Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Perkara Roti Berakhir di Bui

GARA-GARA mengeluhkan suara azan, Meliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, harus mendekam di balik jeruji besi.

25 Agustus 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perkara Roti Berakhir di Bui

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GARA-GARA mengeluhkan suara azan, Meliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, harus mendekam di balik jeruji besi. Perempuan 44 tahun itu divonis bersalah dan dihukum 1 tahun 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan pada Selasa pekan lalu. Perkara penghinaan agama ini sempat memicu kerusuhan bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan di Tanjung Balai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa yang menimpa Meliana pernah dialami Basuki Tjahaja Purnama, Arswendo Atmowiloto, dan Marthen Kamlase. Untuk nama terakhir, majalah Tempo edisi 7 Mei 1994 mengulasnya dalam artikel berjudul "Tuntutan Ringan Batu Terbang". Sekelompok warga tidak puas atas tuntutan jaksa yang dianggap ringan terhadap Marthen, terdakwa kasus penghinaan agama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu, 25 April 1994, sekitar pukul 09.00, halaman dan jalanan di sekitar Pengadilan Negeri Ende, Nusa Tenggara Timur, telah dipenuhi warga. Umumnya pelajar. Tampaknya, ada yang mereka nanti-nantikan. Begitu jaksa Salangi selesai membacakan tuntutan terhadap terdakwa, massa langsung mengamuk. Sebab, mereka tidak puas mendengar jaksa hanya menuntut terdakwa dihukum 1 tahun penjara.?

Maka, beterbanganlah batu-batu menghancurkan pintu dan kaca gedung pengadilan. Begitu pula isinya. Meja dan kursi hakim dijungkirbalikkan. Lalu, dari situ, massa yang makin besardiperkirakan sekitar 3.000 orangberalih ke arah kantor kejaksaan. Tiga rumah milik Kejaksaan Negeri Ende ludes mereka bakar.

Sekitar 300 anggota pasukan keamanan yang dikerahkan tak mampu menghadang amukan massa. Imbauan para pastor pun tak dihiraukan lagi. Yang mereka butuhkan, menurut sebuah sumber, terdakwa dihukum seumur hidup dan dalangnya diseret ke meja hijau. Dari unjuk rasa ini, sedikitnya tujuh anggota pasukan keamanan cedera ringan karena lemparan batu.?

Siapakah yang mereka tuntut? Ia adalah Marthen Kamlase, seorang pemuda berusia 17 tahun asal Timor Tengah Selatan. Pedagang roti berkereta dorong ini dituduh menghina?agama.

Peristiwa itu terjadi sehari setelah Natal, 26 Desember 1993. Ketika itu, Marthen, yang beragama Protestan, mengikuti perjamuan kudus di sebuah gereja Katolik. Biasanya, dalam pelayanan Sakramen Mahakudusdemikian umat Katolik menyebutnyaitu, pastor membagi-bagikan roti kepada jemaat. Dan roti harus dimakan.?

Tapi, oleh Marthen, yang pemahaman agamanya sangat minim, roti pemberian pastor tersebut tidak dimakan, tapi justru ia remas sampai hancur. Secara kebetulan, perbuatan Marthen itu terlihat oleh seorang anggota jemaat yang duduk di sebelahnya. Marthen dianggap telah menghina?agama?Katolik. Akibatnya, Marthen dihajar umat beramai-ramai. Untungnya, pastor turun tangan dan dapat mengatasinya.?

Persoalan tak berhenti di situ. Umat Katolik yang merasa terhina oleh perbuatan Marthen itu terus mempersoalkannya. Padahal, menurut sebuah sumber, para pastor setempat pernah menyarankan agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan. Tapi saran itu ditolak umat. Itulah sebabnya kasus ini terus bergulir ke pengadilan. Bahkan tuntutan jaksa diprotes umat karena dianggap terlalu ringan.?

"Padahal, sesuai dengan Pasal 156-a KUHP, perkara semacam ini sudah maksimal tuntutannya," kata Umbu Riada, Kepala Kejaksaan Tinggi NTT. Sebab, dalam beberapa kasus seperti itu sebelumnya, menurut Umbu, terdakwa divonis 8 bulan, 6 bulan, bahkan cuma dihukum percobaan. Jadi, "Tuntutan 1 tahun penjara rasanya sudah maksimal," dia menegaskan. Setelah peristiwa ini, Umbu terpaksa memerintahkan Kejaksaan Negeri Ende menunda sidang hingga waktu tak terbatas.?

Gubernur Nusa Tenggara Timur Herman Musakabe mengecam peristiwa ini. Kata Herman, aksi maki-makian, perusakan, dan pembakaran tersebut tak sesuai dengan iman Katolik, yang pengampun dan menghargai pejabat negara. "Mereka menuduh orang melakukan pencemaran kalau rotinya tak dimakan. Walaupun rotinya dimakan, setelah itu mereka berbuat cabul, apakah itu bukan pencemaran?" ujar Herman.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus