Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA menteri sengaja membawa pimpinan badan usaha milik negara ke lokasi tambang PT Freeport Indonesia di Mimika, Papua, pertengahan September lalu. Ketiganya ingin perusahaan pelat merah itu bisa menjalin kongsi dengan Freeport. "Kami ingin Freeport memberi keuntungan lebih besar bagi Indonesia," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, yang ikut dalam kunjungan itu.
Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sofyan Djalil menemani Sudirman. Adapun rombongan BUMN terdiri atas, antara lain, Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk Milawarma, Direktur Utama PT Semen Indonesia Tbk Suparni, Direktur Utama PT Pindad Silmy Karim, dan Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto.
Kunjungan itu tak lama kemudian membuahkan hasil. Bukit Asam memperoleh kesepakatan awal untuk memasok batu bara ke pembangkit listrik tenaga uap milik Freeport. Adapun Pindad dan Bahana akan memasok bahan peledak kebutuhan pertambangan. Pemerintah juga berharap perusahaan asal Amerika Serikat itu segera menggunakan semen produksi Semen Indonesia. Pendek kata, Freeport diharapkan bisa berbagi rezeki dengan perusahaan negara.
Tak cuma menjalin kongsi, pemerintah juga berharap Freeport segera membagi saham melalui divestasi. Proses divestasi itu semestinya dimulai bulan ini. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Bambang Gatot mengatakan Freeport harus menawarkan sahamnya kepada pemerintah lebih dulu. "Pemerintah urutan pertama, kemudian BUMN, BUMD, dan terakhir swasta," ujar Bambang, Senin pekan lalu.
Pada tahap awal, kepemilikan nasional yang saat ini 9,36 persen akan ditingkatkan menjadi 20 persen. Artinya, jumlah saham yang akan dilepas pada divestasi kali ini sekitar 10,64 persen. Divestasi akan berlanjut pada Oktober 2019, sehingga porsi kepemilikan nasional mencapai 30 persen.
Aturan mengenai divestasi sebenarnya telah tertuang dalam Kontrak Karya II Freeport yang diteken pada Desember 1991. Pasal 24 kontrak ini mengharuskan perusahaan tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di Indonesia itu melepas kepemilikan dalam dua tahap. Pertama, menjual saham kepada perusahaan nasional 9,36 persen dalam sepuluh tahun pertama sejak 1991. Kewajiban divestasi tahap kedua dimulai per 2001. Pada tahap kedua, Freeport harus menawarkan sahamnya sebesar 2 persen per tahun hingga kepemilikan nasional menjadi 51 persen.
Divestasi tahap pertama terealisasi tak lama setelah Kontrak Karya II diteken. Sebanyak 9,36 persen saham Freeport berpindah ke tangan swasta nasional, PT Indocopper Investama Corporation, milik kelompok usaha Bakrie. Setahun kemudian, Desember 1992, Freeport membeli 49 persen saham Indocopper. Walhasil, kepemilikan Bakrie Group di Indocopper menjadi 51 persen. Pada awal 1997, Bakrie melepas saham Indocopper kepada PT Nusamba Mineral Industri, milik pengusaha Mohammad "Bob" Hasan.
Berbeda dengan divestasi pertama, kewajiban divestasi tahap kedua berantakan karena pemerintah Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Aturan itu membolehkan perusahaan asing mendirikan perusahaan baru (anak perusahaan) di Indonesia. Mereka diizinkan membeli saham perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal dalam negeri.
Sejak itulah proses divestasi Freeport mandek—hingga sekarang. Jika tak ada perubahan aturan, semestinya pada tahun ini pihak Indonesia sudah menguasai 39,36 persen saham Freeport Indonesia. Faktanya, kepemilikan nasional tak bergerak dari angka 9,36 persen.
Agar divestasi kembali berjalan, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 mengenai Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Ketentuan baru inilah yang mewajibkan pemegang kontrak karya, termasuk Freeport, mendivestasikan kembali sahamnya hingga 20 persen. Kewajiban divestasi itu harus dilaksanakan paling lambat satu tahun setelah peraturan tersebut diundangkan pada 14 Oktober 2014.
Artinya, Rabu pekan lalu merupakan tenggat bagi Freeport untuk memasukkan penawaran kepada pemerintah. Tapi, hingga akhir pekan lalu, belum ada surat penawaran yang masuk ke Kementerian Energi. Juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, membenarkan kabar bahwa Freeport belum menyampaikan penawaran kepada pemerintah. Ia berkilah tidak tahu tenggat 14 Oktober itu didasarkan atas apa.
Menurut Riza, Freeport menunggu hasil revisi Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 yang tengah dilakukan pemerintah. Selain mengatur tahapan dan tata waktu divestasi, Freeport menunggu kepastian mekanisme pelepasan saham. Soalnya, Freeport ingin divestasi dilakukan dengan melepas saham kepada publik melalui pasar saham atau initial public offering (IPO). Alasannya, mekanisme tersebut lebih transparan dan akuntabel.
Kementerian Energi menyambut keinginan Freeport. Menurut anggota staf khusus Menteri Energi, Said Didu, kementeriannya ada kemungkinan menambahkan poin IPO sebagai alternatif pelaksanaan divestasi dalam usul revisi Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014. "Kalau pemerintah tidak mau, BUMN tidak mau (beli saham), ya sudah, IPO saja," ujar Said.
Ide divestasi melalui jalur IPO memicu reaksi. Direktur Eksekutif Indonesian Resources Strategic Studies Marwan Batubara, misalnya, menolak alternatif IPO. Ia khawatir penjualan saham melalui pasar modal akan memperbesar kepemilikan asing di Freeport. "Jangan biarkan Freeport melakukan IPO di bursa saham," katanya.
Marwan menyarankan pemerintah membentuk perusahaan patungan yang melibatkan BUMN untuk membeli saham Freeport. Konsorsium diperlukan untuk memperkuat pendanaan saat mengambil alih saham nanti. Ia menambahkan, perusahaan patungan juga bisa menjadi sarana masuknya bagian pemerintah daerah dalam kepemilikan Freeport secara tak langsung.
Sebagai perusahaan pelat merah, PT Aneka Tambang Tbk menyatakan siap bila ditunjuk pemerintah terlibat dalam divestasi Freeport. Direktur Utama Antam Tedy Badrujaman bahkan menyebutkan, tanpa penunjukan atau penugasan dari pemerintah, Antam siap berkompetisi. Antam, kata dia, akan bekerja sama dengan pihak lain untuk menutup kebutuhan pendanaan.
Berbeda dengan Antam, Bukit Asam cenderung pasif. Sekretaris Perusahaan Joko Pramono mengatakan perusahaannya sejauh ini hanya membahas soal pasokan batu bara ke pembangkit Freeport. Belum ada pembicaraan lain, termasuk kemungkinan terlibat divestasi.
Kementerian BUMN juga belum bersikap. Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Sampurno memastikan belum ada keputusan menunjuk perusahaan pelat merah terlibat dalam divestasi Freeport. Kementerian BUMN justru menunggu sikap Menteri Energi. "BUMN mana yang akan ditunjuk dan strukturnya seperti apa, perlu persiapan setidaknya satu tahun," ujarnya.
Agar proses divestasi lebih pasti, Sudirman Said memberi sinyal revisi Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 sedang difinalisasi. "Nantinya akan menjadi bagian dari paket deregulasi yang sedang gencar diluncurkan pemerintah," katanya.
Retno Sulistyowati, Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo