Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Cape Melayu di Ujung Afrika

Keturunan orang Nusantara di Afrika Selatan dikenal dengan sebutan Cape Melayu. Malaysia juga mengklaim bahwa mereka berasal dari wilayahnya.

8 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA sambutan Muttaqin Raqieb asal Afrika Selatan menyentuh hati peserta Kongres Diaspora kedua di Jakarta Convention Center pada 2013. Keturunan garis kelima Tuan Guru itu berterima kasih kepada Konsulat Jenderal Republik Indonesia untuk Cape Town karena telah membawanya pulang ke tanah leluhurnya. "Saya dipisahkan dari tanah ini akibat penjajahan Belanda selama 350 tahun," kata Raqieb saat kongres itu sebagaimana ditirukan Konsul Jenderal RI untuk Cape Town periode 2010-2014, Sugie Harijadi.

Tuan Guru adalah julukan bagi Imam Abdullah bin Qadi Abdussalam, pangeran dari Kerajaan Tidore. Ia salah satu yang dibuang Belanda ke Tanjung Harapan (Cape Town) pada 1780 karena menggerakkan perlawanan. Saat dipenjara di Robben Island, Tuan Guru terus menyebarkan ajaran Islam. Julukan Tuan Guru ia dapat karena menjadi peletak dasar pendidikan Islam di Afrika Selatan dengan mendirikan madrasah dan Masjid Auwal, yang merupakan masjid pertama di sana.

Pernikahan Tuan Guru dengan warga lokal membuahkan dua putra, Abdul Raqieb dan Abdul Rauf. Keturunan Tuan Guru terus bertahan hingga saat ini dan menjadi bagian dari komunitas Cape Melayu di Afrika Selatan. Setelah tiga abad, anak-cucu para eksil itu masih mempertahankan kerinduan mereka pada tanah tempat leluhurnya dilahirkan. "Indonesia is my home country," ucap Raqieb.

Konsul Jenderal Sugie Harijadi menyebutkan ada lebih dari dua juta anggota komunitas keturunan Indonesia di Afrika Selatan. Mereka dikenal dengan sebutan Cape Melayu. Sebagian besar hidup di dua provinsi di semenanjung Afrika Selatan, yaitu Western Cape, yang beribu kota di Cape Town, dan Eastern Cape, yang beribu kota di Port Elizabeth. Mayoritas anggota komunitas ini masih bertahan memeluk agama Islam.

Perayaan demokrasi Afrika Selatan yang dimulai dengan pemilihan umum pertama pada 1994 sekaligus menandai 300 tahun masuknya Islam ke semenanjung Afrika. Kedatangan Islam dipercaya bertepatan dengan tibanya Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantami di Tanjung Harapan pada 1694. Syekh Yusuf diasingkan ke sana bersama 2 istri, 12 anak, dan 12 imam karena gigih membantu perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa. Syekh Yusuf adalah bangsawan Kerajaan Gowa yang menikah dengan putri pemimpin Kesultanan Banten itu.

Bersama 12 imam yang dijuluki Slammajer, Syekh Yusuf menjadi pelopor penyebaran agama Islam sekaligus meleburkan tradisi Nusantara pada kebudayaan lokal. "Beberapa orang Indonesia yang dikirim ke Cape Town berandil besar dalam membentuk sejarah dan kebudayaan Afrika Selatan," kata Sugie. Jejak-jejak budaya Indonesia di Afrika Selatan dapat ditemui pada bahasa Afrikaan, salah satu bahasa nasional. Ada lebih dari 300 perbendaharaan kata dalam bahasa Afrikaan yang berasal dari bahasa Melayu.

Ketua Eastern Cape Malayo Cultural Society Yusuf Agherdien, 60 tahun, berujar komunitas muslim Melayu masih berupaya keras mempertahankan tradisi Melayu. "Kami ingin menjaga tradisi dari leluhur kami yang berasal dari Indonesia," ucap Yusuf dalam pesan tertulis kepada Tempo. Beberapa kata bahasa Indonesia masih sering mereka gunakan sehari-hari. "Kami biasa mengatakan 'terimah kasih, baca, tulis, Labaran, maningal (meninggal), selamat jalan', dan 'jamban'," tutur Yusuf.

Selayaknya di Indonesia, mayoritas mereka menganut mazhab Imam Syafi'i. Anak-anak mengikuti kelas madrasah yang diadakan pada sore hari seusai jam sekolah normal. Perayaan maulid Nabi, yang disebut Moulood, diselenggarakan dengan meriah sesuai dengan kalender Islam.

Komunitas yang diketuai Yusuf tersebut berdiri setelah Afrika Selatan menjadi negara demokrasi. Sebelumnya, kata Yusuf, di bawah pemerintahan apartheid, mereka kesulitan melakukan apa pun. Kini mereka dapat berfokus menjaga dan mempromosikan tradisi Melayu di wilayah Timur semenanjung Afrika. Yusuf pula yang gencar mendesak agar leluhur mereka dilacak hingga akarnya. Tempat tinggal Yusuf di Port Elizabeth, Eastern Cape, berjarak sekitar 600 kilometer dari Kampung Makassar di Western Cape—tempat Syekh Yusuf al-Makassari dulu menetap.

Hubungan dengan komunitas Cape Melayu dicoba dibina dengan baik oleh perwakilan Indonesia di sana. Sugie Harijadi mengatakan ia rutin menggelar Safari Ramadhan dengan mendatangkan ustad dari Indonesia untuk mengisi pengajian di masjid-masjid setempat dan mengisi ceramah di radio lokal. Komunitas ini juga menjadi pasar untuk memasarkan produk-produk Indonesia yang terkait dengan kehidupan umat Islam, seperti pakaian muslim buatan Jawa Barat dan makanan kemasan halal dari Tanah Air.

Walau begitu, tak selalu mudah berurusan dengan komunitas tersebut. Cape Melayu, kata Sugie, terbagi menjadi banyak faksi ibarat kubu-kubu dalam partai. Ada komunitas tertentu yang mendompleng nama Melayu hanya demi mendapat dana segar dari pemerintah. Istilah Melayu yang tersemat dalam komunitas ini juga sering kali menjadi polemik. Malaysia mengklaim Melayu yang dimaksudkan berasal dari negeri mereka. Upaya negeri jiran merangkul kelompok ini juga lebih gencar karena hubungan diplomatik Malaysia dan Afrika Selatan dimulai jauh sebelum Indonesia menempatkan perwakilan di sana.

Meski telat langkah dibanding Malaysia, penggalian hubungan sejarah komunitas muslim Melayu Afrika Selatan dengan akarnya di Nusantara terus dilakukan. Pusat kebudayaan Indonesia didirikan di masjid, sekolah, dan akademi, yang diikuti mayoritas komunitas Cape Melayu. Pendokumentasian dan penelitian benda peninggalan leluhur orang Melayu di sana, seperti batu nisan, mulai berjalan. Konsulat Jenderal RI juga membuka kelas bahasa Indonesia untuk membantu anggota komunitas mempelajari bahasa nenek moyangnya. "Mereka harus dirangkul karena inilah diaspora sebenarnya bangsa Indonesia," kata Sugie.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus