Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAMEEH Asyur mengulurkan telepon selulernya. Remaja 15 tahun warga Mesir yang tinggal cuma 300 meter dari perbatasan Rafah, Gaza, itu dengan bersemangat memperlihatkan video Nokia 3220 miliknya. Matanya bersinar-sinar.
Di video itu tampak gambar dua lelaki berusia sekitar 25 tahun dalam ruangan gelap. Satu sedang mengisap rokok. ”Kami tak mengenal mereka sebelumnya, tapi hati kami bersama mereka,” kata Asyur kepada Tempo, yang menemuinya di perbatasan Rafah, Kamis malam pekan lalu.
Dua lelaki itu adalah warga Palestina yang menyelundup ke Mesir dari Gaza melalui terowongan bawah tanah. Terowongan sekitar setengah kilometer itu tembus ke dekat rumah Asyur. ”Mereka datang untuk bersembunyi, atau sekadar mencari makan.”
Setiap warga Palestina yang muncul di mulut terowongan itu pasti ia jamu. Terkadang keluarga Asyur menyuguhkan Chipsy—semacam keripik kentang khas Mesir—roti, dan makanan lain. ”Bagi keluarga kami, inilah bentuk jihad untuk saudara-saudara di Gaza,” tuturnya.
Terowongan di sebelah rumah Asyur adalah satu dari sedikit terowongan yang masih aktif. Dalam sepekan belakangan, Israel gencar menghancurkan terowongan-terowongan di Kota Rafah dan Khan Yunus.
Tiga jam sebelum Tempo sampai perbatasan, bom-bom Israel memporakporandakan Rafah, dan sebagian menyasar pejuang Hamas yang menyembunyikan terowongan di rumah-rumah mereka. Kota berpenduduk 40 ribu jiwa itu memang penuh terowongan.
Lorong sempit yang cuma cukup untuk satu orang dewasa ini tumbuh di kaki tembok yang memisahkan Rafah-Gaza dan Rafah-Mesir, yang dibangun Israel saat intifadah kedua pada 2000. Penggalian terowongan menjadi sangat populer sejak Hamas mengambil alih kontrol Gaza dua tahun lalu.
Penggalian bahkan menjadi bisnis menggiurkan bagi anak muda di daerah yang tertindih penderitaan akibat blokade Israel itu. Para penggali mendapat uang besar, demikian juga para penyelundup.
Setiap penyelundup bisa mengantongi sekitar US$ 250 untuk setiap pucuk senjata yang dibawa. Harga barang-barang lain, seperti makanan, obat-obatan, rokok, bahkan pakaian dalam atau parfum, bisa sepuluh kali dari harga aslinya. Bahkan, untuk menyelundupkan buron, harga yang dipatok cukup mahal, US$ 2.000 sekali jalan.
Orang yang paling diuntungkan dari lalu lintas di terowongan ini tentulah pemilik terowongan atau biasa disebut snake head (kepala ular). Pemilik terowongan ini biasanya harus merogoh US$ 50 ribu untuk membeli rumah di perbatasan. Semua terowongan digali dari dalam rumah.
Sebagian besar terowongan sangat tak aman. Mulut terowongan kecil sekali. Untuk sampai ke dasar terowongan sedalam sekitar 7,5 meter, orang harus menggunakan tali. Lebar terowongan hanya satu meter, dengan panjang 500-800 meter. Beberapa ada yang lebih dari satu kilometer.
Di dalam terowongan, orang harus membungkuk, kadang bahkan merangkak. Pasir berguguran dari atas, sehingga begitu keluar, rambut dan muka seperti berbedak. ”Kami telah hidup dengan penutupan ini selama dua tahun, dan satu-satunya pintu keluar kami hanyalah di bawah tanah,” kata Abu Mutassem, penyelundup.
Asyur tak tahu bagaimana terowongan bisa sampai ke dekat rumahnya. Tiba-tiba saja tanah di sana terbuka. ”Menurut ibuku, terowongan itu rezeki keluarga kami,” katanya. ”Tidak di setiap rumah ada terowongan.”
Dari rumahnya itu pula keluarga Asyur, sembari menjamu tamunya, kini terbiasa menyaksikan pesawat tempur Israel menderu-deru. Ia dan teman-teman bermainnya, juga para polisi perbatasan, tahu kapan pesawat-pesawat itu akan memuntahkan bom.
Ketika Tempo di perbatasan Rafah, sebuah pesawat capung melintas. Inilah tanda: dalam hitungan satu atau dua jam akan ada pengeboman. ”Itu pesawat istitla’ (pengintai),” kata Muhammad Mitwali, polisi perbatasan, yang juga warga Mesir. Pesawat itu, kata Mitwali, tanpa awak dan digerakkan dengan remote control.
Suasana tegang pun mulai merayap. Tapi roman Mitwali tak berubah. Ia tetap tenang. Ia justru bercerita tentang panorama sehari-hari yang biasa ia saksikan.
Mitwali menuturkan, jika bom-bom Israel dijatuhkan, awan hitam beberapa menit kemudian akan memenuhi langit Rafah. Suara bom itu terdengar hingga ke pos jaga perbatasan. ”Air di dalam gelas pun terguncang,” ujarnya.
Mitwali mengaku geram terhadap aksi biadab Israel. Ia siap berjihad. Tapi, sebagai polisi di tapal batas, ia harus mengikuti perintah komandannya. ”Pemerintah kami masih melarang pergi berjihad,” katanya.
Maka sepanjang 12 jam berjaga dari pukul 8 pagi hingga 8 malam, atau sebaliknya, ia justru mencegah orang-orang melintasi perbatasan. Hanya bantuan makanan dan obat-obatan yang diperbolehkan masuk ke jantung Gaza.
Mitwali dan Asyur adalah orang di tapal batas Mesir-Palestina yang hanya bisa menatap kekejaman Israel dari pinggir pertempuran. Tak banyak yang bisa mereka lakukan. Asyur hanya bisa menyuguhkan keripik kepada para pejuang Palestina yang sewaktu-waktu muncul dari terowongan di sebelah rumahnya.
Yos Rizal, Akbar Pribadi Brahmana Aji (Rafah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo