Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang jatuh di tambang pasir

Bupati mojokerto melarang penambangan pasir di kali brantas. dikhawatirkan tanggul kali brantas dan pondasi jembatan di sepanjang sungai yang melintas desa kematren, mojokerto terancam longsor.

19 Desember 1987 | 00.00 WIB

Yang jatuh di tambang pasir
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
AIR Kali Brantas masih mengalir tenang seperti hari-hari sebelumnya. Tapi sekitar 10 ribu penduduk Desa Kemantren dan desa sekitarnya yang berdiam di daerah aliran sungai itu dan menggantungkan hidup dari penggalian pasir sudah sebulan dirundung resah. Apa pasal? Ternyata, yang mengguncang penduduk adalah larangan pengerukan pasir Kali Brantas, yang dikeluarkan Bupati Mojokerto pertengahan November lalu. Sanksi hukum bagi mereka yang melanggar larangan: denda Rp 100 juta atau kurungan 40 tahun. Pertimbangan yang dipakai untuk melarang adalah menjaga kelestarian lingkungan. Karena dikhawatirkan bahwa penggalian yang terus-menerus akan membuat tanggul Kali Brantas dan pondasi jembatan di sepanjang sungai yang melintas Desa Kemantren terancam longsor. Apalagi di situ terbentang sebuah jembatan yang merupakan urat nadi bagi lalu lintas antara Mojokerto dan Surabaya. Para penambang pasir itu tetap bersikukuh bahwa mereka tak merusakkan lingkungan dengan mengeruk Kali Brantas. Alasan mereka: "Kami 'kan menggali pasir di tengah sungai. Itu berarti menghindarkan pendangkalan dan sekaligus menghindarkan banjir." Tapi mereka tetap saja tak berdaya mengubah larangan itu. Lalu sejumlah penggali pasir nekat melanggar larangan. Mereka melakukan penggalian di malam hari. Bagaimana kalau ketahuan petugas ? "Terserah," kata Slamet. "Saya tak punya kepandaian lain kecuali menggali pasir." Ayah lima anak ini mengaku telah 25 tahun berkutat sebagai penggali pasir di Kali Brantas. Suminto, penggali pasir asal Jombang, juga mengaku ladang penghidupannya di Kali Brantas. Bahkan kawan senasibnya, Muryanto, sudah lebih dari 20 tahun merendam diri untuk sesuap nasi di sungai itu. Tak heran kalau para penggali pasir itu -- kebanyakan berasal dari Nganjuk, Blitar, Sidoarjo, dan Gresik -- kini pada kebingungan. Dan mereka sekaligus memutuskan mata rantai lapangan kerja bagi kuli pengangkut dari pinggir kali ke tempat penampungan, serta kuli pemuat ke truk. Kini para penggali pasir dan kuli angkut, yang mengharapkan penghasilan Rp 2.000 sampai Rp 4.000 sehari, duduk termangu di pinggir kali, sambil menunggu kemurahan hati Pak Bupati mencabut larangan penggalian. Sudah tiga kali utusan mereka menemui wakil-wakil rakyat yang duduk di DPRD Jawa Timur, tapi hasilnya masih belum tampak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus