Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Proyek Sejuta Kepentingan

Amerika punya banyak kepentingan dengan Paiton. Benarkah pejabat Amerika pun ikut kolusi?

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAITON memang luar biasa. Pembangunan pabrik setrum di Jawa Timur itu melibatkan pemain-pemain kelas dunia. Rekomendasi proyek ini diteken oleh bekas Wakil Presiden Dan Quayle, bekas Menteri Keuangan Robert Rubin, dan bekas Menteri Luar Negeri Warren Christopher. Merekalah "pelumas" proyek nomor wahid made in Amerika. Presiden Bill Clinton tak ketinggalan. Rekomendasi Clinton terutama ditujukan untuk Edison Mission Energy—pemegang 40 persen saham Paiton I—yang salah satu partnernya adalah James Riady. Seperti diketahui, bos Grup Lippo ini menyumbangkan ratusan ribu dolar untuk mengantarkan Clinton ke kursi presiden. Kolusi tingkat tinggi? Terlalu pagi memastikannya. Yang bisa dijelaskan, dengan "kesaktian" nama-nama beken itu, rencana Paiton lancar bagai jalan tol. Proyek ini "disabet" Amerika dalam satu paket lewat misi delegasi perusahaan Amerika—dipimpin Menteri Perdagangan Ron Brown—yang dalam sehari menyabet kontrak bisnis US$ 40 miliar. Kongsi yang menangani proyek US$ 2,5 miliar ini adalah Edison Mission Energy, General Electric Co., dan Mitsui & Co., Jepang. Partner lokal Paiton adalah PT Batu Hitam Perkasa, yang antara lain dimiliki Hashim Djojohadikusumo dan Agus Kartasasmita. Bill Clinton, yang hadir saat penekenan kontrak di Jakarta, 16 November 1994, tersenyum lebar. Maklum, pada awal 1990-an, ekonomi Indonesia tumbuh tujuh persen per tahun dan menjanjikan pasar industri yang menggoda. Konsumsi listrik dipastikan mekar berlipat-lipat. Harapan meraih untung besar sempat kandas. Krisis ekonomi datang pada pertengahan 1997. Soeharto pun jatuh. Kurs rupiah ambruk. Dana Moneter Internasional (IMF), yang datang dengan program pemulihan ekonomi, menganjurkan pemangkasan proyek-proyek yang berbau kolusi. Maklum, hanya satu dari 27 proyek listrik swasta yang mematok harga wajar. Sedangkan 26 proyek sisanya—harganya 30 persen lebih tinggi ketimbang harga internasional—ditinjau ulang. Tentu saja juragan listrik swasta di berbagai negara tak tinggal diam. CalEnergy, pemegang proyek Patuha-Dieng II, menggugat pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional. Hasilnya, CalEnergy menang. Indonesia diminta mematuhi kontrak dan membayar denda US$ 572 juta. Sampai kini, eksekusi masih ditunda sampai tercapai kejelasan proses hukum. Sejak itulah listrik swasta menjadi agenda yang memusingkan presiden—dari Habibie sampai Gus Dur. Paiton menjadi bintang karena nilainya yang besar dan seharusnya sejak Mei 1999 PLN membeli listrik Paiton—tak peduli listrik itu dijual atau disetrumkan ke laut. Kontan PLN kelimpungan, juga pemerintah Indonesia. Sudah begitu, Keluarga Cendana dan kroninya, anehnya, tak secuil pun disentuh hukum untuk dugaan "mark-up" di Paiton. Jalan yang ditempuh PLN adalah tidak membeli listrik Paiton. Dan ini rupanya mengundang reaksi Amerika. Kongres Amerika, misalnya, dalam pertemuan dengan tokoh Indonesia belum lama ini, menanyakan dua hal pokok: soal Aceh Merdeka dan kelangsungan proyek Paiton. Ini pertanyaan dari pihak "resmi". Pihak swasta Amerika ada yang ingin mengungkap korupsi di balik Paiton. Situs Worldnet Daily, misalnya, menggelar dokumen perjalanan delegasi Ron Brown ke Jakarta. Dokumen itu menunjukkan adanya kolusi tingkat tinggi. Misalnya, diduga petinggi Amerika "main mata" dengan Direktur Asian Development Bank (ADB), Linda Yang, untuk memuluskan pencairan utang bagi proyek Paiton. Linda Yang, dalam dokumen itu, disebutkan telah melakukan "semua yang sanggup diupayakan." Kolusi itu indikasinya jelas. Pada April 1995, Brown menginstruksikan agar Bank Exim Amerika dan delapan bank komersial lainnya mengucurkan kredit US$ 1,8 miliar. Salah satu pertimbangan utamanya, proyek Paiton disokong oleh Keluarga Cendana. Saat itu, nama bekas RI-1 ini adalah jaminan mutu untuk merebut proyek apa pun di sini. Namun, seorang kawan dekat Hashim menyangkal bahwa cairnya kredit US$ 1,8 miliar itu gara-gara keterkaitan Keluarga Cendana. "Mereka pasti sudah melakukan uji tuntas," katanya. Itu suara Hashim. Tapi publik Amerika malah curiga dan minta pertanggungjawaban tentang sejauh mana Paiton layak menggaet kredit. "Bagaimana bisa uang pembayar pajak digunakan untuk proyek yang sarat kolusi?" tulis Charles Smith, kolumnis Worldnet Daily. Jika pejabat Amerika terbukti melakukan kolusi, hukumannya tentu tak bisa ditawar-tawar seperti di sini. Alhasil, suara dari Amerika macam-macam soal Paiton ini. Ada suara enam senator Amerika, Februari lalu, yang mengirimkan surat kepada Habibie agar Paiton tetap jalan terus. Ada sederet pejabat sampai Bill Clinton dengan rekomendasinya. Ada pula keinginan wakil publik di sana untuk mengupas tuntas (dugaan) kolusi para pejabatnya di Indonesia seperti orang-orang Worldnet Daily tadi. Paiton memang proyek dengan sejuta kepentingan. Mardiyah Chamim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus