Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IDRUS Marham membuat kejutan dengan menyatakan mundur dari jabatan Menteri Sosial di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat siang pekan lalu. Ia mengaku menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dari Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU MT) Riau-1 sehari sebelumnya. Status Idrus yang sudah tiga kali diperiksa sebagai saksi pun naik menjadi tersangka. Ia menteri aktif pertama di era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menjadi tersangka KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengumuman Idrus itu lebih cepat dibanding KPK, yang menyatakan dia menjadi tersangka pada malam harinya. KPK menduga Idrus telah menerima janji duit US$ 1,5 juta dari pemilik BlackGold Asia Resources Pte Ltd, Johannes Budisutrisno Kotjo, jika membantu perusahaannya mendapat proyek PLTU Riau-1 senilai US$ 900 juta. Saat itu, ia pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar. Kasus ini membelit orang dekat Idrus, Eni Maulani Saragih, yang juga politikus partai beringin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanya-jawab ini disusun Hussein Abri Yusuf Dongoran dari sejumlah kesempatan saat Idrus berada di Istana dan setelah diperiksa sebagai saksi di KPK. Tempo telah berupaya mengajukan permohonan wawancara kepada Idrus setelah serah-terima jabatan di Kementerian Sosial, melalui sejumlah orang dekatnya serta lewat telepon dan pesan pendek. Anggota staf Idrus, Jamal, mengatakan Idrus belum bisa diwawancarai.
Wartawan Tempo Angelina Anjar juga menyambangi rumah Idrus di Kaveling DRPD DKI di Cibubur, Jakarta Timur. Namun, menurut petugas keamanan di sana, Syarif, Idrus tidak berada di rumah itu. "Sudah pergi sejak pagi," ujarnya. Rumah Idrus pun terlihat sepi. Di halamannya tidak ada satu pun mobil.
Kapan Anda diberi tahu sudah menjadi tersangka?
Kemarin (Kamis sore). Makin cepat (diumumkan) makin bagus, tapi tidak mungkin lapor ke Presiden malam harinya. Saya baru diberi waktu bertemu dengan Presiden Jokowi pada Jumat pagi.
Apa yang Anda katakan kepada Presiden Jokowi?
Saya katakan, "Pak Presiden, ini demi bangsa. Ini pertanggungjawaban moral saya, dan saya mengajukan pengunduran diri." Saya bilang, "Lebih cepat lebih baik. Kalau bisa, hari ini ada penggantinya." Saya mundur dengan beberapa pertimbangan. Pertama, menjaga kehormatan Presiden yang memiliki konsistensi tinggi dalam pemberantasan korupsi. Kedua, tidak menjadi beban bagi Presiden. Dan ketiga, saya menghormati dan ingin berkonsentrasi mengikuti proses hukum yang dilakukan KPK. Saya pasrahkan kepada Allah dan akan saya jalani.
Presiden kaget?
Masak, saya mau menafsirkan Bapak Presiden? Nanti salah-salah lagi. Saya menyampaikan yang saya bacakan. Itu saja.
Anda juga mundur dari jabatan di Golkar?
Agar tidak menjadi beban bagi Partai Golkar di pemilu, saya sudah mengirimkan surat pengunduran ke Ketua Umum Airlangga Hartarto.
Setelah mundur, apa yang akan Anda lakukan?
Saya ikuti proses hukum. Semua akan saya jalani. Saya ingin berkonsentrasi mengikuti proses hukum yang ada di KPK.
Ada rencana mengajukan praperadilan?
Semua ada proses hukumnya. Kita hadapi saja, enggak usah rumit-rumit. Saya tidak terima uang, itu enggak boleh. Yang menentukan salah atau tidaknya itu pengadilan. Hormatilah KPK, hormatilah pengadilan.
Anda berhubungan baik dengan Eni Saragih dan Johannes Kotjo?
Ini semua teman saya. Johannes teman lama saya dan saya panggil "Abang". Johannes juga panggil saya "Abang". Eni itu adik saya dan saya panggil "Dinda".
Kenal sejak kapan?
Ceritanya panjang. Yang penting, saya kenal.
Benarkah uang yang diterima Eni dari Johannes saat penangkapan itu untuk kepentingan Anda?
Itu tidak benar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo