Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH sungguh optimistis menakar pergerakan rupiah. Hal itu tampak pada asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019. Pemerintah yakin rata-rata kurs rupiah 14.400 per dolar Amerika Serikat selama 2019. Realistiskah? Sepertinya tidak. Jangankan hingga 2019, cuma sepekan setelah Presiden Joko Widodo menyampaikan asumsi itu ke Dewan Perwakilan Rakyat, rupiah sudah lunglai menyentuh 14.638 per dolar, Kamis pekan lalu.
Ada banyak sebab tren pelemahan rupiah akan berlanjut sehingga asumsi rata-rata 14.400 sulit terwujud. Salah satunya neraca transaksi berjalan Indonesia masih memikul defisit. Pada 2017, defisit itu masih US$ 17,3 miliar. Pada paruh pertama 2018, defisit sudah mencapai US$ 13,7 miliar. Bank Indonesia memperkirakan angka defisit 2018 bisa mencapai US$ 25 miliar.
Dalam konteks interaksi ekonomi antarnegara, defisit neraca transaksi berjalan menunjukkan bahwa Indonesia mengeluarkan dolar lebih banyak untuk impor barang dan jasa ketimbang penerimaannya. Banyak pihak membutuhkan dolar untuk membayar impor, dari badan usaha milik negara, seperti Pertamina yang mengimpor 1 juta barel minyak per hari, hingga restoran Jepang yang mendatangkan otoro sashimi. Karena permintaan naik sementara pasokan kurang, otomatis harga dolar naik. Begitu logikanya. Jadi, selama belum terjadi keajaiban, misalnya tiba-tiba neraca transaksi berjalan Indonesia menjadi positif, nilai rupiah akan terus tertekan.
Pemerintah memang sudah memberi aba-aba akan membatasi impor. Tapi rencana itu belum jelas. Komoditas apa yang bisa dihentikan impornya tanpa mengganggu pertumbuhan? Maklum, ekonomi negeri ini masih sangat bergantung pada impor, dari bahan baku berbagai industri sampai tas Louis Vuitton. Jika pemerintah asal-asalan membatasi impor, ekonomi Indonesia justru akan terpuruk ke dalam resesi.
Biasanya, Indonesia juga mendapat pasokan dolar dari investor asing yang membeli saham atau obligasi di pasar finansial. Jika pasokan dolar lewat pasar ini cukup kencang, defisit neraca transaksi berjalan bisa diganjal. Sayangnya, selama semester I 2018, investor justru menarik dolarnya keluar. Menurut data BI, secara neto ada US$ 1,09 miliar yang kabur dari pasar finansial Indonesia. Stok dolar di dalam negeri pun menurun. Cadangan devisa merosot US$ 13,6 miliar.
Mengapa dolar keluar? Rabu pekan lalu, The Federal Reserve merilis notula rapat mutakhir. Di situ ada sinyal buruk bagi rupiah. Selama 15 bulan ke depan, The Fed berencana menaikkan bunga hingga lima kali. Selain itu, pasokan dolar akan terus mengetat karena The Fed melanjutkan program pemangkasan aset. Brankas The Fed terlalu gendut berisi obligasi pemerintah Amerika. Ini pelan-pelan harus dipangkas agar The Fed lebih sehat. Dengan menjual obligasi, The Fed menyedot dolar dari pasar, yang efeknya terasa ke seluruh dunia karena magnitudonya luar biasa—total bisa mencapai US$ 2 triliun pada akhir program.
Untuk mengimbangi kenaikan bunga dan sedotan The Fed itu pula BI sudah empat kali menaikkan bunga rujukannya hanya dalam tempo kurang dari tiga bulan. Langkah agresif BI ini mampu sehari-dua hari memperlambat laju penurunan rupiah, tapi gagal menghentikan trennya. Setelah kenaikan bunga menjadi 5,5 persen pada 15 Agustus lalu, nilai rupiah tetap tergelincir karena The Fed merilis notula yang makin jelas menggambarkan arah kebijakannya.
Bunga tinggi tentu akan menambah masalah pada ekonomi Indonesia. Biaya modal yang melesat membuat pertumbuhan melambat. Sedangkan harga dolar makin mahal. Dalam situasi seperti ini, korporasi harus berhitung lebih cermat dalam menyiapkan rencana dan anggaran tahun depan. Pemerintah, apa boleh buat, menjelang pemilihan umum, memang harus tetap berani bersikap optimistis, meski itu tidak realistis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat, Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo