Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mintardjo dan Sepenggal Cerita Gerwis

Seorang perupa Indonesia yang bermukim di Belgia menyuguhkan karya foto, video, dan instalasi tentang korban peristiwa 1965.

8 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mintardjo, eksil yang tinggal di Leiden, Belanda, terlihat muram. Ia duduk dan menatap datar tanpa bicara. Presiden Sukarno mengirim Mintardjo untuk mengikuti youth forum di Finlandia sebelum gempa politik pada 1965 terjadi. Mintardjo adalah kiper sepak bola berprestasi yang mendapat kesempatan bertemu dengan kalangan muda cemerlang dari banyak negara.

Ia pernah bekerja di Rumania. Hampir 35 tahun ia tak bisa pulang ke Indonesia. Ia terpisah dari keluarga dan sanak saudara. Pada 2000, setelah Presiden Soeharto lengser, Mintardjo pulang ke Indonesia untuk bertemu dengan ibunya yang sakit.

Gambaran tentang Mintardjo itu terekam dalam video dokumenter karya Elisabeth Ida Mulyani, alumnus master of visual arts dari Royal Academy of Fine Arts Belgia. Elisabeth memutar video dokumenter berjudul Supervivere tersebut dalam diskusi publik bertajuk "Karya Visual sebagai Ruang Alternatif Narasi '65" di Lembaga Studi Realino, Mrican, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pada 29 Januari lalu.

Mintardjo meninggal pada 17 Desember 2015 di tempat kelahirannya di Purworejo, Jawa Tengah. Ia sempat dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih dan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. "Pak Mintardjo sangat cinta Indonesia. Dia berkukuh tidak mau jadi warga Belanda," kata Elisabeth. Elisabeth mewawancarai 10 eksil yang tinggal di Belanda dan Swedia selama 30-35 tahun dalam video itu. Mereka antara lain Warsito, Tom Iljas, Syarkawi, Sukamto, Sarmadji, Ibrahim Isa, Kuslan, dan Mintardjo. Paspor para eksil itu dicabut ketika peristiwa politik 30 September 1965 pecah.

Proses pembuatan karya video itu dilakukan Elisabeth sepanjang 2012-2015. Ia keliling ke Jerman dan Prancis untuk menemui sejumlah eksil. Elisabeth memotret keseharian mereka. Ada yang sedang membuat kopi, ada yang hanya termenung dan duduk di antara buku-buku. Ada foto eksil yang sedang berdiri di depan rumah. Ada juga foto eksil yang berdiri membelakangi kebun bunga dan foto kuburan para eksil di Swedia. "Untuk mendengar cerita dari para eksil, saya kerap menginap di rumah mereka," ujarnya.

Elisabeth juga menciptakan kolase foto berjudul Indonesia Sejak Saat Itu. Ia berkolaborasi dengan ilustrator asal Inggris, Derek Bacon. Karya yang diciptakan pada 2015 ini menggambarkan siswa sekolah yang berbaris, pohon beringin, dan burung garuda. Lewat kolase foto itu, Elisabeth menjelaskan bagaimana di era Soeharto masyarakat diajak untuk seragam dan tidak dibiasakan punya perbedaan pendapat.

Mendampingi narasi visual Elisabeth, Dewi Candraningrum, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, melukis salah satu pendiri Gerakan Wanita Istri Sedar atau Gerwis Boyolali, Jawa Tengah. Gerwis adalah cikal-bakal Gerwani. Dewi melukis Suti, 95 tahun, tokoh penting Gerwis Boyolali, di rumahnya pada 30 Januari lalu. Suti tinggal di Kecamatan Musuk, Boyolali. Dewi memberi judul karyanya "Suti" Plight of Gerwani. Karya berwarna hitam-putih itu menggunakan bahan charcoal on paper.

Suti melewati serangkaian kekerasan dan hampir terbunuh ketika peristiwa 1965 pecah. Gerwis adalah salah satu organisasi gerakan perempuan yang memperjuangkan pembagian hak waris yang sama antara perempuan dan laki-laki, anti-poligami, anti-poliandri, dan pro-monogami. Suti bersama perempuan lain mendeklarasikan cabang Gerwis di Musuk, Boyolali, pada 1952.

Dia bersama para perempuan lain gigih mengunjungi desa-desa di Jawa Tengah untuk melakukan kampanye dan memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Suti juga melakukan gerakan pemberantasan buta huruf dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan yang belum bisa membaca. Pada peristiwa 1965, Suti ditangkap karena dianggap sebagai salah satu perempuan yang aktif dan membahayakan. Pakaian Suti dilucuti hingga tidak ada satu helai pun kain di tubuhnya. Rambutnya yang panjang menutupi kemaluannya.

Ada 19 orang yang ditangkap tentara ketika peristiwa itu. Mereka dibawa ke tempat yang sudah digali menjadi lubang yang cukup besar. Mereka dibunuh menggunakan senapan. Hanya Suti satu-satunya perempuan dari 19 orang itu yang selamat.

Shinta Maharani (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus