Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pencerahan

6 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agama tak mati mati. Tapi juga sekularisasi. Jangan jangan karena keduanya sebenarnya tak bertentangan.

Pernah ada suatu zaman ketika orang orang pintar mengira bahwa agama (”candu bagi orang ba­nyak”, kata Marx) akan terhapus dari kehidupan.

Dari Eropa, suara seperti ini menyebut diri suara ”Pencerahan”. Mereka gambarkan manusia melangkah dari gelap ke cerah. ”Gelap” berarti kondisi ketika manusia berpikir dan memandang dunia dalam bimbingan doktrin dan dogma. ”Cerah” berarti hilangnya dua hal itu. Dengan ”Pencerahan”, manusia bebas dari ketergantungan kepada kepercayaan yang mengikat pikirannya. Kita ingat perumusan Kant yang termasyhur itu: ”Pencerahan” berarti keluar dari Unmündigkeit, ketidakdewasaan atau ketergantungan kepada bimbingan orang lain—sebuah keadaan yang sebenarnya dibikin si manusia sendiri, selbst verschuldeten.

Itu 1784. Itu zaman resah. Tahun 1789: Revolusi Prancis. Orang orang atheis menyingkirkan keyakinan dan lembaga agama dari kehidupan publik. Revolusi ini punya dampak yang mendalam dan panjang pada proses sekularisasi, sampai di Prancis (dan Eropa) hari ini. Tapi tak ber­arti agama lenyap.

Mula mula beberapa tokoh revolusi menegakkan ”pemujaan kepada akal budi”, Culte de la Raison. Kultus ini tak mengenal sesembahan. Dekristenisasi berlangsung, Tuhan dimakzulkan. Tapi itu tak bertahan lama. Tahun 1794, ketika ia jadi pemimpin Revolusi, Robespierre menghukum pancung para pelopor anti Tuhan. Ia pun menegakkan Culte de l’Être suprême, pemujaan kepada Wujud Yang Maha Luhur. Ia percaya manusia perlu Tuhan, setidaknya untuk meneguhkan keadilan sosial. ”Andai Tuhan tak ada,” tulis Voltaire di tahun 1770, ”ia harus diciptakan”. Kant kurang lebih berpikiran sama.

Memandang Tuhan sebagai yang berguna Tuhan yang instrumental itu tak berhenti dengan gagalnya proyek Robespierre. Bahkan sebenarnya tak bermula dari sana. Ketika manusia berpikir, sejak masa Aristoteles, bahwa makhluk di dunia ini pasti ada penyebab pertamanya (causa sui, penyebab yang tak disebabkan apa pun), konsep ”Tuhan” ditemukan. Konsep itu diletakkan sebagai dasar argumen. Kemudian, di zaman ketika manusia memakai Tuhan untuk memperkuat posisi politik dan menambah kekayaan, atau sekadar menenteramkan hati yang takut, Tuhan juga ada untuk berguna. ”God is a concept to measure our pain,” kata John Lennon.

Dengan demikian, Tuhan tak lagi sakral. Ia jadi sesuatu yang profan. Posisinya tak jauh beda dari ”instrumen” lain. Di situ sekularisasi terjadi tapi tak atas nama sekularisme. Agama berkelindan semangat profan, dan sebaliknya, agenda yang profan (ala Robespierre atau ala George W. Bush) dengan alim memakai baju agama. Dalam keadaan itu manusia sebenarnya cerdik dan berkuasa. Ia lebih mandiri ketimbang yang dibayangkan Kant.

Kant memang tak mengemukakan sesuatu yang baru. Pencerahan terjadi sejak manusia punya kehendak dan memperalat apa saja yang di luar dirinya untuk mencapai kehendak itu. Dengan kata lain: sejak manusia berani berpikir. Sapere aude! semboyan yang dipungut Kant sebagai moto Pencerahan: ”Beranilah untuk bijak”, atau ”Beranilah untuk berpikir”. Tapi tekad yang lebih gagah juga pernah dinyatakan satu abad sebelumnya.

Pada awal abad ke 17, Francis Bacon di Inggris menulis satu proyek yang ambisius, The Great Renewal. Pemikir, pejabat, negarawan, dan ilmuwan itu ingin memperbaharui gerak kemajuan pengetahuan. Halaman awal bukunya bergambar sebuah perahu yang melintasi ”Pilar pilar Heraklaitos” menuju ke Lautan Atlantik. Di zaman dahulu, tulisan yang termaktub di antara kedua pilar itu berbunyi, ”Ne plus ultra” (Jangan pergi lebih dari sini). Di buku Bacon, motonya, ”Multi pertransibunt, et augebitter scientia” (Banyak yang akan melintas, dan ilmu pengetahuan akan bertambah).

Bacon meninggal di tahun 1626, karena kedinginan dalam salju. Ilmu pengetahuan bertambah, juga keberanian manusia untuk menembus batas. Tapi Bacon tak segera diikuti. Eropa, juga Inggris, tak tertarik untuk ilmu. Benua itu terlibat dalam perang antara Protestan dan Katolik yang tak henti hentinya. Bacon pernah memperkirakan, konflik antar iman ini akan menumbuhkan atheisme. Tentu ia salah. Fanatisme malah berkobar. Meskipun, dan ini yang sering dilupakan, ketika itu sebenarnya Tuhan telah direduksikan jadi pendukung kubu yang saling menghancurkan. Tuhan telah jadi bagian dari teknologi politik.

Maka tak benar apa yang dikatakan Marx: agama adalah candu bagi orang banyak. Candu menidurkan. Tapi di zaman itu, juga di zaman kini, agama bagian dari energi untuk satu tujuan: mengalahkan apa yang di luar itu: dunia yang dianggap tak beres; manusia yang dianggap mencong; alam yang dianggap mubazir.

Dari dalamnya lahir manusia sang penakluk.

Ini tak hanya berlaku di dunia Kristen. Di dunia Islam, abad ke 20, dari Maududi sampai dengan Qutb, citra manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh tujuan—dan sanggup mengubah dunia—membayang di mana mana. Manusia yang di pusat semesta itu juga pandangan yang dianut Iqbal. Setidaknya dalam sajak ini, ketika ia berbicara dengan Tuhan:

Paduka buat malam, aku buat sinar

Paduka buat lempung, aku buat poci tembikar

Itu suara khas semangat modern: angkuh, yakin. Ketika itu yang suci sebenarnya tak teramat menggetarkan dan tak teramat berarti lagi.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus