Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RESTORAN cepat saji McDonald's di Larangan, Ciledug, Banten, seperti biasa, ramai pada Minggu malam pekan lalu. Satu keluarga merayakan ulang tahun anaknya di ruang khusus yang tersekat dinding kaca. Dalam suasana seperti itulah sejumlah polisi yang kini berbeda institusi bertemu.
Di satu "kubu", duduk Brigadir Jenderal Antam Novambar, yang kini menempati jabatan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Ia datang bersama Komisaris Besar Agung Setia, Kepala Subdirektorat Pencucian Uang Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. Di sisi lain, hadir Komisaris Besar Endang Tarsa, Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Antam dan Agung, menurut sejumlah informasi, membujuk Endang agar bersedia menjadi saksi pada sidang praperadilan penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh komisi antikorupsi. Jadwalnya Rabu pekan lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Endang diminta menyatakan bahwa penetapan tersangka calon Kepala Polri yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat itu dilakukan atas desakan Ketua KPK Abraham Samad dan wakilnya, Bambang Widjojanto.
Choirul Anwar, Manajer McD hari itu, mengatakan menerima laporan dari bawahannya tentang pertemuan tersebut. "Saya dilapori ada polisi dan KPK yang datang, tapi tak tahu apa yang mereka bicarakan," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Antam Novambar membenarkan adanya pertemuan itu dan menyatakan, "Itu pertemuan kedua setelah pada Sabtu malam di tempat yang sama."
Jika sesuai dengan skenario Antam dan kawan-kawan, kesaksian Endang akan meruntuhkan status tersangka yang diumumkan Samad dan Bambang pada 13 Januari lalu. Para perwira tinggi Kepolisian menganggap penetapan yang dilakukan setelah Presiden Joko Widodo mengajukan Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri itu bermotif politik.
Endang, yang menempuh karier di Kepolisian dari jalur tamtama-bukan Akademi Kepolisian-mengikuti semua proses hukum perkara Budi Gunawan. Ia mengikuti rapat gelar perkara yang dilakukan pada Senin, 12 Januari, menunjuk penyidik, hingga meneken surat perintah penyidikannya.
Frederich Yunadi, salah satu pengacara Budi Gunawan, sepekan sebelum jadwal sidang yang rencananya menghadirkan Endang, mengatakan timnya punya "saksi mengejutkan". Menurut dia, saksi itu adalah "penyidik aktif yang tahu proses penetapan tersangka Budi Gunawan". "Saksi itu memang Endang Tarsa," ujar Yunadi ketika dimintai konfirmasi pekan lalu.
Usaha Antam dan Agung ternyata tak mulus. Dalam pertemuan pertama, Endang berkukuh bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan telah dilakukan sesuai dengan prosedur. Ia mengutip Undang-Undang KPK yang mengatur penetapan tersangka didasari dua alat bukti dan tak perlu memanggil calon tersangka lebih dulu.
Endang diundang bertemu lagi pada Minggu malam. "Saya tak puas dengan jawaban Kang Endang kemarin," kata Agung Setia, ditirukan seseorang yang mendengar cerita Endang. Agung mengulangi permintaan agar Endang mengikuti skenario polisi. Antam meminta Endang mundur dari jabatan Direktur Penyidikan KPK dengan surat yang sudah disiapkan.
Pembicaraan mengeras karena Endang bertahan seperti jawaban malam sebelumnya. Ia terus-menerus mengucapkan "terima kasih" atas tawaran yang disampaikan koleganya di Kepolisian itu. Menurut seorang penyidik, Endang juga mengatakan tak ingin mundur dari jabatan itu.
Tiba-tiba Antam menjentikkan jari tangannya. Rupanya, ia memberi kode kepada orang-orang yang duduk di teras McDonald's. Enam orang masuk dalam sekejap, termasuk seorang polisi wanita. Mereka diperkenalkan oleh Antam sebagai anggota Brigade Mobil. "Ini anggota saya. Mereka akan menuruti apa pun perintah saya kepada kamu," ujarnya.
Endang bertahan meski menerima ancaman. Antam lalu bertanya kepada seorang anggotanya tentang seorang anak muda yang berdiri di luar mengawasi percakapan mereka. Endang menjelaskan bahwa laki-laki itu anaknya, yang bekerja di Kepolisian Daerah Metro Jaya dan berpangkat brigadir kepala. Namanya Rahmat Gunawan. Ia datang menemani ayahnya.
Antam meminta Rahmat masuk. Antam bertanya tentang tugasnya di Kepolisian. Rahmat menjawab bahwa ia sedang ikut tes Sekolah Inspektur Polisi di Sekolah Calon Perwira di Sukabumi, Jawa Barat. Antam menyatakan akan membantu meluluskan Rahmat jika Endang menuruti permintaan bersaksi meringankan Budi Gunawan di sidang praperadilan.
Selama sekitar satu jam, Antam dan Agung terus membujuk Endang agar mau mengikuti skenario. Tak tahan terus ditekan, Endang seolah-olah menyanggupi permintaan itu. Ia mengatakan akan menyerahkan surat pengunduran diri pada esok harinya kepada pemimpin komisi antikorupsi. Ia juga mengatakan akan membawa surat itu ke Markas Besar Polri, lalu hadir pada sidang praperadilan esok harinya atau Rabu pekan lalu.
Antam menyalami dan memeluk Endang. Direktur Reserse Umum Kepolisian Daerah Bali ketika Budi Gunawan menjadi kepalanya itu menghubungi seseorang melalui telepon yang ia panggil "Jenderal". Ia melapor telah berhasil menjalankan misi.
ANTAM menyangkal cerita intimidasi di restoran cepat saji itu. Menurut dia, anggota Brigade Mobil yang ia bawa justru disiapkan untuk mengawal Endang. "Saya katakan kepada mereka, Kamu kawal, ya. Jangan sampai lepas, jangan sampai diambil orang, karena dia mau bersaksi untuk kita'," ujarnya.
Ia juga membantah mengancam membunuh Endang. Menurut dia, dua kali pertemuan berjalan santai dan akrab. "Tak ada teror-teror. Kami malah bersalaman dan berpelukan," katanya.
Soal kedatangan Rahmat Gunawan, Antam mengatakan Endang sendiri yang meminta dia membantu meluluskan anaknya. Menurut Antam, Rahmat tak lulus tes kesehatan. "Saya bantu dengan meloloskan anaknya," ujarnya. "Bayangkan, itu semua penghargaan buat Endang dan anaknya."
Dimintai konfirmasi soal cerita Antam tentang anaknya, Endang Tarsa mengatakan cerita itu diputarbalikkan. "Anda tahu jalan ceritanya tak begitu," katanya kepada Muhammad Rizki dari Tempo. Endang menolak menceritakan ulang kejadian di McDonald's. Ia juga tak bersedia menceritakan ancaman yang disampaikan Antam dan Agung Setia.
Agung Setia menolak berkomentar. Ketika ditanyai soal itu, ia meminta Tempo bertanya kepada Endang. "Coba tanya yang bersangkutan saja," ujarnya kepada Singgih Soares dari Tempo.
Pagi setelah pertemuan, Endang betul menghadap pemimpin komisi antikorupsi. Ia membawa surat pengunduran diri. Bambang Widjojanto lalu mengumpulkan penyidik untuk mendengarkan alasan Endang. Dengan terbata-bata, menurut seorang peserta pertemuan, Endang menceritakan kejadian malam sebelumnya.
Kepada kolega-koleganya, Endang mengatakan tak ingin mundur. Tapi ia takut keluarganya mendapat celaka. Melalui rapat singkat, Bambang membentuk empat tim. Satu tim bergerak ke McDonald's Larangan dan ke rumah Endang untuk menjemput anak dan istrinya. Mereka lalu diamankan di suatu tempat yang dirahasiakan. "Kami harus bergerak cepat untuk mengidentifikasi penerornya," kata Bambang.
Kesaksian Endang kemudian juga direkam untuk dokumentasi. Ia menceritakan kembali pertemuan dengan Antam dan Agung, juga intimidasi yang diterimanya. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dipanggil untuk mendengarkan keterangan Endang. "Kami diundang untuk mendengarkan saja," ujar Nur Kholis, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Baru di situlah Endang bercerita bahwa rumahnya sudah lama disatroni orang-orang tak dikenal.
Sebelum datang memenuhi undangan Antam dan Agung, Endang berpamitan kepada orang-orang terdekat di tempat tinggalnya di Asrama Polisi Larangan. Endang berpesan agar mereka mencarinya jika ia tak pulang sampai tengah malam.
Di luar gedung KPK, beberapa polisi menunggu Endang. Mereka akan mengawalnya ke Markas Besar Polri. Karena Endang tak kunjung keluar dari kantornya, Antam menelepon. Endang mengeraskan suara di teleponnya. Para penyidik komisi antikorupsi mendengar Antam menggunakan bahasa Sunda: "Kasihan orang Sumedang ini. Sebentar lagi matahari akan gelap, bulan akan gelap."
Skenario menghadirkan Endang ke sidang praperadilan pun berantakan. Endang tak hadir memberi kesaksian yang meringankan bagi Budi Gunawan. "Saya tak tahu kenapa, dia sudah lupa pada akarnya," kata Frederich Yunadi, pengacara Budi.
Sidang pada Rabu pekan lalu itu hanya menghadirkan Irsan dan Hendy F. Kurniawan, penyidik KPK pada 2008-2012, yang mengatakan pernah menyidik seorang tersangka tanpa alat bukti. Ia berniat membuka rekaman gelar perkara kasus lama, yang segera diinterupsi pengacara KPK karena tak relevan dengan perkara Budi Gunawan.
Antam menuduh Endang diancam pemimpin KPK ketika hendak mengundurkan diri. Ia menyangkal membuatkan surat pengunduran diri Endang. Menurut dia, dalam pertemuan di McDonald's itu, Endang sendiri yang berniat membela polisi. "Dia bertahan di KPK karena anaknya dijanjikan akan dimasukkan ke sana," ujarnya.
TEROR kepada Endang segera menyebar. Pada Selasa pekan lalu, empat pemimpin KPK bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara dan menceritakan teror yang dialami Endang. Presiden menyatakan teror harus dihentikan. Ia meminta polisi menangkap pelakunya.
Tim konsultasi konflik KPK-Polri yang berisi sembilan tokoh yang dibentuk Presiden juga dilapori soal teror ini. Tokoh-tokoh lain juga mendatangi KPK untuk mencari konfirmasi tentang ancaman itu, antara lain mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Endriartono Sutarto. Setelah berdiskusi dengan pemimpin KPK, ia mengatakan sudah tahu siapa peneror Endang Tarsa dan pengacara KPK, juga para anggota staf lembaga ini.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti juga mengatakan telah mendengar kabar tentang teror ini. Ia juga mengaku telah meminta konfirmasi kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Budi Waseso. Menurut Badrodin, Budi Waseso membenarkan kabar bahwa Antam Novambar diberi tugas mendatangi Endang karena mendengar ia hendak mengundurkan diri dari KPK. "Selain tim inti dari reserse, ada tim pendukung yang direkrut dari luar Bareskrim," katanya.
Penugasan kepada Antam yang sedang bertugas di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, menurut Badrodin, yang mengutip Budi Waseso, karena ia sekampung dengan Endang. "Laporan kepada saya, itu pertemuan biasa saja," ujarnya. Badrodin meminta Endang melaporkan teror kepadanya ke polisi.
Adapun Antam menjelaskan, selain sekampung, ia mendekati Endang karena sesama perwira di Mabes Polri "yang terpanggil membereskan konflik KPK-Polri" ini. "Sebagai insan Polri, saya merasa perlu mengajak dia memberikan kesaksian sebenarnya. Dia lupa, dia bisa bekerja di KPK karena dia polisi," katanya.
Selain memanggil Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, KPK melaporkan secara resmi ancaman pembunuhan ini kepada lembaga itu. Pada Kamis pekan lalu, dua pejabat KPK mendatangi Komisi Nasional untuk memperjelas intimidasi yang dialami Endang dan tiga pegawai KPK yang mendapat ancaman serupa.
Suami Chatarina Girsang, Kepala Biro Hukum KPK yang menjadi pengacara dalam sidang praperadilan itu, dibuntuti orang tak dikenal yang membawa pistol ketika hendak menjemput Chatarina pada Selasa malam pekan lalu. Dua laki-laki itu memaksa melihat isi telepon seluler suami Chatarina. "Ancaman kepada keluarga pegawai KPK ini sudah sangat serius," ujar Bambang.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Nur Kholis, yang menerima pengaduan itu, mengatakan lembaganya akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan mencari bukti-bukti pendukung. Menurut dia, dari kesaksian para pelapor, indikasi ancaman itu sangat kuat. "Suasana tak akan genting jika ancamannya tak semengerikan itu," katanya.
Endang dan keluarganya kini tak pulang ke tempat tinggal mereka. Anaknya juga tak masuk kerja. Untuk sementara, mereka tinggal di rumah perlindungan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bagja Hidayat, Rusman Paraqbueq, Muhammad Muhyiddin, Dewi Suci
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo