Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Tahun Depan, Dwifungsi TNI Sudah Harus Dihapus"

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertempuran Surabaya, itulah satu judul lukisan karya Suhario Padmodiwiryo— lebih populer dengan nama Hario Kecik. Lukisan yang dibuat pada 1985 itu bukan semata-mata rekaan imajinasi. Sang pelukis sendiri terjun di pertempuran itu, 40 tahun sebelumnya tatkala Surabaya membara dalam perang kota sepanjang tiga pekan, pada November 1945. Selain lukisan, pertempuran Surabaya mewariskan sebuah kenangan lain bagi Hario Kecik: sebelah kupingnya disambar pecahan mortir dan meninggalkan bekas luka sampai hari ini.

Kini berusia 79 tahun, hidup Hario Kecik agaknya tersusun dari kisah-kisah pertempuran. Dari Surabaya hingga perang gerilya di Gunung Kawi Selatan, dari pergolakan Maluku Utara hingga menggasak tentara Inggris di Kalimantan—saat konfrontasi melawan Malaysia pada paruh pertama era 1960. Di tengah-tengah pertempuran itu, Hario acap kali harus melakukan pekerjaan ganda: bertempur dan merawat korban. Sebab, selain tentara, ia seorang dokter, bahkan juga piawai melukis dan menulis.

Hario memang menaruh minat pada banyak hal: arkeologi, sejarah, geografi, budaya, dan sains. Ketika mendarat di Kalimantan Timur pada 1954, ia begitu terkesan pada keluasan dan kekayaan Pulau Borneo. Sampai-sampai, Hario, sang tentara, menuliskan potongan syair puisi filsuf Thomas Moore untuk melukiskan perasannya: ''….Nothing is lost on him on sees. With an eye that feeling gave. For him there is a story in every breeze. And a picture in every wave…." Catatan ini kemudian muncul dalam Memoar Hario Kecik, yang terbit pada 1995.

Hario Kecik berasal dari sebuah keluarga priayi menengah di Surabaya. Di kota itu, ia menyelesaikan pendidikannya sembari menggalang kekuatan bersama para pemuda pejuang dalam revolusi fisik. Studinya sukses: ia berhasil menjadi dokter. Namun, seluruh hidupnya praktis ia sumbangkan kepada dunia militer. Ia mengembangkan karir sebagai tentara, dan pangkatnya terakhir adalah mayor jenderal (1962).

Selain itu, masih ada keistimewaan lain. Ayah enam anak ini termasuk beruntung karena sempat menuntut ilmu di negara-negara yang saling bermusuhan di era perang dingin. Mula-mula ia belajar di Sekolah Infanteri Fort Benning (1956-1958), Amerika Serikat. Enam tahun kemudian, ia berangkat ke Moskow. Kali ini ia masuk Sekolah Militer Suworov, lalu memperdalam beberapa disiplin ilmu di Academy of Science. Apa lacur, kepergian ke ibu kota Uni Soviet itu ternyata menjadi jauh lebih panjang dari rencana semula.

Ketika Bung Karno jatuh pada 1965, Hario Kecik, ikut ''jatuh". Ia dituduh berhaluan kiri, dicekal masuk ke Indonesia oleh rezim Soeharto. Meskipun demikian, ia nekat juga pulang pada 1977. Hasilnya? Dari Bandara Halim Perdanakusuma, ia langsung dibawa ke Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Ia dibui di tempat itu selama empat tahun—tanpa pernah mengalami proses pengadilan.

Kehidupan penjara tidak menghilangkan kegairahan hidup Hario Kecik. Ia melewatkan sisa hari tuanya di sebuah rumah di kawasan Kranji, Bekasi. Di sana, Hario melukis, membaca, dan menulis skenario—kegiatan yang rutin dilakukannya sejak kembali ke Tanah Air. Di rumah yang dihiasi lima lukisan karyanya, Hario Kecik menerima wartawan TEMPO, Dwi Arjanto dan Robin Ong, untuk sebuah wawancara khusus, pekan lalu.

Petikannya:


Anda berpangkat kolonel—dalam usia 25 tahun—di pertempuran Surabaya, November 1945. Kok, bisa jadi kolonel pada usia semuda itu?

Waktu itu saya jadi Wakil Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pangkatnya kolonel, tapi pangkat itu saya karang sendiri.

Lalu, kenapa memilih pangkat kolonel?

Karena rendah diri, ha-ha-ha…. Teman saya malah ada yang mengarang pangkatnya mayor jenderal. Beberapa minggu kemudian, ada perintah semua pangkat diturunkan. Malu juga. Saya dan kawan yang mayor jenderal itu sama-sama turun menjadi mayor, ha-ha-ha….

Telinga Anda disambar pecahan mortir dalam pertempuran tersebut. Bagaimana ceritanya?

Suatu pagi, tentara Inggris berhasil maju. Meriam artileri mereka menghujani markas TKR sampai tak berbentuk. Saat itu saya berlindung agak jauh dari markas. Sebuah pecahan mortir menyambar belakang kepala saya sampai berdarah-darah. Letaknya di belakang telinga. Pertempuran itu terus berlanjut hingga tiga minggu. Setelah itu, baru perundingan-perundingan dilakukan.

Ada beberapa versi tentang lamanya pertempuran November 1945 di Surabaya. Sebetulnya, berapa lama perang kota itu berlangsung?

Ya, tiga minggu! Buku-buku sejarah di era Soeharto kan menulis peristiwa itu hanya berlangsung 1 hari—10 November 1945—karena penyobekan bendera Belanda oleh pemuda Surabaya. Itu tidak benar. Sesudah insiden bendera, ada pertempuran tiga hari yang menewaskan Brigjen A.W.S Mallaby—pimpinan tentara Sekutu.

Siapa yang menewaskan Mallaby?

Tidak ada yang tahu pasti. Situasi pertempuran itu kacau-balau. Jenderal itu tewas di siang hari selepas pukul 12.00 dekat Jembatan Merah, Surabaya. Jaraknya dari markas TKR hanya 400 meter. Saya sendiri waktu itu sedang mengatur pasukan di beberapa front pertempuran.

Setahun setelah perang di Surabaya, Kolonel Zulkifli Lubis (kemudian jadi salah satu tokoh PRRI—Red.) mengajak Anda mendirikan Badan Intelijen Indonesia di Yogyakarta. Siapa saja yang direkrut selain Anda?

Anak-anak muda yang nasionalis dan punya riwayat pergerakan. Itu syarat utama rekrutmen. Ada macam-macam cabang dalam organisasi itu. Saya pernah memimpin bagian antikorupsi. Ada juga bagian kontraintelijen. Para pemuda bekerja dengan modal semangat. Tak ada satu pun yang menuntut bayaran.

Dari mana lembaga ini mendapat dukungan finansial?

Tidak dari mana-mana, juga tidak dari pusat. Dana operasionalnya sangat minim. Karena itu, kami berdagang opium untuk pendanaan. Kegiatan ini berlangsung selama tiga tahun (1946-1949). Karena itu, saya punya agen opium. Termasuk agen-agen Cina.

Ke mana barang ini dijual?

Ke Cina-Cina juga. Mereka yang tahu persis jaringannya. Salah satu agen yang aktif adalah Ji Kian Ju. Ia ikut berperang dalam pertempuran Gunung Kawi (1948-1950) membela Indonesia. Dia juga penyusup yang hebat dan mahir mengumpulkan uang untuk biaya operasional kami.

Siapa Ji Kian Ju?

Ia seorang Cina kelahiran Slorok, Madiun Selatan, yang aktif dalam perang gerilya di Kawi Selatan. Ia menyelundupkan barang, menjadi kurir dan intel Brigade 16 Jawa Timur. Andilnya besar dalam mencari dana operasional untuk Badan Intelijen Indonesia. Caranya, ya, dengan berdagang opium.

Bagaimana Kolonel Lubis membesarkan lembaga ini?

Dasarnya adalah kualitas rekrutmen yang baik, yang membuat para anggota mandiri dan punya inisiatif. Saya, misalnya, membangun lembaga kontraintelijen dengan tiga markas, antara lain di Madiun dan Surabaya. Intelijen itu yang penting prinsipnya. Dulu enggak ada itu kita menyelidiki rakyat. Semuanya difokuskan untuk menghalangi dan menetralisasi pengawasan musuh kepada kita.

Jauh setelah perang di Gunung Kawi, Anda menjadi Pangdam Mulawarman (1962-1965) di Kalimantan. Saat itu Indonesia sedang terlibat konfrontasi politik dengan Malaysia. Apakah Bung Karno yang menempatkan Anda di sana?

Yang mengangkat saya jadi pangdam di sana adalah [Jenderal] Nasution. Tapi, media massa melansir bahwa Bung Karno yang menempatkan saya di sana atas desakan PKI.

Bukankah kekeliruan fakta itu sudah Anda protes dalam Memoar Hario Kecik yang terbit pada 1995?

Betul, karena berita di atas menimbulkan kesan seolah-olah konfrontasi Malaysia timbul karena ulah PKI.

Sebagai pangdam, Anda mendapat suplai 1.000 pucuk senjata untuk setiap batalyon ketika itu. Apa betul begitu?

Benar. Tapi senjatanya jelek semua. Konfrontasi dengan Malaysia itu membuat kita harus mengajak rakyat agar bersedia ikut berjuang. Antara lain dengan membuat film propaganda Tangan-Tangan Kotor (1962). Film itu mendapat penghargaan Festival Film Asia-Afrika & Amerika Latin (1964), tapi uangnya enggak keruan.

Lo, kan film itu dibuat memang bukan untuk cari uang?

Memang bukan, tapi untuk menunjukkan bahwa di pedalaman, orang-orang Dayak bersatu menghadapi Inggris (dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia).

Banyak kalangan menilai konfrontasi sebagai politik besar Bung Karno. Apa pendapat Anda sebagai pelaku di lapangan?

Kodam Mulawarman adalah wilayah yang bergandengan langsung dengan front konfrontasi—dipisahkan garis perbatasan dengan Malaysia (Serawak), meliputi juga Kalimantan Barat. Setahu saya, tidak pernah ada ide dari Bung Karno untuk melakukan agresi, menggasak Brunei atau Serawak.

Lo, lalu apa yang terjadi pada 1963-1966 ketika Bung Karno menyerukan pemutusan hubungan dengan Malaysia?

Itu sikap defensif Bung Karno. ''Kita dikepung oleh Inggris," begitu katanya. Kata-kata itu dia maksudkan agar kita lebih bersemangat. Mosok, dia segoblok itu berperang melawan Inggris. Jadi hanya sebatas itu tadi, meneguhkan moral dan semangat.

Tetapi bukankah sangat jelas Bung Karno menentang pembentukan federasi Malaysia yang dibidani Inggris?

Lagi-lagi, itu isu politiknya. Bung Karno—yang sangat antikolonial—mengatakan Inggris yang membuat federasi itu. Saya tahu persis karena waktu itu saya sempat mengawal saat Bung Karno berkunjung ke Jepang untuk berunding dengan PM Malaysia, Tengku Abdul Rahman, sembari menemui Dewi, istrinya.

Menurut Anda, adakah manfaatnya konfrontasi tersebut bagi kita?

Kita memperoleh simpati. Mengapa? Karena orang Malaysia sendiri tak berani melawan Inggris, kok, kita berani. Jenderal Nasution sempat menawari saya tambahan pasukan. Tapi saya bilang tidak perlu. Dengan pasukan yang ada, saya bisa menggasak Inggris sampai Brunei.

Memangnya banyak orang Inggris yang ada di Kalimantan?

Penyusup Inggris kan banyak yang masuk ke Indonesia. Lebih banyak dari penyusup kita yang ke Malaysia. Hanya, pihak internasional memberitakan sebaliknya.

Lepas dari jabatan pangdam, Anda dikirim ke Uni Soviet dengan tawaran menjadi deputi atau masuk sekolah militer. Anda memilih yang terakhir. Kenapa?

Seorang militer yang tidak mendapat pendidikan akan terbelakang. Dan secara pribadi, saya amat tertarik pada ilmu pengetahuan. Selain itu, saya tahu, menjadi deputi itu kan jongos-jongosan (hanya jadi pesuruh). Jelas, saya memilih sekolah. Tempat kuliah saya adalah Academic General Staff, Suworov, Moskow.

Tuduhan kiri, yang kemudian dialamatkan ke Anda, apa ada kaitannya dengan pilihan sekolah di Soviet?

Politisi Jakarta justru heran oleh tuduhan tersebut. ''Kalau Hario kiri, masa, Yani mengirim dia ke sana?" begitu komentar mereka. Sebab, Ahmad Yani memang tahu betul siapa saya.

Bagaimana hubungan Anda dengan Jenderal Yani pada masa Anda belajar di Soviet?

Baik sekali. Jenderal Yani mengupayakan agar saya mendapat fasilitas rumah, mobil, dan sopir 24 jam. Tapi, di Jakarta muncul tuduhan, fasilitas itu adalah bentuk perlakuan istimewa oleh Rusia karena saya berhaluan kiri. Tuduhan ini memang tidak pernah dilontarkan secara terang-terangan oleh orang tertentu. Itulah metodenya Soeharto.

Mengapa Anda menyimpulkan bahwa ini ulah Soeharto?

Analogi. Garis politiknya. Semua orang yang diduga kiri dia tangkapi semua. Zonder (tanpa) proses. Berapa ribu sudah orang yang mengalami hal ini tanpa melalui pengadilan? Soeharto bersikap ganda sejak dulu. Double standard sudah jadi wataknya. Semua orang yang tidak pro ke dia atau tidak dia butuhkan digasak.

Bukankah Pak Harto justru pernah bilang kepada Adam Malik bahwa Hario Kecik itu tidak punya kesalahan politik?

Di situ letak double standard-nya. Dia bilang begitu. Tapi dia juga bilang ke Adam Malik, kalau Hario pulang, orang-orang TNI AD tidak rela.

Percakapan itu terjadi ketika Adam Malik mau menemui Anda di Moskow pada 1972-1973?

Betul, Ketika Adam mengatakan rencananya hendak membawa pulang saya, Soeharto menjawab bahwa dia, sih, oke saja kalau saya pulang. ''Tapi teman-teman di Angkatan Darat mungkin tidak setuju." Akhirnya saya balik ke Indonesia pada 1977.

Kenapa sebelumnya Anda tak berani balik ke Indonesia?

Mengapa tidak berani? Saya tahu, saya toh pasti ditahan begitu tiba di Tanah Air. Tapi saya tunggu sampai anak saya selesai sekolah.

Lalu, apa yang Anda lakukan di Moskow sembari menunggui anak-anak sekolah?

Belajar. Saya memperdalam bidang kedokteran, teknologi, arkeologi, filosofi. Pendek kata, mengisi waktu dengan meluaskan pengetahuan di bidang akademis.

Di antara lintasan waktu bermukim di Soviet 1967-1977, kabarnya Anda mengikuti perang di Vietnam segala?

Saya kan meninjau ke mana-mana. Sebagaimana Bung Karno ke Cina, saya pergi juga ke Vietnam Selatan. Saya sempat berkenalan dengan perwira-perwira dari Vietnam yang dididik di Soviet. Cerita selebihnya tidak perlu lagi kita buka. Nanti dikira sombong dan menimbulkan prasangka yang bukan-bukan.

Bagaimana Anda membiayai hidup di Soviet setelah ''dipecat" oleh rezim Soeharto?

Untuk menunjang hidup selama di Soviet, keluarga saya dibantu oleh Palang Merah Internasional.

Pencekalan terhadap Anda selama 10 tahun lebih itu apakah dilakukan secara terang-terangan?

Pemerintah memang bilang, kalau mau pulang, silakan. Tapi begitu lapor mau pulang (di kedutaan), secarik kertas saja tidak diberikan. Saya tahu persis kalau pulang pasti ditahan dan saya perkirakan tanpa proses pengadilan. Tapi saya tetap balik. Mereka kaget. ''Kok, wani (kok, berani—Red.)?" kata mereka.

Siapa ''mereka" yang Anda maksud?

Kepala Staf, para perwira Markas Besar Angkatan Darat. Pemerintahlah. Tidak ada yang mengira saya berani pulang.

Apa alasan resminya?

Tidak ada alasan atau pernyataan resmi. Tapi perhitungkan, semua yang kiri ditangkap. Buat apa saya ditahan kalau tidak dituduh kiri? Jadi, begitulah pola Soeharto.

Kalau memang tidak ada alasan apa pun, kenapa Soeharto harus memusuhi Anda?

Dia juga memusuhi Sukarno. Dia memusuhi Pranoto—yang jadi temannya sejak kecil. Dia menyingkirkan orang-orang yang potensial seperti Nasution, Kemal Idris, Pranoto, Lukman, dan Mursid. Itu memang cara-cara Soeharto.

Selama di Moskow, adakah semacam surat perintah resmi yang mencekal kedatangan Anda di Indonesia?

Jangankan surat. Foto dan poster-poster gambar saya beredar di seantero Jawa Timur, dengan tulisan besar-besar: ''Tangkap hidup atau mati". Itu terjadi tahun 1977-1978. Sebelumnya, sudah ada kawat atau pemberitahuan semacam itu ke Kedutaan Besar RI. Tetapi rupanya KBRI tidak berani mengontak saya. Beberapa media kemudian menuduh saya. Harian Angkatan Bersenjata, misalnya, pernah menulis, saya melarikan diri karena terlibat G30S.

Apa pembelaan Anda terhadap semua tuduhan itu?

Caranya bagaimana? Wong, tidak pernah ada sidang. Saya juga tidak pernah dipanggil resmi ke pengadilan. Kalau diberi kesempatan, ya, saya akan njeplak (bersuara lantang—Red.). Dan saya kerap merenungkan bahwa saya bukan satu-satunya yang bernasib seperti ini. Ribuan orang mengalami nasib lebih mengerikan dari saya.

Anda langsung ditangkap di Bandara Halim Perdanakusuma ketika menginjak Jakarta pada Desember 1977. Bagaimana ceritanya?

Biasa saja. Saya dijemput di lapangan terbang, lalu ditangkap. Pesawat yang saya tumpangi diberhentikan di tengah landasan pacu. Saya langsung dibawa ke markas tahanan militer, sedangkan istri saya dibawa pergi ke besan saya, Yusuf Wibisono, di Jalan Proklamasi.

Apa yang Anda katakan kepada para penjemput selama perjalanan dari bandara?

Saya sudah tahu bahwa akan dijemput. Yang saya khawatirkan saat itu adalah anjing saya, yang turut datang dari Moskow. Saya bilang kepada mereka, anjing itu perlu diurus agar tidak mati. Lalu, saya masuk tahanan militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Ternyata kepala rutan adalah bekas anak buah yang dulu kurir di Jakarta. Dia menjamin, ''Jangan khawatir, Pak."

Berapa lama Anda ditahan?

Empat tahun, Saya masuk di bagian isolasi. Jadi, hanya sendiri dalam satu ruang—di bagian ''kapal selam". Itu istilah untuk bagian penjara yang terletak di bangunan bawah, yang tidak enak.

Apa saja yang dikatakan para petinggi militer ketika menginterogasi Anda?

Yang menginterogasi saya malah bingung enggak keruan. Mereka menyodorkan daftar pertanyaan yang tidak bermutu. Saya bilang, ''Tidak apa-apa. Saya tahu konsekuensi saya karena setuju politiknya Bung Karno dan, tentu saja, konsekuensi dari turunnya Bung Karno.'' Jadi, saya sudah siap mental.

Siapa saja yang rajin menengok Anda selama dalam tahanan?

Saya diisolasi. Tidak boleh ditengok siapa pun—termasuk keluarga. Mereka mau merusak moril orang dengan cara-cara itu, tapi tidak saya hiraukan. Mengapa? Bukan saya saja yang diperlakukan demikian, melainkan ratusan orang.

Apa saja yang dilakukan selama dalam penjara?

Macam-macam. Berolahraga dengan mengayuh pompa air, menulis buku, melukis, bikin skenario film. Ada skenario yang dibeli Ali Moertopo. Hasilnya saya belikan mobil. Selama empat tahun di penjara, saya membuat empat skenario film, dua buku, dan empat buah lukisan.

Sekarang ini, apa saja kesibukan Anda?

Saya menulis skenario film. Selepas penjara, saya pernah berkongsi mendirikan perusahaan film dan bergerak di bidang produksi film. Tapi, ya, kembang-kempis. Nama perusahaannya lupa, soalnya tidak saya anggap penting. Sampai sekarang saya sudah menyelesaikan sekitar delapan skenario. Termasuk kisah kasus kematian peragawati Dice.

Apakah usaha Anda mencari nafkah pernah sengaja dihambat?

Dihambat, sih, tidak. Tetapi tidak ada orang yang mau memfilmkan skenario saya. Sebetulnya, skenario film tentang Dice sudah ada yang berminat. Tapi banyak familinya yang minta uang. Produsernya jadi enggak kuat membayari semuanya.

Anda menulis dua jilid memoar. Pertama, terbit pada 1995, dan jilid dua akan diluncurkan pada Februari 2000. Apa yang ingin Anda capai melalui memoar?

Orang kita mempunyai tradisi lisan yang kuat tapi kurang menulis, tidak memahami tradisi menulis. Itu yang saya lihat. Selain itu, hobi saya memang menulis. Saya tertarik pada banyak hal: sastra, sejarah, arkeologi, budaya. Semua elemen ini turut memperkaya memoar yang saya tulis secara ilmiah—dan mudah-mudahan bisa menjadi semacam kesaksian peristiwa.

Sedikit tentang dwifungsi TNI. Konsep tentang peran.militer ini kian digugat kelangsungannya. Apa pendapat Anda?

Dwifungsi TNI cukup sampai sekarang. Tahun depan sudah harus dihapus karena sudah tidak cocok secara historis. Intinya begini: tentara itu dari rakyat, untuk rakyat. Kalau rakyat tidak perlu lagi [dwifungsi] tapi tetap dipertahankan, ya, pasti mencurigakan.

Benarkah konsep dwifungsi yang digagas Nasution kini sudah jauh melenceng?

Kelahiran dwifungsi kan tidak berujud seperti kelahiran bayi. Itu adalah sebuah proses. Dulu, tidak ada yang namanya dwifungsi. Di daerah saya bertugas—Kodam IX Mulawarman—yang begitu luasnya, tak ada satu pun lurah yang kita ganti dengan tentara, atau bupati sipil yang kita ganti bupati dari militer.

Omong-omong, apa yang masih terasa belum komplet dalam hidup Anda?

Saya belum bisa dengan tenang berkata: ''Saya sudah enak, juga orang-orang lain." Paling banter saya bilang: ''Hidup saya enak karena kebetulan anak-anak saya bisa bekerja sehingga mereka bisa membantu hidup saya." Tetapi, bagaimana dengan mereka yang lain? Keadilan memang belum merata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus