Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nisan-nisan Arab Pegon di Port Elizabeth

Sebuah permakaman Islam tua terdapat di Port Elizabeth, ibu kota Provinsi Eastern Cape, Afrika Selatan. Selama ini tidak diketahui itu makam-makam siapa. Huruf Arab pada nisan-nisannya tak dapat dipahami. Seorang peneliti Indonesia datang ke Afrika Selatan dan berhasil membaca huruf di nisan itu. Ia memastikan itu adalah makam-makam keturunan ulama Indonesia yang berada di Afrika Selatan. Dulu Belanda banyak membuang kiai Nusantara yang menentang pemerintahan kolonial ke Afrika Selatan. Termasuk Syekh Yusuf, yang makamnya kini di Cape Town, Afrika Selatan, dianggap keramat oleh kalangan muslim Afrika.

8 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tepat di seberang gedung merah milik Mandala Bay Development Agency, sebelum percabangan Lower Valley Road dan Baakens Street, Port Elizabeth, Cape Timur (Eastern Cape), Afrika Selatan, terdapat area terbuka berlapis rumput hijau yang lebih tinggi sekitar dua meter dari badan jalan. Di antara rerumputan itu, menyembul batu-batu hitam yang jelas terlihat seperti nisan penanda kuburan.

Tak ada nama resmi untuk kompleks permakaman itu sehingga hanya disebut South End Valley Cemetery, sesuai dengan lokasinya yang berada di tengah ibu kota Provinsi Eastern Cape. "Orang-orang yang melewati jalan itu jarang menyadari ada kumpulan batu nisan di sana," tulis seorang bernama Jonker Fourie di sebuah blog lokal, Error! Hyperlink Reference Not Valid, yang mengupas tempat bersejarah di Port Elizabeth.

South End Museum, yang berjarak tak sampai lima menit perjalanan berkendaraan dari sana, juga tak menyimpan banyak informasi seputar makam tersebut. Selentingan menyebutkan South End Valley Cemetery adalah pekuburan muslim yang sudah ada di situ sejak awal South End terbentuk pada 1800-an.

Simpang-siur informasi itu akhirnya terjawab saat tulisan di nisan-nisan tersebut bisa dipahami seorang peneliti yang datang dari jauh. Peneliti itu adalah dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Usman Syihab. Usman datang ke Afrika Selatan. Ia membersihkan makam-makam di South End Valley Cemetery itu dan mencoba membaca hurufnya. Beberapa nisan sampai ia bongkar karena gundukan tanah telah menutupi tulisan di makam. Usman akhirnya bisa membaca 26 batu nisan di permakaman dan memastikan bahwa nisan-nisan itu memiliki kesamaan. "Hampir semua menggunakan bahasa Indonesia yang ditulis dalam aksara Arab," kata Usman.

Usman ingat, kuburan yang paling mencolok di South End Valley Cemetery dikelilingi pagar tembok pendek berwarna putih yang melengkung. Di dalam pagar tembok itu terdapat sebuah nisan dari batu sabak hitam berbentuk persegi panjang dengan tinggi sekitar satu meter. Permukaan nisan dipenuhi ukiran huruf Arab gundul dalam bingkai tiang dan kubah masjid berujung bulan sabit. Terbaca jelas pada bagian atasnya "Bismillahirrahmanirrahim" dalam kaligrafi berliku. Tepat di bawahnya adalah ukiran dua kalimat syahadat diikuti "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun" (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali) laiknya ucapan saat muslim meninggal.

Usman terus membaca kalimat-kalimat di nisan. Masih hangat dalam ingatannya kalimat-kalimat berikutnya ditulis dalam huruf Arab tapi kata-katanya berbahasa Melayu-Indonesia.

"...Tuan Imam Haji Abu Rafi yang sudah menetapkan syari'at nabi kita Sayyidina Muhammad...."

Usman langsung mengenali tulisan itu menggunakan aksara yang disebut Arab Pegon. Gaya ini banyak dipakai dalam penulisan kitab setelah Islam masuk ke Nusantara dan sebelum Belanda berkuasa.

Menurut Usman, ukiran di nisan menjelaskan secara rinci siapa Tuan Imam Haji Abu Rafi, si pemilik makam. Ia tokoh asal Jawa yang menyebarkan Islam di Algoa Bay, nama lama untuk Port Elizabeth. Abu Rafi berdakwah selama 42 tahun di sana hingga akhirnya meninggal pada usia 71 tahun pada 1277 Hijriah (1856 Masehi).

Nisan-nisan lain di permakaman itu juga ditulis dalam campuran kalimat bahasa Indonesia dan potongan ayat Al-Quran. Nisan tertua adalah milik Nabi Saniyah, istri Haji Awaludin bin Abdullah, yang wafat 30 tahun sebelum Abu Rafi.

* * * *

Jejak Nusantara di Afrika Selatan banyak dikaji terutama yang berkaitan dengan Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantami. Ia pangeran asal Gowa, Sulawesi Selatan, yang diyakini sebagai pembawa Islam ke Afrika Selatan. Syekh Yusuf diasingkan Belanda ke Tanjung Harapan (Cape Town).

Di tanah pengasingannya, Syekh Yusuf terus mengobarkan api perjuangan dan menyebarkan Islam. Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, beberapa ratus tahun kemudian, menjuluki Syekh Yusuf sebagai salah satu putra terbaik Afrika Selatan. Kota Zandvliet kini dikenal dengan nama Macassar untuk mengenang tempat kelahiran sang syekh.

Keberadaan nisan-nisan bertulisan aksara Arab itu sebenarnya diketahui sejak dulu oleh komunitas muslim Afrika yang memiliki akar leluhur dari Indonesia. Mereka menamakan diri Cape Melayu. Ada sekitar 700 ribu warga Cape Melayu di Western Cape dan 300 ribu di Eastern Cape. Komunitas ini terbentuk tiga abad lalu saat Belanda menjadikan semenanjung Afrika itu sebagai tempat buangan tahanan politik dari Indonesia.

Tapi selama ini kajian terhadap nisan-nisan Islam Nusantara itu lebih banyak dilakukan di Western Cape, yang beribu kota di Cape Town. Penelitian makam-makam yang berada di Eastern Cape belum tuntas dilakukan. Selain di Port Elizabeth, di Eastern Cape makam-makam kuburan orang Nusantara ada di kota kecil Uitenhage. Keduanya berjarak ratusan kilometer dari lokasi Syekh Yusuf pertama kali mendarat.

Ketua Eastern Cape Malayo Cultural Society Yusuf Agherdien sudah beberapa kali mengajak cendekiawan Islam menengok nisan-nisan di South End Valley Cemetery. Namun tak satu pun mampu mengungkap makna tulisan Arab yang terukir di permukaan nisan. "Para cendekiawan itu fasih berbahasa Arab tapi tak ada yang paham bahasa Indonesia," ucap Yusuf.

Titik terang muncul saat Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk Cape Town periode 2010-2014, Sugie Harijadi, turut menaruh perhatian pada cerita di balik nisan tersebut. Dalam kunjungannya ke Port Elizabeth, Sugie melewati salah satu kuburan tua dan diberi tahu anak buahnya bahwa di sana bersemayam wanita Indonesia asal Jawa. Sugie kecewa karena tak ada informasi tambahan lagi seputar makam tersebut. "Padahal penting untuk mengungkap asal-usul nenek moyang komunitas Melayu di Eastern Cape," ujar Sugie kepada Tempo saat ditemui di kantor Kementerian Luar Negeri, awal pekan lalu.

Sugie lalu mengundang Salman Harun, guru besar dan ahli tafsir UIN Syarif Hidayatullah, dalam program Safari Ramadhan di Cape Town. Di sela-sela kegiatannya berceramah pada 2010-2011, Salman diminta membaca dan mentranskrip batu nisan yang ada di tengah Kota Port Elizabeth. Ia mengetahui bahwa nisan-nisan tersebut ditulis dalam Arab Pegon dari Jawa. Namun Salman, yang berasal dari Sumatera Barat, kesulitan memahami tulisan tersebut.

Tahun berikutnya, barulah Usman Syihab didatangkan. Usman, yang fasih berbahasa Arab dan Inggris serta berdarah Jawa, dengan segera dapat memahami tulisan-tulisan di nisan. Total ada 65 nisan yang bisa dibaca dan ditranskrip Usman. Nisan-nisan itu tak hanya yang berada di South End Valley Cemetery, tapi juga di Jubilee Park Cemetery, yang berada di Kota Uitenhage, dan yang dipajang di Saabireen Islamic Library.

Pembacaan nisan dilakukan Usman dalam dua kali kedatangan ke Afrika Selatan. Sebagian besar nisan masih utuh karena terbuat dari bahan slate yang kuat. Hanya, ada yang sudah terkubur di tanah atau tertutupi lumut. Usman menggali dan menggosok nisan agar tulisannya terbaca. Ia mendapat bantuan dari Yusuf Agherdien dan anaknya, Abdalah Agherdien, serta sejumlah pekerja lokal.

Temuan penting yang diungkap Usman dalam penelitian ini adalah informasi dari makam Tuan Imam Haji Abu Rafi di South End Valley Cemetery dan makam Imam Jabaruddin bin Isamuddin di Jubilee Park Cemetery. Dua nama ini sudah tercatat dalam sejarah masuknya Islam ke Eastern Cape, tapi hanya secuil keterangannya. Pembacaan Usman memberi lebih banyak informasi tentang riwayat dua orang tersebut.

Tuan Imam Abu Rafi dan saudaranya, Imam Abu Salie, dikenal sebagai leluhur komunitas muslim di Port Elizabeth. Keduanya lahir di Cape Town dari ayah yang asli berdarah dan lahir di Indonesia. "Keturunan keduanya masih bisa dilacak hingga saat ini di Port Elizabeth," kata Yusuf Agherdien. Pada 1855, Abu Rafi berjasa dalam mengamankan lahan untuk permakaman komunitas muslim dengan melobi Kantor Sekretariat Koloni di Cape Town. Lahan itu yang kini menjadi South End Valley Cemetery.

Adapun nama Imam Jabaruddin, yang makamnya berada di Jubilee Park Cemetery, telah tercantum dalam sebuah prasasti di Masjid Al-Qudama, Uitenhage. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa masjid dibangun oleh Imam Jabaruddin dari Jawa pada 1845. Ia juga menjadi imam pertama di sana. Dari nisannya diketahui bahwa Jabaruddin wafat 18 tahun setelah mendirikan masjid tersebut.

Fakta lain yang terungkap dari pembacaan nisan adalah kaitan antara Imam Jabaruddin dan nama Bardien, yang menjadi salah satu fam alias nama keluarga yang terus dipakai hingga saat ini di komunitas muslim Afrika Selatan. Usman menyimpulkan bahwa Imam Jabaruddin adalah leluhur keluarga Bardien. Makam seorang perempuan bernama Aisha Bardien, yang meninggal 56 tahun lalu dan dikubur berdekatan dengan makam Imam Jabaruddin, menguatkan keyakinan Usman. "Diduga kuat Aisha Bardien adalah cucu Imam Jabaruddin," ujar Usman.

Nisan-nisan yang bisa dibaca berusia 100-200 tahun. "Dari bacaan di batu nisan, terlihat bahwa mereka yang dimakamkan adalah imam, orang yang berpengetahuan, dan ulama," kata Usman. "Bukan budak."

Keunikan tulisan di nisan tersebut tak hanya karena ditulis dalam Arab Pegon. Huruf-huruf yang terukir membentuk narasi yang tak sekadar menyebutkan nama dan tahun wafat si empu nisan, tapi juga riwayat hidupnya. "Seolah-olah ada kesadaran bahwa mereka hidup di tanah asing yang jauh dari tempat lahir sehingga penting untuk mengabadikan riwayat mereka," ucap Usman.

Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Arismunandar, mengatakan, menulis narasi tentang riwayat hidup di batu nisan memang umum dilakukan pada masa-masa pengasingan oleh Belanda. "Demi mengingat tanah leluhur dan menjaga identitas mereka," ujarnya.

Menurut Agus, penelitian atas nisan-nisan di Eastern Cape menarik karena selama ini referensi yang ada lebih banyak berbicara tentang Syekh Yusuf al-Makassari. Pembacaan nisan, kata Agus, harus didukung dengan studi literatur atau penelitian cerita rakyat yang berkembang di sekitar area permakaman agar lebih mengungkap sejarah di balik makam-makam itu.

Sugie Harijadi dan Usman sepakat penelitian tersebut tak boleh berhenti sampai di sini. Penelusuran ini dibukukan Sugie dan Usman dalam buku berjudul Membaca Beberapa Batu Nisan Tua: Melacak Warisan Masyarakat Cape Melayu di Afrika Selatan dan Hubungannya dengan Indonesia. Buku itu dibagikan ke kampus-kampus dan komunitas baik di Afrika Selatan maupun Indonesia dengan harapan ada yang tergerak menggali lebih dalam riwayat migrasi tokoh-tokoh Nusantara ke semenanjung Afrika.

Buku tersebut juga jadi modal bagi Yusuf Agherdien dan komunitas Cape Melayu untuk menjaga peninggalan leluhur mereka. Yusuf saat ini sedang memperjuangkan agar permakaman tersebut ditandai sebagai situs bersejarah. "Kami juga ingin membuat plakat agar diketahui bahwa makam tersebut merupakan warisan Melayu yang berasal dari Indonesia," ujar Yusuf.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus