Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan lebih agresi Israel meluluhlantakkan Gaza. Ratusan orang meregang nyawa di ujung mesin-mesin perang Israel. Ribuan lainnya meringkuk kedinginan, mengerang kesakitan di rumah sakit, barak pengungsian, dan bangunan yang cukup mujur terhindar dari bombardir.
Lewat percakapan telepon, dengan latar belakang jeritan anak kecil dan hiruk-pikuk pengungsi Gaza, Angela Dewi dari Tempo merekam sejumlah kesaksian mereka yang selamat dari serangan. Ada wartawan dan dosen, pekerja kemanusiaan, serta ibu rumah tangga yang menyaksikan penembakan seluruh keluarga sepupunya.
Rami Almeghari
34 tahun
Dosen paruh waktu di Islamic University of Gaza; pemimpin redaksi pusat media internasional Biro Informasi Palestina; ayah empat anak
Sabtu, 27 Desember itu, saya berada tak jauh dari rumah, di kamp pengungsi Maghazi di tengah-tengah Jalur Gaza yang menampung 45 ribu warga Palestina. Hari itu saya hendak memperbaiki radio mobil saya di toko reparasi alat elektronik. Maghazi termasuk kamp pengungsi terbesar di Palestina, dibangun pada 1949 di kawasan Deir al-Balah, di atas tanah seluas 5,6 kilometer persegi. Udara dingin meski matahari bersinar cerah. Saya ingat waktu itu pukul 11.30.
Tiba-tiba terdengar ledakan amat keras, disusul asap hitam membubung ke langit. Apa yang terjadi? Saya langsung teringat kepada anak-anak di rumah, terutama putra bungsu saya, Muhammad, yang selalu mengikuti ke mana pun saya pergi di akhir pekan. Saya segera menelepon ke kantor untuk mengecek apa yang terjadi, lalu menelepon istri untuk memastikan anak-anak aman dan semuanya berada di dalam rumah.
Tanpa pikir panjang, saya menyetir mobil memasuki Kota Gaza. Kota itu benar-benar hancur. Dalam sekejap, di tengah hujan bom, puluhan sasaran—kantor polisi, bangunan penting, dan tempat layanan umum—rata dengan tanah.
Setelah itu, saya dengar Israel mengumumkan target serangan mereka: infrastruktur Hamas dan pelontar roket milik Hamas. Nyatanya, di hari pertama saja korban yang bergelimpangan justru warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Seraya berkendara dengan hati galau, pikiran saya pepat oleh bayangan anak-anak saya. Perasaan saya serupa diaduk-aduk: antara menjadi wartawan, ayah empat anak, dan pengungsi Palestina. Ketika itu, saya berpikir untuk menyelamatkan dulu anak-anak. Saya berpikir untuk segera menimbun cadangan makanan dan membeli bahan bakar buat mobil dan generator. Selama 19 bulan dalam cengkeraman isolasi yang diberlakukan Israel, bahan bakar sulit didapat. Harga bahan bakar yang diselundupkan dari terowongan-terowongan di perbatasan Mesir-Gaza menjadi mahal sekali.
Sejak Israel membumihanguskan Gaza, sanak-keluarga saya tinggal menumpang di rumah. Mereka ada 10 orang, enam di antaranya anak-anak. Untunglah istri saya amat paham pada kondisi ini. Anak-anak saya—Aseel, Nadine, Munir, dan Muhammad—pun mulai terbiasa dengan suara tembakan. Bahkan Munir, yang berusia 9 tahun, rajin mengabari saya berita-berita terbaru di televisi.
Di tengah serangan Israel, saya terus bertugas: mengunjungi kamp pengungsi dan rumah sakit, menemui pejabat dan tokoh Palestina, di tengah suasana mencekam. Kadang-kadang mobil saya mati karena bensin habis, dan peralatan rekaman rusak. Belum lagi harus berlari menyelamatkan diri ketika mendengar bunyi tembakan dan hujan bom.
Saya berusaha untuk terus berpikir waras di tengah situasi mengerikan ini. Banyak wartawan luar negeri yang tak mendapat akses di Gaza dan saya harus membantu mereka. Kadang, ketika hati saya tak bisa lagi menahan kemarahan melihat mayat anak-anak diangkut ke rumah sakit, saya menjadi emosional. Dalam hati, saya terus bertanya mengapa Israel menyebut ini perang melawan Hamas. Manusia waras mana pun pasti akan berpikir, ini perang melawan warga sipil.
Eva Bartlett
28 tahun
Anggota tim advokasi sukarelawan kemanusiaan dari Kanada. Pada 2007, Bartlett menghabiskan waktu delapan bulan di tengah warga Tepi Barat dan perbatasan Rafah. Ia kembali ke Palestina pada November lalu, menumpang kapal aktivis asing Free Gaza Movement yang mengangkut bantuan makanan dan obat-obatan untuk warga Gaza yang terisolasi. Ia termasuk sedikit di antara sukarelawan asing yang bertahan di Jalur Gaza.
Selama Israel menggempur Gaza, kesibukan saya praktis meningkat. Tadinya lebih banyak mondar-mandir ke Jabaliya untuk mengantar buku-buku dan peralatan sekolah, kini saya harus berhadapan dengan korban serangan Israel.
Sepanjang hari dalam sepekan serangan, saya hampir kehilangan kekuatan yang saya andalkan selama ini. Saya tak bisa menahan tangis. Saya ikut ambulans, menjemput dan mengangkut korban cedera. Kondisi mereka sangat memilukan: anak-anak dengan luka parah di sekujur tubuh, belum lagi mayat dengan bagian tubuh yang sudah tidak utuh yang harus dikubur buru-buru.
Yang membuat saya amat terpukul adalah ketika ambulans yang membawa paramedis dan korban serangan ikut dibombardir Israel di kawasan Beit Lahiyah. Seorang teman saya, dokter Palestina bernama Arafa Hani Abed al-Dayem, tewas di tempat. Dia dokter yang baik dan sangat membantu tugas saya selama berada di Gaza. Kematian Arafa dan korban-korban tak berdosa lain membuat saya tak paham apa yang sesungguhnya diinginkan Israel.
Zehwa Suliman al-Nabahin
30 tahun
Istri seorang pegawai tata usaha di kantor Otoritas Palestina; ibu rumah tangga dengan dua anak; tinggal di Johr al-Dik di Distrik Deir al-Balah, Kota Gaza
Selama Israel membombardir Gaza, banyak sekali serangan yang dilancarkan ke kawasan tempat tinggal kami. Rumah-rumah tetangga kami sudah hancur dan rata dengan tanah. Suami saya memutuskan kami harus meninggalkan rumah. Selama 10 hari belakangan kami mengungsi di rumah adik saya yang tinggal berdekatan dengan sepupu kami.
Di rumah yang lumayan besar itu sudah ada ipar-ipar lain yang ikut mengungsi. Kondisinya berdesakan dan riuh oleh suara anak-anak. Perempuan dan anak-anak dilarang ke luar rumah. Para laki-laki berbelanja kebutuhan makanan dan bahan bakar. Udara dingin sangat menyiksa karena tak ada listrik untuk menyalakan mesin penghangat.
Selasa, 6 Januari, adalah saat paling mencekam dalam hidup saya. Rumah sepupu saya yang terletak 300 meter dari rumah adik saya terkena serangan. Dari suaranya, saya bisa menduga itu serangan yang dilancarkan dari pesawat tempur F-16 bikinan Amerika. Ketika itu, hari sudah mulai gelap dan kami tak tahu bagaimana nasib mereka. Di rumah itu ada sepupu saya dan istrinya, mertuanya, serta lima anak laki-laki mereka. Saya tak berani mengintip atau keluar dari rumah setelah serangan terjadi. Malam itu waktu seolah membeku. Saya tak sabar menunggu pagi tiba.
Paginya, ketika suasana telah sedikit tenang, saya mendengar jeritan dari arah rumah sepupu saya. Rupanya, suami adik saya sudah melihat kondisi rumah sepupu yang hancur. Suami saya dan sejumlah pria lain berlarian untuk melihat kondisi para korban. Di antara reruntuhan itu, kami kemudian menemukan jasad sepupu saya dan keluarganya. Kondisi mereka sungguh mengerikan. Bagian-bagian tubuhnya terpisah karena dihantam bom berdaya ledak tinggi. Hanya dua orang yang selamat, dua anak laki-lakinya yang masih remaja. Itu pun dengan kondisi mengenaskan, dengan kaki yang harus diamputasi karena terimpit reruntuhan bangunan.
Kami memakamkan para korban dengan tergesa-gesa di tengah udara dingin karena khawatir serangan berikutnya datang lagi. Saya tak kuasa menahan marah dan sedih. Mengapa keluarga kami harus menjadi korban? Apa salah kami? Di tengah keputusasaan dan ketakutan, saya yakin Israel akan menerima balasan atas semua kekejaman yang dilakukan terhadap rakyat Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo