Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ULIL Abshar-Abdalla sedang dalam perjalanan ke kantor Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur, Selasa pekan lalu. Di situ berkantor Jaringan Islam Liberal, yang dulu dipimpinnya. Kini ia tak lagi berkantor di sana. Tapi setiap Selasa sore ia menghadiri rapat mingguan Jaringan. Biasanya Ulil sudah di Utan Kayu sejak pukul 14.00.
Hari itu, Ulil harus hadir pada rapat lain lebih dulu. Pada pukul 14.30, ia ditelepon Saidiman Ahmad, koleganya di Jaringan, yang memberitahukan ada kiriman buku untuknya, yang diduga berisi bom. Ulil berpikir itu cuma main-main. Sebab, tak ada yang aneh sepanjang hari itu—juga hari-hari sebelumnya. Lewat pukul 16.00, dari radio mobilnya, ia mendengar berita bom meletus di Utan Kayu. ”Ternyata bom betulan,” katanya.
Buku berisi bom itu diterima Annisa Wulandari, resepsionis di kantor Komunitas Utan Kayu. Jam dinding menunjukkan pukul 10.00 ketika seorang lelaki berperawakan kurus berkulit gelap memasuki lobi kantor dan langsung menyerahkan paket. Annisa ingat lelaki itu bermata celung dengan pipi kempung. Tingginya 160-170 sentimeter. Si pengantar buku tak berseragam, sepatutnya kurir betulan atau tukang pos.
Mengenakan jaket parasut hitam dan topi berwarna serupa, si kurir juga tak membawa tanda terima. ”Tanda terimanya justru dari saya,” kata Annisa. Setelah menyerahkan ”paket”, kata Annisa, lelaki itu masih menenteng bungkusan lain. Tebalnya tiga-empat kali dari kiriman buat Ulil.
Menjelang pukul 13.30, buku diantarkan Nur Cahya, office boy, ke ruang kantor Jaringan. Dibantu sekretaris kantor, Saidiman, yang berada di ruangan, lantas membuka bungkusan. Ia menemukan selembar surat beserta buku berjudul Mereka Harus Dibunuh. Isi surat meminta Ulil memberikan kata pengantar untuk kitab berjudul lengkap Mereka Harus Dibunuh karena Dosa-dosa Mereka terhadap Islam dan Kaum Muslimin: Deretan Nama dan Dosa-dosa Tokoh Indonesia yang Pantas Dibunuh itu.
Sang pengirim mengaku pengarang buku, mencantumkan nama Drs Sulaiman Azhar, Lc. Alamatnya: Jalan Bahagia Gang Panser Nomor 29, Ciomas, Bogor. ”Sulaiman” juga mencantumkan nomor telepon selulernya: 081332220579. ”Buku yang urgensinya sangat erat dengan peran aktif Bapak dalam lembaga yang Bapak pimpin” tertulis dalam surat.
Tempo beberapa kali menghubungi nomor telepon itu, tapi tak pernah tersambung. Penelusuran ke alamat yang tertera juga tak membuahkan hasil. Sejumlah orang yang ditemui di sepanjang Jalan Raya Cikereteg Pagelaran, jalan utama yang melintasi Desa Ciomas, Desa Pagelaran, dan Desa Laladon, mengaku tak mengetahui alamat tersebut. ”Belum pernah dengar. Di sini kebanyakan nama jalannya pakai nama burung,” kata Tarman, pengojek. ”Alamatnya fiktif,” kata Camat Ciomas, Mulyadi.
Penasaran dengan judulnya, Saidiman mencoba membuka buku. Gagal. Setiap lembar halamannya rupanya direkat dengan lem. Dari sebuah celah di sampul buku, ia melihat buku itu berongga. Kabel kecil menyembul dari benda yang dimasukkan ke rongga. Merasa ganjil, ia tak meneruskan membuka buku. Setengah berlari ia menuruni tangga, bermaksud membawa buku ke luar kantor.
Di tangga, Saidiman berpapasan dengan tiga lelaki yang mengenalkan diri dari Markas Besar Kepolisian. Ia merasa tidak menelepon polisi. ”Saya berpikir, kok sudah ada polisi?” katanya. Walau belakangan terasa aneh, ketika itu ia menganggap dirinya beruntung dengan kehadiran aparat. Ia lantas menyerahkan buku mencurigakan itu.
Ketiganya—seorang di antaranya Erwin Simanjuntak—lantas mengintip isi buku. Begitu melihat kabel dan tabung hitam sebesar baterai ukuran A, mereka berhenti mencungkil-cungkil buku. Erwin menyarankan Saidiman segera menghubungi Kepolisian Resor Jakarta Timur.
Ketiga polisi itu masih berada di sana ketika Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Timur Komisaris Dodi Rahmawan datang. Karena Pasukan Gegana tak kunjung tiba, Dodi mencoba menjinakkan bom. Seorang karyawan Utan Kayu mengguyur paket dengan air. Dodi mencongkel bingkisan, yang membuat sistem detonasinya aktif. Bom di dalam rongga buku pun meledak.
Daya ledak bom memang tergolong rendah, low explosive. Tapi ledakannya membikin Dodi, Inspektur Dua Bara Libra Sagita, anak buah Dodi, dan Mulyana, petugas keamanan kompleks perkantoran Utan Kayu, yang berada paling dekat dengan bom, masuk rumah sakit. Dodi paling parah: tangannya putus. Belasan jurnalis yang menyaksikan dari dekat juga terjengkang.
Dihubungi pada Jumat pekan lalu, Erwin Simanjuntak, yang ditanyai tujuannya datang ke kantor Jaringan Islam Liberal, buru-buru menutup telepon. ”Waduh, saya lagi ada meeting,” katanya. Tapi, kepada Saidiman, Selasa pekan lalu, Erwin mengatakan kedatangannya untuk mengecek organisasi Jaringan.
TIGA hari sebelum paket dikirimkan, Sabtu dua pekan lalu, Ageng, petugas keamanan Komunitas Utan Kayu, melihat lima lelaki mencurigakan turun dari Xenia perak berpelat Jakarta. Dua orang lantas celingak-celinguk di bawah menara radio di depan kompleks perkantoran di Jalan Utan Kayu 68H itu.
Mereka memainkan telepon seluler. Satu orang memotret papan nama Kantor Berita Radio 68H, satu kompleks dalam Komunitas Utan Kayu. Seorang lainnya berpura-pura membeli rujak di jalan di depan kantor. Seorang lagi mendatangi Ageng di pos keamanan.
Semula mereka mengaku hendak memasang iklan di radio. Pertanyaan mereka lantas menjurus soal Ulil. ”Apakah KBR 68H juga punya Ulil?” kata Ageng, menirukan pertanyaan tamu mencurigakan itu. Ageng lalu diberondong pertanyaan soal aktivitas Ulil belakangan ini, termasuk di Jaringan. ”Saya jawab, Pak Ulil sudah tidak aktif,” katanya.
Ageng tak sempat mencatat nama mereka. Tapi ia ingat salah seorang kembali ke sana pada hari bom meledak. Dan bom di Utan Kayu itu merupakan pembuka dari rangkaian teror setelahnya. Paket bom buku serupa dikirimkan ke Kepala Badan Narkotika Nasional Gories Mere, Ketua Pemuda Pancasila Japto S. Soerjosoemarno, dan musikus Ahmad Dhani.
Menurut polisi, buku bom untuk Gories berjudul sama dengan paket buat Ulil. Japto kebagian buku Masih Adakah Keadilan dalam Pancasila?. Disebutkan, buku ditulis orang bernama Busro Jahlul. Alamat pengirimnya Jalan Cikaracak Gang Melati Nomor 29, Jasinga, Bogor. Adapun ”buku” untuk Dhani berjudul Yahudi Militan, dikirim Alamsyah Muchtar, SSos, sang ”penulis”. Alamsyah beralamat Jalan Darmaga Nomor 21, Bogor. Si pengirim mencantumkan nomor telepon 08131002992. Semua alamat dan nomor telepon itu ternyata fiktif.
Meski kemasannya buku, isi bom tak banyak berubah. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai, rangkaian bom Utan Kayu persis dengan bom senter dan bom termos yang digunakan selama konflik Ambon dan Poso. ”Setiap bom ada signature-nya,” ujar Ansyaad. ”Mereka kelompok lama.”
Setelah empat bom paket itu, Ansyaad menduga teror belum selesai. ”Ini akan berantai,” katanya.
Anton Septian, Setri Yasra, Diki Sudrajat (Bogor)
Teror itu… Sejumlah paket yang dikirimkan sejak Selasa, 15 Maret 2011
- Kantor Berita Radio 68H, Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur.
Ditujukan kepada Ulil Abshar-Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal.
Judul buku: Mereka Harus Dibunuh karena Dosa-dosa Mereka terhadap Islam dan Kaum Muslimin. - Rumah Japto S. Soerjosoemarno.
Ditujukan kepada Ketua Umum Partai Patriot Japto S. Soerjosoemarno.
Judul buku:Masih Adakah Keadilan dalam Pancasila? - Kantor Badan Narkotika Nasional, Jalan M.T. Haryono, Cawang, Jakarta Timur.
Ditujukan kepada Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Gories Mere. - Rumah Ahmad Dhani.
Ditujukan kepada Ahmad Dhani, musikus.
Judul buku: Yahudi Militan. - Cluster 55 Perumahan Kota Wisata Cibubur, Jawa Barat.
Bungkusan dalam kresek, sekitar satu kilometer dari gerbang perumahan. Bom dipindahkan petugas ke lapangan Kampung Cina, dan meledak sebelum dijinakkan. - Bungkusan mencurigakan ditemukan di sejumlah tempat, juga ancaman melalui telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo