Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga tahun belakangan, dia tidak bisa melewati satu hari pun tanpa menggambar zentangle--genre lukisan yang terdiri atas kombinasi pola terstruktur. Widi, 31 tahun, seperti tidak bisa membiarkan satu bidang pun kosong, termasuk gitar, kaus, sampai dinding kamar dia bubuhi gambar.
“Awalnya karena insomnia,” kata Widi kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Lewat tengah malam, pada pertengahan 2015, dia melihat bekas rembesan air di tembok apartemennya di Kalibata City, Jakarta Selatan, berbentuk bak kuda lumping. Pembawa acara Kompas Sport dan Silet ini pun menuangkannya di kertas. Penanya bagaikan menari dengan sendirinya. “Sebelumnya, aku sama sekali gak bisa gambar.”
Sejak itu, Widi tidak bisa berhenti menggambar. Dia selalu membawa buku gambar, pulpen, dan spidol di tas. “Kalau ada ide dan tidak dituangkan, bisa pusing,” ujarnya. Kalau tidak ada ide, pemeran Ratna Djuami dalam film Soekarno: Indonesia Merdeka (2013) ini meminta orang terdekat membubuhkan tanda tangan atau corat-coret, lalu dia teruskan menjadi sebuah karya zentangle. Semua ia lalui secara otodidaktik. “Pernah coba belajar dari YouTube, malah bingung.”
Dari kertas, Widi melompat ke media lain. Dinding apartemennya dia lukis, kaus-kaus dia gambar--salah satunya dia berikan kepada aktris Julie Estelle. Meski membuat hampir seribu lukisan, Widi tidak pernah menganggap dirinya pelukis. “Saya cuma orang yang suka menggambar,” katanya.
Ananda Sukarlan. TEMPO/Nurdiansah
Gagal Paham Sepak Bola
TINGGAL di negeri sepak bola seperti Spanyol tidak membuat Ananda Sukarlan ketularan gila bola. Pianis ini sama sekali buta soal olahraga paling populer sekolong langit itu.
Ada masanya Ananda, 50 tahun, berusaha memahami bal-balan. Pada 1993, saat dia pedekate dengan Raquel Gomez--kini istrinya--keluarga Gomez kaget mendapatinya belum pernah menonton pertandingan sepak bola seumur hidup. Sang calon mertua pun mengajak Ananda ke Stadion San Mames, kandang Athletic Bilbao. Hanya 15 menit matanya kuat menatap lapangan. Selanjutnya dia didera bosan dan memilih membaca novel di tengah keriuhan tribun. Saat tim tuan rumah membobol gawang lawan, dia diam saja. “Orang-orang pada ngeliatin dan merasa aneh, ha-ha-ha...,” kata Ananda kepada Tempo, pekan lalu.
Saking gagal pahamnya, Ananda mengira El Clásico adalah konser musik klasik. Sewaktu teman Indonesianya datang menonton laga akbar antara klub raksasa Spanyol, Real Madrid dan Barcelona, itu pada tahun lalu, dia heran. “Tumben lu doyan musik klasik,” ujar komposer yang bolak-balik Jakarta-Bilbao ini, polos.
Hingga kini, Ananda--yang mementaskan Opera Laki-laki Sejati karya Putu Wijaya pada pekan lalu--tidak habis pikir mengapa orang bisa doyan bola. “Buat apa ngerebutin bola, habis itu malah ditendang,” katanya, diikuti derai tawa.
Sakdiyah Ma’ruf. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Dianggap Lebih Pintar
SEBAGAI keturunan Arab, Sakdiyah Ma’ruf lebih gampang dikenali orang. Gara-gara berwajah Arab pulalah ia dinilai lebih jago soal agama Islam. “Sering banget dianggap lebih pintar, lebih fasih. Padahal enggak juga,” kata Sakdiyah, 37 tahun, dalam standup comedy pada peluncuran buku Dari Allah Menuju Allah: Belajar Tasawuf dari Rumi karya Haidar Bagir, Kamis dua pekan lalu.
Suatu ketika, di sebuah stasiun, ia dihampiri perempuan hamil. Setelah memastikan Sakdiyah keturunan Arab, perempuan itu memintanya mendoakan janin yang ia kandung. Sakdiyah memenuhinya. “Ya Allah, semoga anak ibu ini tak seperti saya yang tak bisa membaca doa,” ujar peraih penghargaan Vaclav Havel International for Creative Dissent 2015 di Oslo, Norwegia, itu, disambut gelak tawa penonton.
Saat ia menuju musala untuk menunaikan salat, perempuan hamil itu melakukan hal yang sama dan menggelar sajadah di sampingnya. Ia menodong Sakdiyah menjadi imam. Jawaban Sakdiyah lagi-lagi membuat penonton terbahak. “Ya Allah, padahal dari kecil sampai sekarang saya salat cuma pakai Al-Fatihah (bacaan wajib) dan qulhu (Surat Al-Ikhlas, salah satu surat terpendek dalam Al-Quran),” katanya.
Sakdiyah tak benar-benar melakukan semua yang ia katakan tersebut. Ia mendoakan janin dalam kandungan ibu itu tumbuh sehat. Ia pun membaca surat-surat lain dalam salat. “Tapi ya itu, karena muka saya Arab, sering banget dianggap lebih pintar,” ucap Sakdiyah, yang masuk daftar 100 perempuan inspiratif dan berpengaruh dunia 2018 versi BBC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo