Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rajawali Menukik di Rumah Kontrakan

Perusahaan yang memanfaatkan deposito setoran awal haji ditengarai abal-abal. Identitas pemilik dan alamat kantor tak jelas.

6 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ruang tamu, lelaki itu menemani dua anaknya bermain. Kausnya abu abu, celananya pendek biru. Bukan ­sekadar tempat tinggal, rumah di Kom­pleks Villa Mas, Batam, itu merupakan kantor bagi sang lelaki, Andreas Bambang Armanto.

Andreas adalah Direktur Utama PT Daestra Rajawali Perkasa, perusahaan yang beralamat di rumah itu. Tapi tak ada papan nama ataupun meja kerja. ”Ini bukan rumah sendiri, saya masih­ kontrak,” kata pria 43 tahun ini kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Ia lalu menunjuk sedan BMW biru laut di garasi rumah. ”Itu juga belum lunas cicilannya.”

Lulusan Institut Kesenian Jakarta ini baru pindah ke Batam enam bulan lalu. Di sana ia menjalankan aneka usaha: bengkel, penyewaan mobil, penyelenggara acara seminar, pesta pernikahan, dan ulang tahun. Dalam situs iklan baris Batam, Daestra berpromosi sanggup mendatangkan model, artis, dan pelawak Ibu Kota buat memeriahkan acara yang ditanganinya. Andreas mengaku kenal banyak artis di Jakarta. Bahkan kini ia mengatakan sedang menggarap film. ”Judulnya Cewekku Tomboy,” katanya.

Sepi order dan sempat kena tipu Rp 200 juta, perusahaan berlambang rajawali hitam terbang menukik ini akhirnya kandas. Andreas banting setir ke bisnis batu bara. Lagi lagi ia memasang iklan baris di situs Internet, mencari staf pemroses data.

Menurut istri Andreas, Dara Juwita, suaminya jarang di rumah. Ia bolak balik Jakarta mencari koneksi buat meluaskan sayap bisnis batu baranya. Andreas mengaku tak punya lahan tambang ataupun kapal tongkang. ”Saya ini cuma broker,” ujarnya.

Di bisnis ini usaha Andreas tampaknya ”lancar”. Ia menunjukkan tiga buku tabungan di Bank Mandiri, Bank BCA, dan Bank Danamon. Total isi rekeningnya sekitar Rp 235 juta.

Pada Maret lalu, Andreas mendapat­kan ”proyek kakap”. Ia mengikat kontrak kerja dengan pengusaha batu ba­ra lain. Dalam dokumen yang diper­oleh Tempo, Daestra meneken akta pin­jaman­ dengan jaminan deposito Rp 2 tri­liun kepada PT Keranggo Bakti Persada. Anehnya, deposito itu atas nama Men­teri Agama dan merupakan penempatan setoran awal jemaah haji di Bank BNI.

Keranggo adalah perusahaan yang didirikan Suharto, Ermawan Guntoro, dan Willem Soplantila pada Oktober 2000 di Jakarta. Ketiga pemilik perusahaan itu berpatungan uang Rp 450 juta buat modal awal. Suharto ditunjuk menjadi direktur utama, Ermawan direktur, dan Willem komisaris.

Ermawan mengaku namanya cuma dipinjam oleh Willem buat mendirikan Keranggo. Willem ketika itu meminjam KTP dengan imbalan komisi atau proyek yang dapat dijaring Keranggo. ”Jadi saya tidak setor modal ataupun jadi direktur,” kata Ermawan, yang juga pernah berbisnis batu bara.

Menurut Ermawan, Keranggo tak mengantongi izin Kuasa Pertambang­an, bahkan duit para pendiri pun terbilang pas pasan. Merasa Willem tak memenuhi janji membagi proyek, Ermawan mengatakan hengkang pada tahun tahun awal perusahaan ini. Sejak itu keduanya jarang bertemu. ”Tiga tahun lalu Willem pernah menelepon saya, katanya ada bisnis di Padang.”

Pada 2008 Keranggo tercatat jadi mitra PT Citra Persada Energytama, yang menjajakan jasa pengiriman batu bara. Keranggo kebagian proyek mengangkut batu bara dari Pelabuhan Teluk Bayur, Sumatera Barat, menuju Pelabuh­an Belawan, Sumatera Utara. Tak jelas betul cara mereka mengangkut batu bara dari pesisir barat Sumatera menuju pantai timur pulau tersebut.

Belakangan bisnis tersebut bubar lantaran Direktur Utama Citra Persada Achmad Nazir dihukum penjara lima tahun oleh Pengadilan Negeri Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Ia dinya­takan terlibat kasus korupsi dana PT Pos Indonesia, yang diduga merugikan negara Rp 40 miliar.

Perusahaan tersebut, bersama PT Pos cabang Banjarbaru, memakai dana dari kantor pusat buat berdagang batu bara. Padahal perusahaan pelat merah itu tak bergerak di usaha pertambang­an. Uangnya hanya boleh dipakai untuk usaha pergudangan, transportasi, dan paket udara.

Dalam arsip Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Keranggo tercatat beralamat di Blok N Perumahan Cipinang Indah, Jatinegara, Jakarta Timur. Namun di alamat hanya ada rumah kosong dengan rumput liar me­ninggi di halaman. Kaca jendelanya dilapisi debu pekat, sementara langit langit terasnya ambrol dihajar hujan. Lembaran tagihan air menumpuk bersatu dengan kartu rekening listrik atas nama Indarini. ”Rumah itu sudah belasan tahun kosong,” kata Puji, yang tinggal di seberang rumah tersebut.

Ermawan membenarkan Keranggo pernah membuka kantor di daerah Ci­pinang. Namun, seingatnya, Willem sempat memindahkan kantornya ke ­Gedung Hias Rias, Cikini, Jakarta Pusat. Di gedung empat lantai yang kini hanya dipakai dua lantai terbawahnya itu pun hanya ada kantor pengacara, biro wisata, penjual tas, dan salon. Tak ada kantor Keranggo. Petugas keaman­an dan kebersihan gedung juga tak mengenal ada penyewa bernama Willem.

Dalam surat kesepakatan Daestra, yang membubuhkan tanda tangan untuk Keranggo adalah Syarip Djumadi. Ia menyatakan diri sebagai Direktur Utama Keranggo dan tinggal di Jalan Bhineka Raya, Cawang Baru Tengah, Jakarta Timur.

Namun rumah yang dimaksud Syarip itu ternyata gudang sebuah usaha jual beli mobil. Adi, salah seorang karyawan di tempat itu, mengatakan bahwa rumah sudah dibeli bosnya lima tahun lalu.

Menurut ketua RT setempat, Lisan, ada dua nama Syarip di rumah itu. Sang ayah bernama Syarip Djumadi, sudah meninggal dunia belasan tahun lalu, tapi ada putranya yang juga bernama Sya­rip Djumadi. ”Syarip yang anak itu teman main saya waktu kecil,” kata Lisan. ”Tapi sudah lama pindah ke Malang.”

Beberapa warga membisikkan adik bungsu Syarip, Heni, tinggal tak jauh dari rumah tersebut. Tapi Heni, yang ditemui pada Kamis pekan lalu, mengaku sudah lima tahun tak bertemu abangnya. Sejak penjualan rumah keluarga di Jalan Bhineka lima tahun lalu, Heni tak pernah lagi bertemu pria berusia 59 tahun itu. ”Hubungan dia dengan keluarga tidak baik,” ujarnya.

Heni tak tahu menahu pekerjaan kakaknya itu. Yang jelas, Syarip terus berpindah pindah rumah. Keluarga sempat mendengar Syarip tinggal di Surabaya, Makassar, Jambi, dan terakhir kabarnya ia menetap di Hong Kong.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia Bob Kamandanu tak mengenal Keranggo. Asosiasi ini menaungi pengusaha batu bara mulai dari pemain besar sampai konsultan kecil, ”Tapi saya belum pernah mendengar nama Keranggo,” ujarnya. ”Seper­tinya bukan anggota kami.”

Bob menjelaskan, perusahaan pertambangan batu bara jumlahnya tak terhitung. Bahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tak punya data yang lengkap. Tak sedikit, kata Bob, mereka pebisnis baru yang ber­usaha meraup untung cepat. ”Malah ada yang tadinya bisnis restoran kini masuk ke batu bara,” ujarnya. ”Orang cepat tergiur pada bisnis ini karena menduga bisa mendapat uang cepat.”

Oktamandjaya Wiguna (Jakarta), Rumbadi Dalle (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus