Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AHMAD Medi, 79 tahun, ingin segera ke Tanah Suci. Di usia senjanya, ia makin religius. Sebelum wafat menjemput, ia bercita-cita menjalankan ibadah haji, rukun Islam kelima. Sebagian tetangga pun sudah memanggil dia Pak Haji. Padahal pensiunan guru sekolah dasar yang tinggal di Kampak, Trenggalek, Jawa Timur, ini baru akan berangkat tahun depan.
Pria sepuh ini masuk daftar tunggu haji sejak dua tahun lalu. Perlu puluhan tahun baginya agar bisa mendaftar berangkat haji. Gaji dan uang pensiunnya yang kurang dari Rp 1 juta per bulan ia tabung di Bank BRI Cabang Trenggalek. Bersama istrinya, Medi hidup dari kebun dan sepetak sawah. Terkumpul Rp 20 juta dengan tambahan dari anaknya, ia pun mendaftar haji. "Alhamdulillah, tahun depan berangkat," katanya, Jumat pekan lalu.
Mendaftar dua tahun lalu, Ahmad Medi belum terkena aturan baru. Untuk "tanda jadi", ia wajib menyetor Rp 20 juta. Sejak April lalu, Kementerian Agama menaikkan setoran ini menjadi Rp 25 juta. Jumlah setoran dinaikkan untuk memperpendek daftar antrean.
Ahmad Medi adalah seorang dari 1,1 juta muslim Indonesia yang antre untuk ibadah haji. Pemerintah Arab Saudi menetapkan kuota haji Indonesia tahun ini 201 ribu orang. Pagu jemaah itu ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk. Perhitungannya, setiap seribu penduduk muslim di suatu negara "diwakili" seorang calon haji. Dengan sistem ini, mereka yang hendak berhaji rata-rata harus antre hingga lima tahun.
Setoran awal ongkos haji pun sudah menumpuk hingga Rp 22,4 triliun per akhir November. Dari jumlah itu, Rp 12 triliun ditaruh dalam Sukuk (obligasi syariah yang diterbitkan pemerintah), Rp 6,7 triliun dalam bentuk deposito, dan Rp 3,67 triliun berbentuk rekening giro. Uang ini menghasilkan bunga hingga Rp 99,7 miliar per bulan di rekening khusus haji atas nama Menteri Agama. Dalam setahun bunganya bisa mencapai Rp 1,175 triliun. Sebagian besar untuk "biaya optimalisasi". Itu adalah, "Biaya komponen haji yang tak dibayarkan langsung oleh calon jemaah," kata Acmad Djunaedi, Direktur Pengelola Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Sistem Informasi Haji Kementerian Agama.
Dana umat ini berwujud uang segar dengan jumlah megajumbo. Karena itu, ada pihak yang memanfaatkannya buat kepentingan pribadi. Satu di antaranya tergambar dari enam lembar dokumen yang salinannya diperoleh Tempo. Dokumen itu terdiri atas satu lembar salinan surat Kementerian Agama ke Kepala Bank BNI Cabang Sudirman; satu lembar salinan surat deposito berjangka atas nama Menteri Agama; tiga lembar salinan surat kesepakatan bersama penempatan dana dengan jaminan sertifikat deposito berjangka antara PT Daestra Rajawali Perkasa dan PT Kranggo Bakti Persada; dan satu lembar salinan kesepakatan penempatan dana yang merujuk pada perjanjian.
Surat berkop Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji Kementerian Agama ini dikeluarkan pada 26 Maret 2010. Ditandatangani Direktur Pengelolaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Sistem Informasi Haji Achmad Djunaedi, surat ditujukan kepada pemimpin Bank BNI Cabang Sudirman, Jakarta. Isinya, perintah kepada bank untuk mencairkan deposito atas nama Menteri Agama senilai Rp 1,987 triliun.
Dalam surat yang sama, Djunaedi memerintahkan agar uang dengan nilai nominal yang sama ditempatkan kembali pada deposito berjangka waktu satu tahun. Ia meminta tingkat suku bunga minimal 7 persen. Surat ini tembusannya ke Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Sertifikat deposito yang dicairkan ini bernomor seri PAA 0126987. Menteri Agama menempatkan deposito ini melalui Direktur Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah terhitung sejak 28 Januari 2010 dan hingga 28 Februari 2010.
Djunaedi kepada Tempo membenarkan mengirim surat ke BNI. Ia pun tak menyangkal kebenaran salinan surat yang diperoleh Tempo. Namun ia mengatakan surat itu dikirim hanya untuk meminta BNI menaikkan bunga deposito dari 6,5 persen menjadi 7 persen per tahun.
Sehari setelah surat Kementerian Agama itu, pada 27 Maret 2010, surat deposito berjangka keluaran BNI tadi digunakan orang bernama Andreas Bambang Armanto. Dia Direktur Utama PT Daestra Rajawali Perkasa, beralamat di kompleks Villa Mas C5/15, Sungai Panas, Batam. Ini ternyata rumah tipe 36, yang dicantumkan sebagai alamat kantor. Tak ada papan nama atau meja kerja. "Di sini saya masih kontrak," kata Andreas, 43 tahun.
Ia baru pindah ke Batam enam bulan lalu. Bisnisnya rupa-rupa, dari bengkel, penyewaan mobil, sampai penyelenggara acara seminar, pesta pernikahan, dan ulang tahun.
Andreas menjalin kerja sama dengan Syarip Djumadi, Direktur Utama PT Kranggo Bakti Persada, yang beralamat di Jalan Bhinneka Raya 69, Cawang Baru Tengah, Jakarta Timur. Dari penelusuran Tempo, alamat ini gudang tempat usaha jual-beli mobil bekas. Adi, karyawan di tempat itu, mengatakan bahwa rumah itu dibeli bosnya lima tahun lalu.
Lisan, ketua RT setempat, menyatakan bahwa dulu ada dua Syarip di rumah itu. Sang ayah bernama Syarip Djumadi, meninggal belasan tahun lalu. Dia punya anak, yang juga bernama Syarip Djumadi. "Syarip anak teman main saya waktu kecil," kata Lisan. "Tapi sudah lama pindah ke Malang." Tak jelas di mana kini Syarip berada.
Kerja sama Andreas Syarip itu didasari "Surat Kesepakatan Bersama Penempatan Dana dengan Jaminan Sertifikat Deposito Berjangka". Dalam perjanjian itu, Andreas adalah pemilik dana atau pemodal. Sedangkan Syarip sebagai pemakai. Obyek kesepakatan ini adalah penempatan dana dengan jaminan surat deposito berjangka. Artinya, Andreas Bambang memberikan pinjaman uang kepada Syarip Djumadi. Atas kesepakatan ini, Andreas mendapat premium 14 persen, yang dibayar pada hari itu juga setelah dana efektif masuk ke rekening yang ditunjuk bank.
Tak jelas bagaimana Andreas bisa mendapatkan kepercayaan mengagunkan deposito Menteri Agama. Seorang pengusaha mengatakan sekitar empat bulan lalu ia mendapat tawaran kredit dari seseorang dari Bank BNI. Pengusaha ini biasa bermain bisnis pembebasan lahan di Jakarta. Butuh dana segar untuk segera melakukan pembebasan tanah, pengusaha ini datang ke BNI Cabang Sudirman. Tujuannya membuka peluang kucuran pinjaman. Namun pengusaha tadi tak jadi ambil kredit dengan alasan mencoba cari utangan di tempat lain.
Sumber lain mengatakan ia memperoleh tawaran serupa sekitar enam bulan lalu. Ia tercengang dengan dijaminkannya deposito itu. Sebab, kata dia, deposito itu milik Menteri Agama. Ia menduga deposito itu adalah duit haji yang mestinya tidak boleh dijadikan jaminan. Anehnya, kata dia, tawaran itu menyebar di kalangan pengusaha atau pialang usaha. "Daripada terjerumus transaksi tak bener, saya mundur," kata dia.
Sumber ini mengatakan sempat berpikir bagaimana bisa deposito atas nama Menteri Agama digunakan untuk perjanjian kerja sama dua perusahaan swasta. Jika perjanjian itu benar adanya, ia mengatakan ada dua kemungkinan titik bocor: Bank BNI atau kantor Kementerian Agama.
Tidak tertutup kemungkinan, kata dia, perjanjian itu palsu. Namun ia tak habis pikir, bagaimana mungkin perusahaan itu tahu persis dan terperinci mengenai isi deposito itu. "Jika tidak punya koneksi dengan orang dalam bank atau pejabat Kementerian Agama, mana mungkin punya informasi deposito sedetail itu," kata dia.
Andreas menyatakan tak tahu menahu ihwal ini. Ditunjukkan bukti kerja sama dan tanda tangannya, Andreas geleng-geleng kepala. "Kerjaan siapa ini?" katanya. Ia mengaku tidak kenal Syarip Djumadi.
Ia mengatakan seseorang bernama Hasanuddin pernah dua kali menawarinya untuk dikenalkan kepada Ahmad Djunaedi. Belum sampai Andreas bertemu sang direktur, Hasanuddin menghilang tak jelas rimbanya. Andreas memberikan nomor ponsel Hasanuddin, tapi Tempo tak berhasil mengontaknya. Ketika beberapa kali dihubungi, nomor itu tak aktif. Ahmad Djunaidi pun menyatakan tak tahu menahu ihwal ini.
Putu B. Kresna, Corporate Secretary BNI, tidak mau memberikan informasi mengenai hal ini karena dibatasi aturan kerahasiaan bank. Sesuai dengan Undang-Undang Perbankan, ia mengatakan, BNI dilarang memberikan informasi selain kepada pemilik rekening. Dia hanya membenarkan banknya merupakan satu di antara 22 bank penerima setoran biaya haji.
Putu juga mengatakan, dalam melakukan praktek bisnis, BNI taat pada undang-undang dan ketentuan yang berlaku. "Kami berlandaskan etika bisnis dan implementasi good corporate governance," kata dia.
Menteri Agama Suryadharma Ali dalam jawaban tertulis kepada Tempo menyatakan tak ada pencairan deposito setoran awal haji atas namanya. Menurut dia, perintah pencairan itu hanya memperbarui administrasi depositonya agar mendapat bunga lebih baik. Semula bunganya 6,5 persen menjadi 7 persen untuk deposito berjangka setahun. Suryadharma juga menyatakan penggunaan dana tersebut sepenuhnya kewenangan bank.
Kementerian Agama, kata dia, tidak perlu tahu dan memang tidak tahu menahu soal penggunaan uang tersebut. Ia juga menyatakan tidak mengenal Andreas Bambang Armanto atau Syarip Djumadi. Yang pasti, kata dia, deposito Kementerian Agama di BNI tidak untuk dipinjamkan ke pihak lain. "Jika BNI menyalurkan dana itu ke pihak lain, hal itu sepenuhnya jadi kewenangan bank," kata Suryadharma Ali.
Pengelolaan setoran awal haji ini sering kisruh. Menurut Badan Pemeriksa Keuangan, setidaknya ada sembilan titik kejanggalan pada pengelolaan dana. Salah satunya, perbedaan versi jumlah penyetor antara bank dan data di sistem komputerisasi haji terpadu Kementerian Agama.
Bank juga dianggap kerap terlambat mentransfer setoran awal ongkos haji ke rekening Menteri Agama di Bank Indonesia. Menurut Badan Pemeriksa Keuangan, dana berpotensi diselewengkan. Kementerian Agama tak pernah menarik denda keterlambatan. Pada 2008, denda dari delapan bank nilainya Rp 1,154 miliar.
Ada pula transfer dari rekening setoran awal haji atas nama Menteri Agama di bank penerima ke rekening gelap. Pada 2008 ditemukan 189 transaksi di Bank Mandiri dan Bank Syariah Mandiri Rp 298 miliar, yang penggunaannya tak jelas. Jumlah bunga yang diterima Kementerian Agama pun sering tak sesuai dengan suku bunga hasil kesepakatan dengan bank. Pada 2008 ada kekurangan bunga deposito dari lima bank Rp 36 miliar. Badan Pemeriksa menilai Kementerian Agama malas mengawasi deposito-deposito itu.
Djunaedi mengatakan kantornya telah mengelola dana secara profesional. Buktinya, ia mengklaim, untuk pertama kalinya dalam sejarah, biaya haji tahun ini turun.
Sunudyantoro, Oktamandjaya Wiguna (Jakarta), Rumbadi Dalle (Batam)
Dana Setoran Awal
Bank penerima setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji.
1.Bank BRI
2.Bank BNI
3.Bank BNI Syariah
4.Bank Mandiri
5.Bank Mandiri Syariah
6.Bank Muamalat Indonesia
7.Bank BTN
8.Bank Bukopin
9.Bank DKI
10.Bank Jabar Banten
11.Bank Jatim
12.Bank Kaltim
13.Bank NTB
14.Bank Riau
15.Bank Sulsel
16.Bank Sultra
17.Bank Sumut
18.Bank Sumsel
19.Bank Aceh
20.Bank Yogya
21.Bank Nagari
22.Bank Kalsel
23.Bank Mega Syariah
Banyak Janggal Duit Setoran
BADAN Pemeriksa Keuangan berkali-kali mengeluhkan buruknya pengelolaan dana setoran haji. Sejumlah kejanggalan tercium sejak uang mengalir masuk ke bank penerima setoran hingga dipakai dalam pelaksanaan haji.
Badan Pemeriksa mendesak Kementerian Agama memperbaiki pengawasan dan pelaporan penggunaan duit haji. Berikut ini berbagai kejanggalan pengelolaan duit haji yang hampir setiap tahun berulang.
Oktamandjaya Wiguna
1. Jumlah Penyetor
Setiap tahun muncul perbedaan versi jumlah penyetor antara bank dan data di sistem komputerisasi haji terpadu Kementerian Agama. Dana di bank lebih kecil daripada setoran yang terdaftar di sistem komputerisasi. Dari 1 April 2007 sampai 31 Maret 2009, tercatat selisih kurang setor dari Bank BRI Rp 8,3 miliar.
2. Waktu Transfer
Bank kerap terlambat mentransfer setoran awal ongkos haji ke rekening Menteri Agama di Bank Indonesia. Menurut Badan Pemeriksa Keuangan, dana berpotensi diselewengkan. Kementerian Agama tak pernah menarik denda keterlambatan. Pada 2008, denda dari delapan bank nilainya Rp 1,154 miliar.
3. Pendebitan Rekening
Tercatat transfer dari rekening setoran awal haji atas nama Menteri Agama di bank penerima ke rekening gelap. Pada 2008 ditemukan 189 transaksi di Bank Mandiri dan Bank Syariah Mandiri sebesar Rp 298 miliar yang penggunaannya tak jelas.
4. Bunga Deposito
Jumlah bunga yang diterima Kementerian Agama tak sesuai dengan suku bunga hasil kesepakatan dengan bank. Pada 2008 ada kekurangan bunga deposito dari lima bank sebesar Rp 36 miliar. Badan Pemeriksa menilai Kementerian Agama malas mengawasi deposito deposito itu.
5. Penarikan Siluman
Masuk ke Bank Indonesia belum berarti duit calon haji aman. Berkali-kali terjadi penarikan dari rekening di bank sentral tersebut yang tidak dapat dipertanggungjawabkan pemakaiannya.
6. Aset Hilang
Tak ada catatan dan pengendalian terhadap barang dan perlengkapan yang dibeli dari dana biaya penyelenggaraan ibadah haji. Status kepemilikan barang-barang itu tak jelas.
7. Laporan Keuangan
Kantor wilayah Kementerian Agama di kabupaten dan kota tak pernah memerinci penggunaan dana biaya penyelenggaraan haji dari pemerintah pusat.
8. Kerugian Pembelian Riyal
Kementerian Agama sering membeli riyal lebih mahal daripada harga pasar.
9. Pemborosan
Dari tahun ke tahun ditemukan pemborosan, terutama pada saat pembayaran pemondokan dan transportasi. Bahkan pada 2007 terjadi dobel bayar sewa rumah dan transportasi. Hasil analisis Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan pada 2009 tercatat pemborosan biaya akomodasi dan transportasi darat di Arab Saudi hingga Rp 485 miliar.
Duit Haji Dikepung Kasus
Dalam sepuluh tahun terakhir miliaran rupiah ongkos haji melayang. Setiap tahun Badan Pemeriksa Keuangan mengendus penyelewengan duit haji. Tapi sejauh ini baru sekali saja dugaan korupsi skala besar terungkap.
2000
BPK menemukan penyimpangan penggunaan biaya penyelenggaraan haji Rp 354,716 miliar.
2001
BPK mencatat kurangnya pendapatan Rp 4,69 miliar, pemborosan Rp 2,75 miliar, dan pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 6,26 miliar.
2002
BPK mengendus pengelolaan Dana Abadi Umat Kementerian Agama yang tak beres Rp 3,5 miliar. Dana bantuan presiden untuk ibadah haji juga bocor Rp 23,6 miliar.
2003
Audit BPK menemukan penyimpangan duit haji Rp 27,09 miliar.
2005
Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan penyelewengan Dana Abadi Umat dan biaya penyelenggaraan ibadah haji yang menimbulkan kerugian Rp 1 triliun.
2006
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis mantan Menteri Agama Said Agil Husein al-Munawar 5 tahun penjara karena terbukti menyelewengkan Dana Abadi Umat dan biaya penyelenggaraan ibadah haji. Direktur Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Taufiq Kamil dihukum empat tahun pada kasus yang sama.
Sumber: Audit Keuangan Penyelenggaraan Haji Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Corruption Watch, Pusat Data dan Analisis Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo