Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makam ulama besar asal Gowa, Syekh Yusuf al-Makassari, terletak di sebuah bukit pasir kecil, Fasley Bay, tak jauh dari rumahnya dan Kampung Makassar, Cape Town. Berdasarkan Lontar Bolangngan, Syekh Yusuf lahir di Gowa pada 8 Syawal 1036 Hijriah (3 Juli 1626) dan wafat pada 22 Dzulqaidah 1109 Hijriah (23 Mei 1699) pada usia 73 tahun. Semula dia menjalani pembuangan di Sri Lanka pada September 1684. Syekh Yusuf dibuang bersama 2 istri, 12 anak, dan murid-muridnya.
Belanda membuang Syekh Yusuf setelah menangkapnya di Cirebon, Jawa Barat. Penangkapan ini bermula dari keterlibatannya membantu Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda. Syekh Yusuf saat itu bukan hanya menantu sultan, tapi juga ulama tertinggi kerajaan. "Beliau sangat terlibat dengan dinamika politik Kerajaan Banten. Dia ulama yang aktivis seperti halnya Abdullah An-Sinkili, guru Syekh Yusuf di Kerajaan Aceh," ujar Profesor Dr Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Berita penangkapan Syekh Yusuf membuat Belanda khawatir membangkitkan kemarahan pengikutnya. Syekh Yusuf lantas dibuang ke Sri Lanka pada 1684. Meskipun telah dibuang di Sri Lanka, aktivitas Syekh Yusuf dalam bidang agama dan politik masih berjalan. "Sri Lanka merupakan jalur perjalanan haji. Ini dipakai para pengikutnya dan sesama kawan ulama untuk terus menjalin hubungan," ucap Azyumardi.
Di Sri Lanka, Syekh Yusuf menulis beberapa karya besar yang sebagian memakai judul Sylaniyyah (Syailan = Ceylon atau Sarandib, istilah Arab pada Abad Pertengahan untuk menyebut Sri Lanka). Gagal mengisolasi Syekh Yusuf di Sri Lanka, Belanda kemudian membuangnya ke Tanjung Harapan (Cape Town).
Syekh Yusuf tiba di Tanjung Harapan pada usia yang sudah senja, 68 tahun. Dia semula ditempatkan di desa pertanian di Zandvliet, di mulut Sungai Eerste. Tak kurang dari 49 anggota keluarga dan pengikutnya menyertai. Mereka membentuk komunitas kecil yang kemudian dikenal dengan nama Kampung Makassar. "Bersama 12 muridnya, mereka mengadakan kegiatan pengajaran dan ibadah secara diam-diam di pondok mereka," kata Azyumardi. Hasilnya, terjadi peningkatan jumlah pemeluk Islam di kawasan Zandvliet.
Sarjana Evalenglis Belanda, Zwemmer, sampai-sampai menyesalkan kegagalan Petrus Kalden, pendeta dari Gereja Belanda Tua Cape Town, menjadikan Syekh Yusuf sebagai pemeluk Kristen. Menurut Azyumardi, Syekh Yusuf mengembangkan dakwah Islam Nusantara dengan corak budaya Melayu dengan ajaran tarekat Naqsyabandiyah dan Khalwatiyyah sesuai dengan ijazah yang diperolehnya di Arab.
Sepeninggal Syekh Yusuf, ajaran Islam masih tetap hidup meski dijalankan secara diam-diam karena larangan dari Belanda pada 1692-1795. Hampir satu abad sepeninggal Syekh Yusuf, ajaran Islam kemudian lebih hidup sejak datangnya ulama buangan lain, yakni Imam Abdullah bin Qadi Abdussalam, pada 1793. Dia kemudian dikenal sebagai Tuan Guru. Ia merupakan Pangeran Tidore, tawanan negara bersama pengikutnya, Abdol Rauf,Noro Iman,danBadrodien.
Sebelum dibuang ke Cape Town, Tuan Guru ditawan di Pulau Robben selama 13 tahun sejak 1780. Di sana ia membuat tulisan mengenai yurisprudensi Islam. Dia pun mendirikan madrasah secara terbuka di Jalan Dorp. Menurut sejarawan Cape Town, Ebrahem Rhoda, kegiatan dakwah terbuka Tuan Guru ini untuk mengimbangi gencarnya misionaris Belanda. Kegiatan Tuan Guru mendapat lampu hijau setelah pemerintah baru Inggris mengizinkannya mengubah sebuah gudang menjadi Masjid Auwal dan menjadi imam masjid pada 1795.
Tuan Guru meninggal pada 1807 dan dimakamkan di Tana Baru, Bokaap, Cape Town. Metode dakwah yang dikembangkan agaknya cukup berhasil. Menurut laporan John Campbell dari London Missionary Society pada 1812, pemeluk Islam meningkat pesat di Cape Town. Lima masjid berdiri sebagai tempat ibadah mereka. Selain Syekh Yusuf dan Tuan Guru, ada ulama dan syekh yang dibuang hingga meninggal di sana, antara lain Syekh Matura (Pangeran Cakraningrat IV dari Kerajaan Madura yang dimakamkan di Pulau Robben) dan Syekh Abdurrahman dari Padang (dimakamkan di Constantia, Cape Town).
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo