepahaman rencana kerja sama produksi pada 11 Agustus 2010. Pembuatan prototipe dan baru mulai produksi pada 2020.

    Kendaraan lapis baja K-21 IFV

  • Produsen: Daewoo International Corp
  • Jumlah: 22 unit
  • Status: Kontrak hibah pada 11 Januari 2010 senilai US$ 70 juta

    Pesawat latih supersonik

  • T-50 Golden Eagle
  • Status:penjajakan (Februari 2011)
  • Produsen:Korea Aerospace Industries
  • Pesaing:Yakovlev 133 (Rusia)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus